2. Latar Belakang Tragis

6.9K 945 69
                                    

Ini adalah sebuah pertaruhan yang memiliki risiko tinggi. Jika aku gagal mengulur waktu kematianku, maka kehidupanku yang normal akan tamat seketika. Belum lagi, ada hukuman yang dikatakan sistem untuk para pemain yang gagal dalam dunia Akhir Antagonis dan Upaya Bertahan Hidup, yaitu sebagai boneka hidup atasan.

[Menghitung waktu mundur untuk mengembalikan waktu dimulai]

[Lima, empat, tiga.]

Aku meneguk ludah dengan gugup dan mengepalkan tanganku erat. Aku pasti bisa. Dalam tiga detik di mana algojo siap-siap untuk memenggal kepalaku, aku harus melakukan sesuatu supaya sistem bisa memroses permintaanku.

[Dua, satu.]

[Efek waktu beku dipulihkan]

Segera saja, waktu berjalan dengan normal. Dalam detik ke sekian, seluruh indraku bisa merasakan esensi kehidupan berbagai manusia dalam ruang yang sana. Namun, tidak ada waktu untuk memikirkan itu. Aku harus mengukur waktu selama sistem memproses algoritma sihir.

“Kakak, tunggu!” Aku berteriak sekuat tenaga untuk mendapatkan atensi putra mahkota.

Segera saja, putra mahkota berbalik dan mengangkat tangannya pada algojo supaya jangan dulu melepaskan tali yang menahan pisau di atas kepalaku. Algojo pun menurut, kembali menggenggam tali dengan kuat.

Huh, apa ini dikatakan berhasil?

Suara langkah putra mahkota disamarkan oleh bunyi riak para penonton makin ricuh, meminta putra mahkota supaya tidak bersikap terlalu lembut padaku, dan supaya aku cepat-cepat dipenggal mati saja.

Dasar orang-orang sinting. Di dalam tubuh ini sudah beda orang, tahu!

“Anastasius.” Putra mahkota berdiri di depanku, tatapannya menyipit dan mengintimidasi dari atas sana. Aku kelihatan makin tak berdaya karena dipaksa membungkuk dalam alat pemenggalan ini. “Apa ada yang ingin kau katakan untuk terakhir kalinya? Meski aku tidak akan luluh denganmu yang tiba-tiba memanggilku dengan panggilan kakak di saat-saat terakhir.”

Napasku agak berat ketika memikirkan kemungkinan buruk kalau membujuk orang ini untuk melepaskanku tidak akan bekerja. Namun, yang penting mengulur waktu sudah dilakukan. Aku tinggal melakukan aksiku yang sebenarnya.

“Ada yang ingin aku katakan padamu, Kak,” kataku. Setiap kata yang lolos dari bibirku, bersamaan dengan bunyi detak jantung bertalu-talu, rasanya agak sakit dalam rongga dada, dan suaranya bergema keras sampai telingaku bisa mendengar suara debarannya yang kuat.

“Apa itu?”

“Sebenarnya ... Sebenarnya selama ini, aku selalu menyayangimu, Kak!”

Kedua mata putra mahkota membulat. Dia terkejut sampai kesulitan berkata-kata.

Bukan tanpa alasan aku mengatakan kalimat sayangku pada pemeran utama seperti itu. Ada satu hal yang bisa aku mengerti jika menyangkut mengenai putra mahkota sekaligus pemeran utama dalam novel The Tears of a Goddess.

Aurelius vance Achthoven menyayangi adiknya dengan sepenuh hati.

Ada sebuah narasi panjang yang mendeskripsikan betapa sayangnya Aurelius terhadap adik kandungnya, yakni Anastasius vance Achthoven. Aku yakin, melihat betapa gemetarnya sepasang manik biru Aurelius saat melihat adiknya harus dipenggal di bawah guillotine telah menandakan bahwa itu adalah mimpi buruk. Bahkan dia rela memberikan kesempatan terakhir kepada Anastasius untuk mengucapkan apa yang dia ingin katakan sebagai kalimat terakhirnya sebelum mati, sebuah pertanda apabila Aurelius akan mengasihi apa pun itu yang dikatakan Anastasius untuk terakhir kalinya.

“A-Apa?” Nada suara Aurelius kedengaran tercekat. “Kau pernah mengatakan padaku bahwa kau membenciku, Anastasius.”

Aku menggigit bibir kuat. Sebenarnya, tak jelas apakah Anastasius benar-benar membenci kakaknya atau tidak. Tidak pernah dijelaskan dalam novel mengenai perasaan pribadi antagonis terhadap protagonis pria.

I Transmigrated Into a Finished NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang