Pagi itu, Alexa terbangun ketika sinar matahari perlahan menyelinap melalui celah jendela kamarnya. Ia duduk dan meregangkan tubuhnya sejenak, mencoba menghilangkan kantuk yang masih tersisa. Setelah itu, Alexa bangkit dari sofa, melangkah perlahan mendekati ranjang, melihat kondisi Edward yang masih terbaring tak sadarkan diri. Ranjang itu terlalu kecil untuk dua orang, jadi Alexa memilih tidur di sofa semalaman.
"Cepatlah sembuh," bisiknya lirih, berharap Edward segera pulih.
Dengan hati-hati, Alexa membuka pintu kamar dan melangkah keluar menuju bar yang berada di bagian depan bangunan. Namun, sesampainya di sana, ia terkejut saat melihat Noel tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
"Kau sudah bangun? Tidurmu nyenyak?" tanya Noel dengan senyum ramah.
Alexa sedikit tersenyum, merasa canggung, "Ehm, terima kasih karena sudah menolongku kemarin. Apa kau terluka?" tanyanya, tatapannya memancarkan kekhawatiran.
Noel tertawa ringan, "Aku baik-baik saja. Kau yang harusnya khawatir pada dirimu sendiri. Ayo kita sarapan. Kau pasti lapar, kan? Aku akan minta Hans untuk menyiapkan sesuatu untuk kita." Tanpa menunggu jawaban, Noel menarik Alexa dengan lembut dan membawanya duduk di salah satu bangku di bar.
"Tunggu di sini sebentar. Kau suka makanan apa?" tanya Noel sebelum melangkah ke dapur.
Alexa mengangkat bahu, "Apa saja, aku tidak pilih-pilih. Lexa akan makan apapun pilihan Noel."
Noel mengangguk dan melangkah ke dapur, meninggalkan Alexa sendirian di bar. Namun, Alexa mulai merasa tidak nyaman saat menyadari banyak orang di pub itu menatapnya dengan tatapan yang aneh. Ia merasakan kegelisahan merambat di dadanya.
Tak lama, Noel kembali sambil membawa beberapa piring makanan. "Ada apa? Kau terlihat cemas," tanyanya dengan nada khawatir sambil meletakkan makanan di meja.
Alexa menggeleng pelan, "Tidak ada. Hanya saja... aku merasa tidak nyaman dengan tatapan mereka," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Noel menoleh ke arah kerumunan di pub dan menyadari apa yang membuat Alexa gelisah. Orang-orang di sana memang menatap Alexa, tetapi bukan dengan niat buruk. Mereka terkagum-kagum melihat kecantikan alami yang terpancar dari wajah Alexa.
"Jangan khawatir, Lexa," kata Noel dengan senyum hangat, "Mereka hanya terpesona. Kau terlalu cantik untuk tidak diperhatikan."
Alexa menunduk, wajahnya sedikit memerah. Tepat saat itu, Hans datang membawa makanan dan meletakkannya di depan mereka.
"Silakan, makanlah selagi masih hangat," kata Hans sopan, matanya sekilas melirik Noel.
Alexa mengangguk, "Terima kasih, Hans. Terima kasih juga karena sudah merawat Edward kemarin."
Hans tersenyum kecil, "Itu bukan apa-apa. Saya hanya menjalankan perintah Noel." Namun, sebelum ia bisa berbicara lebih lanjut, Noel memberi isyarat halus agar Hans segera pergi, tampaknya tak ingin Alexa tahu lebih banyak.
Hans mengerti, segera berpamitan, meninggalkan mereka berdua.
Noel menatap Alexa lembut, "Ayo, Lexa, kita mulai sarapan. Kalau ada yang kurang, katakan saja, ya."
Alexa menatap Noel sejenak, lalu tersenyum kecil sebelum mulai menyantap makanan di depannya.
_____________________Di Istana Engrasia, Vania tak bisa menyembunyikan kecemasannya. Ia mondar-mandir di ruangan besar, matanya penuh kegelisahan, menanti kabar dari orang-orang yang telah ia perintahkan. Hatinya tidak tenang.
"Kau bisa berhenti berjalan? Kepalaku pusing melihatmu," ucap sang ibu, Vivian, dengan nada kesal. Ia duduk di sofa, memandang putrinya dengan tatapan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Idiot Prince
RandomDi sebuah kerajaan yang megah terdapat pangeran yang memiliki paras wajah yang tegas serta menawan, siapapun yang melihatnya pasti akan terpesona oleh parasnya, tapi semua pangeran dari kerajaan lain tidak ada yang mau menikah dengannya, karena sang...