19 - Together

154 20 9
                                    

Daniel mengerang ketika dering ponsel tersebut mengganggu tidurnya. Dengan mata masih terpejam, dia meraba nakas, menemukan benda yang dia cari lalu menempelkan di telinga.

"Halo," ucapnya dengan suara serak.

"Anda masih tidur, Sir?" Itu adalah suara Raphael yang menjawabnya, dengan keterkejutan yang sangat kentara.

Daniel menjauhkan ponselnya, menatap waktu yang tertera di layar. 07.40 AM. "Ya. Ada apa?"

"Sir, it's still Thursday."

"I know. I'm taking a day off."

"Excuse me, Sir?"

"What is it, Raphael? Kau mendadak jadi tuli?" Daniel mulai terdengar kesal. Raphael tidak menanggapi selama beberapa saat, sampai akhirnya pria itu menemukn suaranya kembali.

"How many Bentley that you have, Sir?"

Kening Daniel berkerut saat mendengar pertanyaan itu. "I don't have Bentley. I hate Bentley."

"Hanya memastikan bahwa benar anda yang bicara," ucap Raphael setelah berdeham sejenak. Daniel mendengus. "Jadi hari ini anda tidak masuk, Sir?"

"Kurasa, besok juga."

"Besok juga?" Raphael membeo di seberang. Tiba-tiba Daniel merasa bahwa gelar Master di CV Raphael cuma tempelan belaka. Asistennya tersebut menjadi bodoh dalam sekejap hanya gara-gara Daniel mengambil libur. "Anda sakit, Sir?" Raphael tidak berhenti memberondongnya dengan pertanyaan. Membuat Daniel makin jengkel.

"Aku sehat. Aku hanya butuh libur. Ada urusan yang harus kuselesaikan." Daniel makin tidak sabar. Dia harus mengkaji ulang hasil tes psikologi Raphael. Memastikan bahwa gangguan kognitif tidak termasuk dalam nilai minus pria itu. Meski dia ingat bahwa hasil tes Raphael sempurna, tidak ada salahnya memastikan kembali.

"Urusan yang lebih penting dari pekerjaan, Sir?"

Andai kata Raphael ada di hadapannya, Daniel pasti sudah memelototinya habis-habisan. Terkadang, rasa penasaran Raphael membuat Daniel ingin melumat asistennya itu hidup-hidup.

"Yes, Raphael. Sekarang lakukan pekerjaanmu dan kosongkan jadwalku minggu ini. Sampai ketemu hari senin."

Daniel memutus sambungan. Membiarkan Raphael menerka sendiri urusan apa yang membuat dia mengambil libur.

Daniel menguap lebar, meski masih merasa lelah, namun sulit untuk kembali tidur pada jam dia biasanya terjaga. Pria itu melihat sisi tempat tidurnya, menatap Lauren yang masih terlelap. Tanpa sadar, dia tersenyum saat mengamati wajah polos di sampingnya. Dia melayangkan ciuman ringan di kening Lauren, lalu segera turun dari tempat tidur sebelum keinginan untuk bercinta dengan istrinya kembali lagi. Daniel merasa seperti maniak saat bersama Lauren. Padahal, selama ini dia dapat mengendalikan hasratnya dengan baik. Menyalurkannya hanya pada saat dibutuhkan. Saat bersama Lauren, kebutuhan itu meningkat dengan mendadak.

Daniel sudah tidak menghitung lagi berapa kali mereka bercinta dalam semalam. Dia berusaha tidak menimbulkan suara saat menuju kamar mandi, tahu bahwa Lauren pasti sangat kelelahan. Apalagi semalam adalah kali pertama gadis itu. Juga kali kedua, ketiga....Sekali lagi, lebih baik dia berhenti menghitung.

Daniel sedang bersenandung pelan begitu selesai mandi ketika dilihatnya Lauren yang sudah terbangun. Gadis itu berbaring miring seraya mengamatinya yang melangkah keluar hanya dengan selembar handuk melilit di pinggang. Selimut terangkat hingga menutupi dada Lauren, dan wajah gadis itu bersemu saat bertemu pandang dengan Daniel. Pria itu tidak dapat mencegah senyum geli di wajahnya. Astaga...sampai kapan istrinya akan malu melihat tubuh setengah telanjangnya? Seakan mereka belum mengalami malam paling panas dan menggetarkan dalam sejarah hidup Daniel. Tapi dia tidak mengeluarkan komentar apa pun untuk menggoda gadis itu. Karena hanya dengan tatapan Daniel yang melekat di wajahnya, rona telah menjalar hingga ke bahu terbuka gadis itu.

My Little BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang