12. Menara Sihir

4K 524 66
                                    

Ini adalah kediaman Aithne yang telah aku tinggali selama beberapa minggu. Aku telah familier dengan suasana lorongnya, interior tema suram yang telah direnovasi menjadi lebih ceria, dan ruangan-ruangan di dalam kediaman. Aku sudah hafal jalur ruang kerja Duke menuju kamar paling besar di lantai dua, jaraknya tidak terlalu jauh, tetapi mengapa saat ini malah terasa begitu jauh?

Selama berjalan di lorong ini rasanya tercekik habis. Terutama ketika interior kediaman ini menyesuaikan dengan apa yang aku sukai, hingga memberi ilusi bahwa tema biru ceria ini mulai memudar dan pusarannya mencekik leherku.

Rasa takut memonopoli diri, bagaikan tengah ada seseorang yang mengawasiku dari belakang, dari samping, dari atas, dari arah mana pun tapi rupanya tak bisa aku cari. Ini mengerikan.

Duke Helios yang aku kira adalah orang gila yang berbaik hati padaku untuk membantuku bertahan hidup, rupanya hanya orang gila terobsesi yang ingin merealisasikan hal menjijikkannya terhadapku. Dia mengatakan dia ingin mengunciku dalam buku hariannya. Tak heran jika aku tak pernah mendapatkan izin keluar bahkan jika itu hanya pekarangan kediaman. Aku kira, mungkin karena udaranya terlalu dingin untukku, jadi Helios tak mengizinkan. Tak kusangka, bukan itu alasannya.

Memikirkan hal ini hanya membuat isi kepalaku berkecamuk hebat. Aku merasa takut dengan sekeliling seolah tatapan Luciel mengikutiku ke mana pun aku pergi.

Sesak. Napasku tercekat. Pandanganku agak memburam ketika aku mulai berlari di lorong. Sapaan dari para pelayan yang terkejut aku hiraukan, aku hanya bisa berlari kesetanan, berharap bisa menemukan pintu utama kediaman dan aku bisa kabur dari sini.

Aku hanya merasa jika aku tinggal di sini lebih lama, maka petakalah yang akan merengkuh takdirku di sini.

Aku berbelok di lorong lantai satu. Sedikit lagi, sedikit lagi aku sampai di pintu utama. Satu belokan lagi, tetapi bruk! Aku menabrak sesuatu dengan kuat sampai tubuhku terpelanting mundur. Pandanganku yang agak memburam tak membantu banyak ketika aku hanya pasrah untuk jatuh.

Namun, aku tidak merasakan sakit. Justru, tubuhku rasanya seolah tengah melayang.

Aku membuka mataku dan melihat seseorang ada di hadapanku, jemarinya melambai di udara dan tubuhku bergerak sesuai lambaian tangannya.

“Hati-hati saat berjalan, atau berlari?” tutur orang itu. Nada suaranya tenang dan santai, wajahnya masih sedikit terkejut karena tabrakan.

Dengan gerakan jemarinya, aku akhirnya bisa menyeimbangkan tubuhku sendiri di atas lantai.

Aku pun mengembuskan napasku. Kedua mataku bergulir sembari mendongakkan kepala, di hadapanku saat ini berdiri seorang pria. Rambutnya berwarna emas yang mencolok dan berkilauan, kemudian ada sepasang netra merah yang cantik bagai permata, dan wajah dengan fitur tegas nan dewasa. Tubuhnya tinggi sampai aku harus mendongak untuk membuat kontak mata. Dia mengenakan jubah berwarna putih yang kelihatan mewah dan pakaian berenda di balik jubahnya.

Ini pertama kalinya bagiku untuk melihat ada pria ini di kediaman.

“Kau.” Pria itu maju satu langkah.

Aku mundur ketika dia maju. Pemikiran jika dia adalah bawahan Helios lainnya yang bisa saja ditugaskan untuk memantau pergerakanku membuatku sedikit gelisah.

“Kau memiliki mana yang unik,” ujarnya sembari memperhatikan aku dari atas sampai bawah.

Ini membuatku tak nyaman sampai aku memberanikan diri untuk bicara padanya, “Siapa? Apa kau bawahannya Duke?”

Pria itu mengerjap sepintas sebelum dia tergelak. “Bawahan Duke? Mana mau aku menjadi bawahan orang gila itu.”

Bukan? Lalu, siapa?

I Transmigrated Into a Finished NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang