Di dalam kamar yang megah dengan tirai-tirai sutra berwarna keemasan, Vania duduk di kursi berlengan sembari memangku putranya, Felix. Bocah berusia sembilan bulan itu sudah mampu duduk tegak meskipun masih membutuhkan bantuan tumpuan. Berbeda dengan bayi seusianya yang mulai bisa mengoceh tidak jelas, Felix terlihat lebih pendiam. Matanya yang bulat dan jernih hanya menatap sekitar dengan penuh rasa ingin tahu.
"Felix, ayo katakan 'ibu'," Vania mencoba membujuk dengan suara lembut, jemarinya yang lentik membelai pipi tembam putranya. Felix hanya meresponnya dengan tawa kecil yang riang, membuat lesung pipit kecil muncul di wajahnya yang menggemaskan.
"Felix, sekali lagi ya, sayang. Ayo katakan 'ibu'," Vania mengulangi dengan lebih tegas. Namun Felix tetap membisu, hanya mengerjapkan matanya yang bulat sambil mengulurkan tangan mungilnya ke wajah sang ibu.
Kegelisahan mulai merayapi hati Vania. Pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk yang selama ini ia coba sangkal. Dengan gerakan tergesa, ia memanggil pelayan yang berjaga di luar kamarnya.
"Panggilkan tabib! Suruh dia ke kamarku sekarang juga!" perintahnya dengan nada yang mulai meninggi. Raut wajahnya yang cantik berubah mengeras, menampakkan gurat-gurat kecemasan yang dalam.
Vania kembali mengalihkan perhatiannya pada Felix yang masih duduk di pangkuannya. "Felix, dengarkan ibu! Ayo katakan 'ibu'!" Suaranya kini bergetar menahan amarah. "Jangan hanya diam seperti ini! Katakan apa yang kusuruh!"
Bentakan itu membuat Felix tersentak. Bibirnya bergetar dan dalam sekejap tangisan keras memenuhi ruangan. Air mata mengalir deras di pipinya yang kemerahan.
"Tidak, tidak boleh seperti ini," gumam Vania dengan suara bergetar. Matanya menyiratkan kepanikan yang dalam. "Felix adalah pionku untuk bisa menjadi ratu. Kalau dia seperti ini, maka semua rencanaku akan..."
Felix yang masih terisak mencoba meraih ibunya, tangannya yang mungil menggapai-gapai mencari kehangatan. Namun Vania, yang tenggelam dalam kecemasannya sendiri, justru menepis tangan mungil itu dengan kasar.
"Berhenti menangis!" bentaknya lebih keras. "Ayo katakan 'ibu'! Jangan membuatku semakin marah! Apa kau tidak mau mendengarkan ibumu ini?!" Tanpa sadar, jemarinya mencengkeram lengan kecil Felix terlalu kuat, membuat tangisan anak itu semakin pilu.
"Yang Mulia Selir!" Sebuah suara tegas memecah ketegangan. Tabib kerajaan berdiri di ambang pintu dengan raut wajah terkejut. "Apa yang Anda lakukan? Anda menyakiti Pangeran Felix!"
Vania seketika tersadar. Dengan gerakan kasar, ia menyerahkan Felix yang masih menangis kepada sang tabib. Wajahnya kini dipenuhi kekalutan dan amarah yang tak terbendung.
"Periksa dia sekarang juga," perintahnya dengan nada dingin. "Aku takut... apa yang selama ini kukhawatirkan benar-benar menjadi kenyataan."
Sang tabib segera menggendong Felix dengan hati-hati, berusaha menenangkan tangisan pilu sang pangeran kecil. Sementara Vania berdiri membelakangi mereka, bahunya bergetar menahan emosi yang berkecamuk.
Malam itu, Alexa berdiri di balkon istana yang menjulang tinggi. Angin malam membelai lembut tubuhnya yang terbalut jubah tebal berwarna marun. Di atasnya, bulan purnama bersinar dengan sempurna.
Alexa menghela napas panjang, pikirannya melayang pada kejadian beberapa waktu lalu. Kenangan itu masih terasa begitu nyata, begitu membekas dalam ingatannya. Momen intimnya bersama Edward.
Di tengah keheningan malam, bayangan akan suara Edward yang dalam dan menggetarkan kembali terngiang di telinganya. "Alexa," bisiknya waktu itu dengan nada yang tak pernah ia dengar sebelumnya. "Panggil namaku, Lexa."
" Eughh, Edward," ucapnya waktu itu dengan suara bergetar.
"Lagi," Edward menuntut dengan kelembutan yang mengancam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Idiot Prince
RandomDi sebuah kerajaan yang megah terdapat pangeran yang memiliki paras wajah yang tegas serta menawan, siapapun yang melihatnya pasti akan terpesona oleh parasnya, tapi semua pangeran dari kerajaan lain tidak ada yang mau menikah dengannya, karena sang...