Bab 12

313 16 0
                                    

Jangan lupa vote dulu ya sebelum baca, thank you guys!

***


Mereka semua menatap Ambar keheranan.

"Kok tiba-tiba begini?" Ibu bertanya dengan kekhawatiran yang tak dapat ditutupi.

Ibu dan bapak menoleh ke arahnya. Menunggu jawaban atau penjelasan yang dapat diberikan kepadanya mengenai masalah yang membuat heboh keluarga mereka ini.

"Aku juga bingung, Bu," ujar Mas Darius yang memiliki sentimen yang sama dengan sang ibu.

Ambar berkelit dan mengedikkan bahunya.

"Aku rasa ini bukan hal yang buruk, Bu. Tante Angela juga memiliki pendapat yang sama," ujarnya mencoba meyakinkan kedua orangtuanya.

"Tapi kamu bukan tipe impulsif seperti ini, Ibu tahu itu," balas ibunya keras kepala. Dia pasti tahu ada yang aneh dari sikap Ambar.

"Coba ceritakan kepada Ibu dan kita semua di sini, kita pasti akan membantu kamu kalau ada kesulitan," bujuk ibunya sekali lagi.

Lagi-lagi tersedia kesempatan untuk Ambar mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa Diraja ngotot sekali ingin menjalin pernikahan dengannya, tapi lagi-lagi... dia memilih untuk bungkam dan mencoba meyakinkan orang tuanya–bahkan dirinya sendiri bahwa keputusan impulsifnya ini adalah keputusan yang tepat.

"Amira... coba yakinkan Ambar agar dia nggak gegabah dalam ambil keputusan."

Kali ini bapak meminta kakaknya untuk menasehati Ambar agar tidak bersikap impulsif menerima pinangan orang asing dalam hidupnya.

Kakaknya kembali menatap Ambar dan meraih jemarinya untuk diremas penuh penekanan.

"Mau bicara berdua denganku?" tanya sang kakak, dan Ambar menganggukkan kepalanya.

"Aku ikut!" Mas Darius tiba-tiba berseru. Tapi rupanya istrinya menolak ide tersebut dan mengatakan, "Ini pembicaraan antar perempuan, sayang. Biarkan aku ngobrol sebentar ya sama Ambar."

Meskipun tidak suka dengan keputusan Mbak Amira, namun kakak iparnya tetap menghormati keputusan mereka berdua dan duduk kembali menemani kedua orang tuanya bersama Tante Angela yang bertukar pendapat mengenai Diraja Sudibyo.

Mbak Amira menuntunnya ke halaman depan. Ada dua bangku yang biasa diisi ibu dan bapak di sore hari ketika hari libur. Mereka berdua sering sekali mengobrol di sini sembari memperhatikan tanaman anggrek ibu yang dirawat sedemikian rupa.

"Udah nggak ada lagi orang-orang yang bakal merecokimu sekarang." Mbak Amira membuka pembicaraan.

"Coba ceritakan ke Mbak, apa yang kamu bicarakan sama Diraja minggu lalu?" tanyanya dengan sungguh-sungguh.

"Hmm... tawarannya sebenarnya realistis, Mbak," ujarnya dengan lambat dan penuh kehati-hatian.

"Apa tawarannya?" desak Amira.

"Intinya aku punya kebebasan dan juga nanti setelah lulus kuliah aku bisa lanjut S2 tanpa larangan, dan juga... hmmm, aku pikir dengan pernikahanku ini perusahaan Mas Darius bisa berkembang lebih baik lagi." Ambar memilih penjelasan yang umum saja tanpa melangkah lebih jauh lagi.

"Kamu buat apa mengorbankan kebahagianmu untuk perusahaan? Toh Darius bisa mengurus perusahaannya sendiri. Pasti dia memiliki cara untuk menyelamatkan perusahaannya!" Mbak Amira mengguncangkan bahunya.

Ambar mengerti itu, tapi tetap saja... dia merasa pernikahan bisnisnya ini seperti membuatnya merasa berguna bagi keluarganya. Ada sense of purpose dalam hidupnya. Dia tak lagi mendapatkan semua previlese yang diberikan cuma-cuma oleh Mas Darius hanya karena dia adik dari perempuan yang dicintainya.

Obsesi Sang PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang