4. Duke Aithne

5K 735 34
                                    

Aku bisa melihat remahan mimpi-mimpi kehidupan damaiku di desa ini telah berubah menjadi butiran debu. Mimpiku. Mimpi untuk hidup damaiku. Padahal baru saja dibuat, tapi dengan kejamnya mimpi itu lenyap seketika.

Sebab, jika dalam rentang waktu tiga hari ini peristiwa mengenai kaburnya seorang mantan pangeran yang hendak dieksekusi telah menyebar sampai ke utara, itu artinya seluruh wilayah telah siap-siap untuk menangkap kembali buronan. Sudah jelas caranya, yaitu identitas dan ciri khas buronan pasti akan disebarluaskan supaya buronan lebih cepat ditangkap.

Jika aku masuk ke Desa Shura dan menjadi bagian desa dengan sihir penyamaran yang hanya bisa diaktivasi dalam waktu terbatas saja, maka sama saja seolah aku sedang melakukan tindakan bunuh diri. Aku tidak bisa hanya hidup di luar bangunan selama tiga puluh menit perhari. Karena untuk bertahan hidup, aku butuh makanan, dan aku butuh kerjaan untuk mendapatkan hak bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan primerku.

Saat ini, seluruh kerajaan sudah tahu apabila Anastasius vance Achthoven telah kabur. Aku yakin, poster dengan gambar wajahku sudah dicetak dan disebarluaskan. Rasanya aku ingin menangis.

Jadi, apa yang harus aku lakukan? Nekat masuk ke Desa Shura walaupun tahu jika wajah ini telah dipajang di mana-mana? Atau aku harus kabur dari Achthoven sekalian? Tapi itu mustahil. Aku tidak yakin bisa bertahan hidup selain di Achthoven karena aku tidak mengenal dunia itu secara pasti. Jika aku mati di sini pun, aku akan menjadi boneka hidupnya atasan sistem, itu sama saja mimpi buruk dan kehidupan tragis.

Tapi aku tidak boleh menyerah!

Aku akan masuk ke Desa Shura dan menyamar seumur hidupku. Aku akan menggunakan rambut palsu untuk menutupi rambut perak murni, menggunakan kacamata tebal untuk menyamarkan mata biruku, hingga aku bisa berbaur menjadi warga desa. Ya, itu ide bagus. Walaupun sihir penyamaran bisa diaktivasi oleh sistem selama setengah jam perhari, itu sudah cukup untuk mencarikanku bahan-bahan menyamar untuk bertahan hidup di masa depan. Kalaupun tidak, aku bisa berteleportasi dan hidup nomaden.

“Kumohon, biarkan aku masuk!” mohonku pada ksatria penjaga.

Ksatria yang menahanku menggaruk kepalanya dengan bingung dan gundah. “Bagaimana, ya. Lagipula kami juga hanya bekerja. Jika tak menurut pada atasan, kami yang akan kena getahnya.”

Ksatria lain menimpali, “Lalu, di mana surat identitasmu? Untuk masuk ke desa, tentu harus ada surat identitas.”

“Itu ....” Sial, tidak ada lagi.

“Kondisimu juga kacau. Jangan-jangan kau itu bandit yang telah membunuh pedagang?”

“Hei! Mana mungkin! Justru akulah pedagang itu! Aku hendak mengunjungi desa ini, tapi aku terkena kecelakaan yang membuat barang bawaan dan kudaku jatuh ke jurang! Aku sekarang tak memiliki apa pun.”

Mencampuri kenyataan dan kebohongan, kadang mungkin itu yang terbaik.

Aku melanjutkan, “Bahkan surat identitasku saja ikut hilang. Aku juga terluka, kedinginan, dan lapar. Apa kalian mau menyingkirkan rasa kemanusiaan kalian di sini?”

Ksatria itu tersentak, rasa simpati mulai naik, dan wajahnya makin berkonflik. “Tentu saja, aku simpati padamu. Tapi tetap saja, perintah atasan itu mutlak. Terutama karena perintah atasan berasal dari kerajaan langsung. Kami tak mau kena masalah.”

“Begitu, ya! Jadi, kalian menyingkirkan rasa kemanusiaan kalian pada korban malang sepertiku!”

“Bukan seperti itu, haduh. Ya sudah, ini aku beri beberapa koin, kamu pergi saja dari sini, ya.”

“Aku tidak bisa pergi ke mana pun dengan jalan kaki! Kudaku terperosok ke jurang, kau tidak ingat apa yang kukatakan sebelumnya?!”

Ksatria itu makin menghela napas.

I Transmigrated Into a Finished NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang