13. Kehidupan Normal

3.5K 417 23
                                    

Aku menghela napas agak berat karena merasa hari ini begitu melelahkan. Terlalu banyak kenyataan mengejutkan dan perubahan suasana yang tiba-tiba hingga segalanya terasa berlebihan.

Selepasnya, aku memasuki ruang kamar yang aku dapatkan dari penyihir itu. Kamarku ini tepatnya berada di lantai dua menara sihir.

Saat aku tahu bahwa aku berpindah tempat ke lantai seratus menara sihir sebelumnya, aku sangat terkejut. Lantai seratus! Bagi gedung di abad pertengahan, mungkin tiga sampai lima lantai itu batas terbaik yang bisa mereka lakukan untuk membangun kediaman. Namun, menara sihir bisa membangun seratus lantai dan menara ini masih kokoh walau konon katanya menara ini sudah ada sejak zaman dulu.

Tidak hanya itu, terdapat akses berpindah lantai yang mirip dengan lift. Benar-benar mirip hanya dengan memasuki ruang kecil, lalu mengisi kolom kosong bagai hologram dengan angka lantai mana yang aku ingin tuju, lalu selepas menunggu beberapa saat, kami tiba di lantai yang diinginkan. Kuakui, sistem berpindah tempat ini adalah item sihir yang keren.

Aku menatap sekeliling ruang kamarku. Ukurannya standar, tetapi dekorasinya mengingatkanku dengan kediaman yang mewah dan elegan. Karena di dalamnya, tidak kusangka rupanya merupakan sebuah ruang kamar yang glamor, penuh dengan interior berwarna campuran antara putih, merah, dan emas yang kelihatan klasik. Lampu gantung di atas sana menyulutkan lentera sihir yang berpijar hangat, beserta jajaran jendela berukuran sedang di dekat meja belajar. Ranjang tunggal disertai kanopi diletakkan di sudut kamar dan beberapa furnitur mewah yang mengisi kekosongan ruangan.

Aku bersyukur karena bisa tinggal di tempat seperti ini dan bukan tempat yang kumuh. Setidaknya, aku akan bertahan di sini sebentar untuk menilai situasi, apakah menetap di sini adalah opsi yang baik atau buruk, lalu memutuskan untuk bertahan atau lari setelahnya.

Aku melangkah lebih dalam ke kamarku, tapi langsung terhenti ketika pintu kamar diketuk. Aku mengerutkan dahi sembari berbalik, kuputar kenop pintu, dan aku buka sedikit hingga menghasilkan celah. Namun saat aku melihat jika orang di balik pintu adalah penyihir tadi, aku pun membukanya semakin lebar.

“Hei, aku lupa bertanya siapa namamu,” kata penyihir itu tanpa basa-basi. Dia tak datang dengan tangan kosong, tetapi membawa sebuah kotak berukuran sedang.

Namaku? Tidak mungkin, ‘kan, mengatakan bahwa namaku Anastasius.

“... Namaku Ash.”

“Marga?”

“Tidak ada.”

“Oh? Bahkan rakyat jelata saja punya. Aku kasihan padamu.”

Mataku berkedut kesal ketika aku dikasihani secara terang-terangan, tetapi cara penyampaiannya begitu menyebalkan.

“Aku membutuhkan namamu untuk mendaftarkanmu ke dalam kelas,” sambungnya.

“Kelas?” Aku mengangkat sebelah alis.

“Ya. Kelas.” Penyihir itu lantas menyerahkan kotak di tangannya padaku.

“Apa ini?”

“Seragam dan buku. Kau akan mengikuti kelas mulai besok pagi pukul tujuh, jadi pastikan kau tidak terlambat. Kelas para siswa ada di lantai satu, jangan menyasar ke tempat lain, oke? Kalau begitu, belajar yang rajin.”

Penyihir itu melambaikan tangannya dan berbalik. Dua langkah dia jejaki, sihir teleportasi membawanya entah ke mana.

Aku mengerjap dan menatap kotak di tanganku. Aku kira, dia yang akan mengajariku secara pribadi, tetapi perkiraanku keliru.

Memutuskan untuk memasuki kamarku, aku pun membuka kotak yang diberikan penyihir itu. Ah, aku lupa, aku belum bertanya siapa nama penyihir itu.

Aku pun mengalihkan pandanganku ke dalam isi kotak. Di dalam sana, aku bisa menemukan beberapa set seragam, jubah, tumpukan buku, alat tulis, dan jadwal kelas.

I Transmigrated Into a Finished NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang