BAB 4

118 7 0
                                    

"Sebenarnya apa yang terjadi Dara?" tanya ustadz Jaenal. Saat ini keduanya berada di sebuah warung makan biasa, mereka memutuskan bertemu disini dan ustadz Jaenal sendiri juga sudah meminta izin pada Isterinya.

"Saya mengalami hal aneh pak, saya sering di hantui nenek saya.."

"Apa kamu sudah berziarah ke makamnya?"

Dara mendadak diam. Sejak pertamakali Elvalie meninggal dunia, bahkan Dara tidak sempat menemani sampai pemakaman karena orangtua dan keluarga besarnya tidak menginginkan ia berada disana. Hingga sampai saat ini Dara belum juga pergi ke pemakaman.

Dara menggeleng pelan, "Saya tidak lagi di akui sebagai keluarga, saya tidak di anggap anak lagi oleh orangtua saya pak. Saya di sebut pembunuh padahal waktu itu saya hanya menyelamatkan nenek dari sakaratul maut yang di deritanya akibat kemusyrikan."

Cukup terkejut ustadz Jaenal mendengar itu, namun ia tetap memberi kesempatan agar Dara mengungkapkan apa yang selama ini menjadi beban fikirannya.

Tidak di akui, di telantarkan begitu saja, mengalami masa sulit sendirian, berdamai dengan jati dirinya, sungguh Dara sedang rapuh namun ia tak memiliki tempat untuk bercerita apalagi bersandar.

"Saya tau, itu sangat sulit. Kamu anak yang baik Dara, bahkan saya tidak melihat ada kebencian dari kamu kepada orangtua kamu sendiri. Kali ini saya menyarankan agar kamu datang ke pemakaman nenekmu, jika kamu tidak mengetahuinya, kamu bisa bertanya pada orang setempat. Yang saya tangkap dari cerita kamu, sepertinya nenekmu itu ingin di ziarahi."

Dara merasa lega, karena ia mendapatkan solusi terbaik dari ustadz Jaenal. Terkadang ia merasa tidak enak hati, karena selalu saja merepotkan ustadz Jaenal, belum lagi tuduhan dari Raka yang membuatnya terbebani, takut jika bukan hanya Raka saja yang memiliki sudut pandang seperti itu, tetapi oranglain juga yang melihatnya.

"Ayah, ngapain disini?" Raka datang tiba-tiba dan menatap sinis Dara. "Berduaan pula sama ulet bulu kegatelan,"

"Jaga mulut lo ya! Guekan udah bilang kalau gue ada perlu sama bokap lo. Fikiran lo itu busuk tau gak!" kesal Dara.

"Astagfirllah Raka, jaga ucapan kamu. Dara itu bertemu sama ayah, ada yang ingin di bicarakan, lagian bunda kamu juga tau."

"Sini, gue mau ngomong sama lo--" Raka menarik paksa tangan Dara.

"RAKA ALLAHUAKBAR YA ROBBI YA MALIKKKK.." ucap sang ayah menahan rasa kesalnya.

>

Raka berhasil membawa Dara ke tempat yang sedikit berjauhan dari warung tadi.

"Lo bener-bener gatel ya sama bokap gue?" kesalnya.

"Lo bisa gak sih punya fikiran sehat? Lo itu udah SMA tapi otak lo beneran kaya masih duduk di bangku TK. Lo mikir gak sih, bokap lo itu ustad, sementara gue ini manusia yang masih butuh bimbingan mengenai Agama."

"Ngapain bawa-bawa Agama kalau fikiran lo aja kotor udah mau rebut bokap gue dari nyokap gue?"

Plak!

Ini kedua kalinya Dara marah dan menampar pipi anak remaja kurang ngajar itu.

"Jaga ya omongan lo! Gue gak doyan suami orang!"

"Jaga tangan lo yang berani nampar gue, sebelum gue patahin tangan lo."

"Oh coba aja kalau berani,"

Raka menggeram emosi. Ia ingin sekali melakukan hal yang baru saja ia lontarkan namun mengingat seseorang yang ada di hadapannya ini adalah seorang wanita, ia mengurungkan niatnya untuk melakukan hal bodoh yang tidak sepatutnya di lakukan.

"Beruntung lo cewek, kalau cowok udah gue abisin dari tadi."

"Jangan-jangan lo nuduh-nuduh gue cuman buat caper aja sama gue?"

Raka tertawa terbahak, kemudian ia meludah ke tanah, "NAJIS! CEWEK KAYA LO BUKAN LEVELAN GUE. PERAWAN TUA, GAK LAKU!!"

"Gue belum tua, gue masih kuliah. Bukan gue yang ketua-an tapi lo yang masih bocil,"

Raka semakin geram. Kali ini ia tidak bisa menahan emosinya, tangannya hendak memukul Dara namun terhenti saat dimana ayahnya datang menyeretnya pergi.

"Berprilakulah dengan sopan Raka!" hingga emosi yang meletup-letup itu berkurang karena sang ayah yang berhasil membawanya masuk ke dalam mobil.

>

Hari ini adalah hari yang melelahkan untuk Dara, apalagi sebentar lagi ia harus berangkat kuliah, dan setelah itu ia pergi ke kota B untuk menuju pemakaman sang nenek.

Ia tidak merasa keberatan dengan kemampuannya yang bisa berinteraksi dengan hal-hal gaib, namun kadang kala ia juga merasa lelah dan membutuhkan tempat untuk bersandar.

Bersandar untuk ceritanya hari ini, untuk rasa capeknya hari ini dan hari-hari berikutnya. Bukankah hal tersebut seharusnya di lakukan pada sang ibu?

Namun dimana mama-nya, dimana peran seorang ibu untuk anak perempuannya? Bukankah seharusnya sebagai seorang ibu, mampu menerima keputusan terbaik dari anaknya?

Dara yang dulu-nya nakal, suka keluyuran, suka clubing, suka berhura-hura untuk kepuasan dunia, bukankah hal baik jika ia meninggalkan semua itu demi memasuki Agama Islam?

Ya walaupun belum 100% jadi manusia mulia, setidaknya Dara mau belajar bukan?

"Dara kangen sama mama," gumamnya pelan dengan tetesan airmata yang mengalir semakin deras.

Rasa rindu itu tentu dapat Anggelie rasakan dari kejauhan sana, dengan kemunafikannya ia menutupi perasaan rindu itu dengan kebencian.

Ia beranggapan keputusan anak perempuannya itu adalah omong kosong belakang, dan baginya itu fatal.

Ponsel Dara bergetar, sebuah notifikasi muncul dari Ustadz Jaenal.

Assalamualaikum Dara, maaf jika saya mengganggu waktu kamu. Ini saya Siska isterinya ustadz Jaenal, begini Dara.. bagaimama jika km menikah dgn anak saya, raka?

Kedua mata Dara melotot kaget.

"Kayanya gue salah baca," Dara kembali membaca ulang, namun tetap saja ketikannya sama.

"YA ALLAH YA ROBB, JUJUR AJA MENDING HAMBAMU YANG CANTIK INI GAK PUNYA JODOH DARIPADA NIKAH SAMA BOCAH INGUSAN KURANG AJAR KAYA SI RAKA!"

SESAT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang