10. Musim Semi di Aithne

3.2K 454 42
                                    

Satu minggu berlalu dan seluruh kediaman selesai direnovasi. Tidak perlu bertanya berapa banyak orang yang harus bekerja untuk mengubah satu kediaman dalam rentang waktu sesingkat itu. Tentu saja, ada banyak. Bahkan setiap kali aku lewat dari lorong satu ke lorong lainnya, setidaknya ada lima sampai enam orang yang bekerja di tempat yang sama dengan tergesa karena batas waktu yang singkat.

Saat ini pun, interior seluruh kediaman sudah diubah dengan warna biru muda yang lembut, warnanya kontras dengan tumpukan salju di luar sana. Sehingga kesan kastil es bagai di film fantasi kelihatan menjadi semakin nyata.

Duke adalah seorang pria yang sibuk. Dia tidak memiliki banyak waktu untuk menemani aku di kediaman, dan bukannya aku sudi juga untuk ditemani orang itu. Jadi, aku hanya menghabiskan banyak waktu dengan bosan di dalam kediaman bersama Luciel. Terlebih, ksatria itu tidak banyak bicara sehingga suasana kebanyakan canggung jika kita berada di tempat yang sama tanpa percakapan.

Aku menghela napas. Rupanya, kehidupan terlalu nyaman juga tak baik dan membosankan. Tidak ada pekerjaan, tidak ada kegiatan, tidak ada hal yang perlu dilakukan selain membaca buku atau berjalan-jalan di kediaman. Untuk pergi keluar kediaman, aku sepertinya tidak akan kuat. Iklim dingin di luar sana membuat tubuh membeku selepas terlalu nyaman hidup di bawah bantuan item sihir penghangat ruangan.

“Ini teh barunya, Tuan Muda.”

Luciel meletakkan secangkir teh baru yang asapnya mengepul tipis tepat di samping buku yang terbuka. Meja yang diletakkan di dekat jendela ini membuatku bisa melihat panorama putih wilayah utara. Hujan salju tipis yang masih belum berhenti menitik dan angin dingin yang mengayunkan dedaunan beku. Kelihatan dingin, tapi menyegarkan jika dilihat terus-menerus.

“Terima kasih,” balasku singkat, melirik teh di atas meja, tapi tak menyentuhnya.

Sudah berapa kali Luciel mengganti teh dengan yang baru karena teh sudah lama mendingin? Aku bahkan tidak meminta Luciel melakukan ini, tetapi dia melakukannya atas inisiatif sendiri.

“Apa Sir Luciel tak akan kembali ke sisi Tuan Duke?” tanyaku, ekor mataku melirik Luciel yang berdiri di belakang kursiku.

Luciel membalas tanpa ekspresi berarti, “Saya ditugaskan untuk menjadi pelindung Anda. Sudah jelas jika saya tak akan bisa kembali menjadi ksatria Tuan Duke.”

Aku bergumam dengan nada rendah. “Kau tidak keberatan dengan keputusan itu? Bukankah sebuah keputusan harus diambil berdasarkan keinginan kedua belah pihak?” tanyaku.

“Saya baik-baik saja asalkan ini adalah perintah Tuan Duke,” jawabnya acuh.

“Kau begitu setia pada Tuan Duke,” ungkapku. “Kau bahkan seolah sudah terbiasa untuk tak selalu berada di sisi Tuan Duke.”

“Saya sering diberikan tugas oleh Tuan Duke.”

“Sir Luciel. Duduklah.”

“Ya?”

“Duduklah,” ulangku sembari melirik kursi kosong di hadapanku.

Luciel meragu sejenak sebelum akhirnya menuruti perintahku. Dia duduk di hadapanku. Buku-buku yang bertumpuk di atas meja membuat pria itu malah tersembunyi di balik tumpukan buku, tetapi aku segera menyingkirkan buku itu ke tepi meja.

Aku pun menatap Luciel sambil menyangga dagu. Tidak seperti Helios yang gila, karakter Luciel cenderung tenang. Namun baik dia maupun Helios, sifat keduanya tak bisa aku terka dengan pasti pada awalnya. Jika itu Helios, mungkin aku sudah mengerti jika dia memiliki obsesi aneh dan sifat bodohnya itu karena dia memberitahku kala itu, tetapi Luciel? Bagaikan membaca buku tanpa kata. Tak bisa diterka, apalagi ditelisik intensinya.

I Transmigrated Into a Finished NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang