Bab 25

302 36 2
                                    

Kamarnya masih sama seperti terakhir kali Diraja kunjungi beberapa bulan lalu jika dia disuruh, atau lebih tepatnya, dipaksa mampir pulang ke rumah utama ini oleh ibunya. Kamarnya tetap bersih dan rapi seperti waktu dia tinggali sebelum Diraja cabut ke apartemennya sendiri. 

Masih ada teropong yang dahulu dibelikan ayah ketika Diraja masih kecil. Teropong bintang itu sudah tidak berfungsi banyak sekarang. Terlalu banyak polusi cahaya dan juga polusi udara yang menyelimuti langit Jakarta, jadi teropong itu teronggok sia-sia di sudut kamarnya yang menghadap balkon jendelanya.

Diraja menyalakan lampu dan menunggu hingga Ambar masuk ke dalam sebelum dia menutup pintunya. Suara derit pintu mengagetkan Ambar, membuat gadis itu terlonjak dan menatap bolak-balik ke arah pintu serta dirinya.

"Memang perlu banget ditutup seperti itu?" tanya Ambar, rasa khawatirnya tak bisa ditutupi. Nada gadis itu membuat Diraja terkekeh sejenak.

He's not some horny teenager who will make out in his room when his girlfriend visits him.

"Memangnya kamu pikir kita akan ngapain di sini?" tantang Diraja balik.

Dia menunjuk single sofa dekat kabinet dan berkata, "Duduk saja di situ," ujarnya sambil mencari posisi untuk dirinya duduk di ujung ranjang yang berhadapan langsung dengan sofa.

Ragu-ragu, Ambar mengambil posisi dan akhirnya duduk di sofa tersebut sambil menatap Diraja dengan was-was. Dengan tingkah seperti itu, Diraja menyadari jika Ambar memang begitu muda. Jika ada perempuan lain, mereka pasti sudah mulai menggodanya atau mungkin menanggalkan pakaiannya agar Diraja jatuh ke dalam pelukannya dan menghabiskan malam bergairah di atas ranjangnya.

Tapi sikap Ambar menunjukkan kepolosan gadis itu. Terlihat begitu nyata dengan mata telanjang. Sialnya, kontras antara pemikirannya pria dewasa stereotip seperti dirinya dan tingkah polos Ambar sukses membuat Diraja merasa seperti cowok brengsek.

Ambar selalu saja bisa membuat dirinya terlihat pathetic dan brengsek tanpa bekerja ekstra keras. Mungkin ini sebabnya Diraja merasakan gamang dan terlintas rasa bersalah yang tiba-tiba menyeruak tatkala memikirkan pernikahan dengan Ambar.

"Mau bicara tentang apa?" tanya Ambar, menghiraukan ucapan Diraja barusan.

"Tentang hal yang kita bicarakan dalam mobil tadi," pungkasnya.

"Kita bicara cukup banyak di dalam perjalanan tadi, coba perjelas lagi topik yang mana?" Ambar kini melemparkan pertanyaan yang membuat Diraja seperti berada di bawah kendali gadis itu. Rasanya seperti Ambar yang menyetir diskusi mereka.

"Pertama, tentang Michelle–" Diraja memulai pembicaraan mereka. Dia menatap Ambar untuk mengecek bagaimana responnya.

Benar saja, Ambar duduk dengan tegang meskipun berusaha mengubah raut wajah dan gestur tubuhnya. Namun Diraja telah bekerja sebagai salah satu pimpinan perusahaan selama bertahun-tahun.

Dia dapat dengan mudah menerka arti dari gerak tubuh seseorang. Termasuk Ambar saat ini.

Gadis itu mengantisipasi apa yang akan Diraja katakan.

"Michelle memang benar mantan kekasihku," ujar Diraja dengan jujur. 

Dia mereguk liurnya, rasanya aneh membicarakan mantan kekasihnya di hadapan perempuan yang akan menjadi istrinya dalam hitungan bulan ini.

"And it will stay that way, kamu nggak perlu khawatir." Diraja menepis kekhawatiran yang sempat diutarakan Ambar di dalam perjalanan mereka tadi.

"Aku harap kita nggak perlu membicarakan Michelle lagi untuk ke depannya," Diraja kini berdiri dan menghampiri Ambar yang masih duduk terpekur di sofa.

Obsesi Sang PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang