Bab 23

227 30 0
                                    


Ambar menerima uluran tangan Diraja dan pria itu segera menggenggam erat tangannya, membawa Ambar masuk ke dalam kediaman keluarganya.

"Kamu nanti nggak akan meninggalkan aku sendirian di sana, bukan?" tanya Ambar dengan ragu. 

Hatinya kembali berdegup kencang karena memasuki wilayah asing dan juga situasi asing yang tak pernah Ambar temui sebelumnya.

"Kita satu tim, Ambar. Aku nggak akan membiarkanmu kesepian malam ini," jawab Diraja seraya melirik ke arahnya. 

Entah apa yang pria itu pikirkan di dalam otaknya yang sepertinya begitu rumit. Ambar menarik napas dalam sebelum secara perlahan menghembuskannya. Susah payah mengatur perasaan, mental dan kejernihan pikirannya malam ini agar dia tak salah dalam bertutur dan berperilaku yang ujung-ujungnya mempermalukan diri sendiri. 

Rumah megah keluarga Diraja sarat dengan gaya Jawa Kolonial yang fokus kepada barang-barang etnik yang terkesan vintage dan terlihat seperti banyak barang hasil perburuan lelang rumah lelang privat. Mereka berdua bergandengan tangan- berjalan melewati foyer dan ruang tamu langsung untuk menuju ruang keluarga yang tepat berada di jantung rumah mewah ini.

"Diraja?" panggil seseorang dengan suara yang begitu lembut dari dalam. 

Mereka berjalan menuju sumber suara dan ketika sampai di ruang tamu, ruangan sudah berisi beberapa orang. Semuanya kompak menatap ke arah Diraja dan Ambar. 

Dengan ekspresi mereka masing-masing. Tapi yang pasti, para perempuan memberikan senyum lebar sedangkan pria yang Ambar tahu adalah ayahnya Diraja menatap mereka dalam diam penuh wibawa. 

"Bu, aku datang bersama Ambar," sahut Diraja dengan tenang.

Seorang wanita paruh baya seumuran ibunya semakin tersenyum lebar dan memusatkan pandanganya kepada Ambar. 

"Oh, akhirnya kalian datang!" Ibu Diraja menangkupkan tangannya penuh semangat sebelum datang menghampiri Ambar dan memeluknya dengan erat kemudian dilanjutkan dengan cium pipi kanan-kiri.

Ambar tersenyum kikuk dengan penyambutan yang antusias ini.

"Kenalkan ini ibuku, Ibu Larasati Sudibyo," Diraja mengenalkan ibunya kepada Ambar.

"Ini Ambar, Bu." Diraja meremas bahu Ambar dengan kasual, sebelum akhirnya rengkuhan tangannya berakhir di pinggang Ambar. 

Ambar berdiri semakin tegak. Senyumnya terpoles rapi, tak lupa balasan tangan Ambar yang ikut meremas jemari Bu Laras yang terlihat begitu antusias menjamu Ambar di kediamannya. 

"Cantik sekali Ambar, Diraja beruntung bisa mendapatkanmu," ujar Bu Laras blak-blakan.

"Ibu, jangan buat Ambar malu," 

Di belakang Nyonya Larasati berdiri seorang pria kharismatik yang mungkin sebagai cetak biru Diraja dalam dua puluh tahun mendatang. Amir Sudibyo menatap Ambar dengan ramah dan mengulurkan tangannya, menjabat tangan Ambar dengan hangat namun kokoh, gaya khas para pemimpin.

"Ayahku, Amir Sudibyo," Diraja mengangguk ke arah ayahnya, dan kemudian menyebutkan kembali nama Ambar untuk dikenalkan kembali kepada ayahnya. Mereka sudah pernah bertemu beberapa bulan lalu. Dan pria kharismatik inilah yang mengungkapkan ide gila tentang rencana pernikahan antara Ambar dan Diraja.

"Akhirnya kita berjumpa kembali, Nak Ambar. Senang kita bisa bertemu dalam suasana yang lebih akrab seperti ini," ujar ayahnya Diraja seraya menepuk pundak Ambar.

"Terima kasih sudah menyambut saya dengan hangat dan terbuka seperti ini," balas Ambar dengan sopan. 

Diraja kemudian mengenalkannya dengan perempuan yang berdiri di samping ibunya. Perempuan yang begitu anggun tersenyum kepada Ambar, sebelum akhirnya memeluknya dengan hangat dan mengecup kedua pipinya untuk menyapanya.

Obsesi Sang PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang