Sore harinya, seluruh kelas akhirnya selesai. Memang ada jam istirahat makan siang dan jeda selama keseluruhan sebanyak dua jam, sehingga aku tak terlalu lelah dengan kelas seharian penuh ini. Aku juga berkenalan dengan beberapa teman di kelas dan kami menjadi sedikit akrab setelah menjalani tiga sampai empat kelas bersama.
Kebanyakan, orang yang akrab denganku berasal dari rakyat jelata. Aku jadi ingat mengenai penjelasan Aatish jika kaum bangsawan di sini bertingkah sangat dingin dan kaku, bahkan enggan bergaul dengan rakyat jelata karena merasa kasta mereka berbeda. Tak heran jika seorang bangsawan melintas, tak banyak rakyat jelata yang berani membuat kontak mata. Terkecuali pada Aatish, karena tentu saja dia adalah pribadi yang ramah dan bisa bergaul dengan siapa saja.
Karena seluruh kelas telah selesai, aku pikir aku akan kembali ke asrama. Makan malam dijadwalkan pukul tujuh sehingga masih ada sekitar dua jam sebelum pergi ke kafetaria.
Aku memasuki lift dan berpindah ke lantai dua menara sihir. Aku ingat di mana tata letak kamar asramaku, agak dalam, berada di sudut, berbelok satu kali ke kiri sambil berjalan beberapa meter. Dan di sanalah kamarku berada.
Namun, aku terpaku saat melihat seseorang bersandar santai di tepi pintu kamar asramaku. Dia melambaikan tangannya di udara untuk membentuk atraksi kecil dengan pusaran sihir air dan apinya seolah dia kebosanan menunggu.
Saat dia merasakan kehadiranku, dia pun mendongak, menampilkan sepasang netra merah hangat yang agak menyipit saat dia tersenyum dengan sangat lebar dan melambai agak heboh. Penyihir itu pun berdiri tegak, membuat helai rambut keemasannya yang kelihatan begitu lembut mulai berderai mengikuti pergerakannya.
“Ash,” panggilnya, “Selamat untuk hari pertama kelasmu yang berjalan sukses!”
“Ah?” Aku sedikit mengerjap, tahu dari mana dia jika kelas pertamaku berjalan dengan baik-baik saja? “Terima kasih, kurasa?”
Penyihir itu tertawa kecil dan memeluk bahuku. “Kau akan segera menyesuaikan diri dengan keadaan kelas dan asrama di menara sihir.”
“Baiklah, aku mengerti.”
Penyihir itu diam dan menatapku. Aku menahan diri untuk tak bertanya secara frontal mengapa dan alasan apa kedatangannya kemari.
“Aku sudah memutuskan, Ash,” kata penyihir itu dengan serius.
“Memutuskan?”
“Ya.” Penyihir itu mengangguk. “Setelah kelasmu selesai, waktunya kelas pribadi denganku di sore hari sebelum makan malam,” sambungnya dengan senyuman lebar. Benar-benar perangai yang tak bisa dimengerti karena bisa berubah dengan cepat.
“Eh?” Sebagai gantinya, aku hanya mengerjapkan mata.
“Kau tidak mengira jika aku tak akan mengajarimu secara pribadi?”
Aku menggaruk pipi. “Aku pikir begitu. Sebab, kau mendaftarkanku kelas bersama siswa lain dan menyuruhku untuk mengikuti kelas. Aku pikir, aku akan belajar sihir lewat kelas-kelas itu.”
“Separuh tepat. Kau akan belajar teori dan dasar sihir di kelas, mungkin sedikit praktek bagi anak-anak tingkat pertama. Namun denganku, kau akan diajari sihir untuk meningkatkan potensimu itu.”
Sepasang mata merah penyihir itu menelisikku, bagai tengah memperhatikan mana milikku yang keluar tanpa kekangan selepas item sihir berupa gelang permata dihancurkan.
“Seperti yang sudah kukatakan, kau memiliki mana yang unik. Mungkin dari sejarah yang dimulai dari nenek moyang, kau adalah orang pertama yang memiliki potensi untuk menguasai seluruh sihir elementalis, bahkan memiliki peluang besar untuk membuka sihir tipe baru. Jadi, untuk meningkatkan potensimu itu, kau akan belajar secara pribadi denganku. Bagaimana menurutmu?”

KAMU SEDANG MEMBACA
I Transmigrated Into a Finished Novel
Historical FictionHore! Aku jadi seorang pangeran yang hidup bergelimang harta dan serba kecukupan di dalam sebuah novel romansa-fantasi! Karena peranku adalah antagonis, jadi aku tinggal menghindari peran antagonis saja sambil melihat perkembangan pemeran utama dala...