BAB 18

66 6 0
                                    

"Kenapa mama gak usir aja sih dia? Raka bener-bener keberatan dengan adanya dia disini. Raka harus berangkat, pulang antar dia terus. Belum lagi ayah nyuruh Raka buat pantau dia karena takut terjadi apa-apa. Raka jadi gak bebas mau main, nongkrong sama temen-temen Raka!" ini pertamakalinya Raka bicara keras pada orangtuanya, karena ia tidak menerima sesuatu yang harus ia paksakan.

Ghisela mendengar itu. Ia baru saja sampai di rumah, karena Raka tidak mau ia ikut pulang bersama. Ghisela masih berdiri di depan pintu. Ia merasa tidak berguna sekarang, dan merasa sangat membebani oranglain.

"Mama sayang sama Ghisela seperti mama sayang sama Dara. Dia gak punya siapa-siapa selain kita. Kalau emang kamu merasa keberatan kenapa gak kamu aja yang keluar dari rumah ini?"

"Jadi mama usir Raka?"

Ghisela yang melihat perdebatan itu semakin memanas, ia masuk ke dalam berharap kehadirannya bisa mencairkan suasana.

"Shalom.." Ghisela melangkah mendekat pada ustazah Siska, kemudian mencium punggung tangan wanita paruhbaya itu. "Ibu, Ghisela udah dengar. Gapapa kok, biar Ghisela pergi aja dari rumah ini."

Raka naik pitam. Ia menarik tangan Ghisela, dan menatap tajam bak orang kesetanan.

"SEMUA GARA-GARA LO! LO GAK SEHARUSNYA ADA DI KEHIDUPAN GUE! ORANGTUA GUE SAMPE USIR GUE CUMAN BUAT BELAIN ELU, ANJING!"

"RAKA!!!" ustazah Siska menahan tangan Raka yang hendak menampar Ghisela. "Mama gak pernah didik kamu untuk kasar seperti itu pada perempuan! Kamu mau menampar Ghisela? Sama saja kamu menyakiti mama! Sejak awal kamu lahir ke dunia, mama sudah banyak memberikan ajaran-ajaran Agama, sampai kamu dewasa mama dan ayah gak pernah biarkan kamu sedikitpun kehilangan arah. Tapi kamu salah bergaul, kamu berani mabuk, berani bergonta-ganti perempuan. HARUS SEPERTI APA MAMA DIDIK KAMU LAGI RAKA?"

Patah hati terbesar adalah, ketika seorang ibu meneteskan airmata akibat merasa gagal mendidik anak laki-lakinya.

Raka terdiam, begitupun dengan Ghisela. Ustazah Siska menarik anak gadis itu dalam pelukannya, "Mama gak bisa punya anak lagi. Mama begitu bersyukur ada Ghisela disini, karena mama selalu ingin kamu punya adik perempuan."

"Tapi kenapa harus dia ma?"

"Apa alasan kamu membenci Ghisela? Dia cantik, baik dan gak urakan. Sama sekali tidak pernah melakukan tindakan buruk."

"Raka gak suka sama cewek sialan itu! Kalau mama mau dia tetep tinggal disini, dan tetep bersih keras mau usir Raka, yaudah silahkan. Jangan nyesel udah usir anak seganteng Raka, dan lebih milih siput minus kaya dia!"

Ghisela menarik Raka, gadis itu sekarang bersujud di hadapan Raka, "Jangan! Aku aja yang pergi. Tolong jangan tinggalin keluarga kamu, aku minta maaf."

Dengan tanpa hati nurani-nya Raka menendang Ghisela, "Apaan sih! Gak usah pegang-pegang gue, bangsat. Selamat ya, lo udah ambil perhatian nyokap bokap gue sampai gue yang di usir dari rumah orangtua gue sendiri."

"RAKA ABIMA PUTRA!!" teriakan lantang dari sang ayah membuat semuanya terdiam. Ustadz Jaenal marah karena melihat putra-nya sendiri berani berprilaku kasar pada seorang perempuan.

PLAK.

Tamparan itu pertamakali-nya melayang di pipi Raka, "AYAH GAK PERNAH AJARIN KAMU BERSIKAP BURUK PADA PEREMPUAN. KAMU BEGINI KARENA PERGAULAN! HENTIKAN PERGAULAN GAK BAIK KAMU, ATAU KAMU KEMBALI MONDOK DI TEMPAT YANG JAUH LEBIH PARAH KETAT-NYA DARIPADA PONDOK PESANTREN SAAT KAMU SMP, KAMU PILIH MANA?"

Seketika Raka terdiam. Kemudian ia segera pergi menuju kamarnya tanpa mengatakan apapun. Jika sudah ayah-nya ikut bersua, maka Raka tidak bisa melawan lagi.

"Kamu gapapa Ghisela?" ustadz Jaenal memberi perintah pada sang Isteri untuk membawa Ghisela ke kamarnya. Gadis itu masih menangis sampai sesegukan, sepertinya ia juga merasa sakit hati di perlakukan kasar seperti itu oleh Raka.

>

Ke-esokan harinya, Ghisela bahkan tidak ikut menimbrung di mobil Raka lagi. Ia sendiri yang menghindari karena tidak mau membuat kacau suasana keluarga itu.

"Kamu kenapa kok melamun terus, aku perhatikan?" Calista bertanya sambil membuka ompreng yang berisi makanan lagi untuk ia bagi pada Ghisela.

"Gapapa, aku merasa hidupku gak berguna."

"Kamu berguna kok. Maksudku, jangan berfikir seperti itu. Beberapa orang pasti masih membutuhkanmu."

Ghisela menatap makanan yang sama seperti biasanya, "Mie lagi?"

"Iya. Maaf ya, aku gak mampu beli makanan mahal."

"Bukan itu, hm maksudku-- aku lagi gak pengen makan mie. Gapapa kan kalau kamu habiskan sendiri?"

Calista kelihatan bersedih. Ia menutup kembali ompreng itu, "Yasudah kalau gitu aku juga gak akan makan."

"Kenapa gitu Ca, kamu harus makan. Itukan buatan ibu kamu, kasihan masa di buang?"

"Abisnya kamu gak mau ikut makan-"

Raka tiba-tiba memasuki kelas, Calista terkejut begitupun dengan Ghisela sendiri.

"Aku pergi dulu ya Sel," dengan segera Calista pergi. Dan yang membuat Ghisela seketika terkejut, apa ia tidak salah lihat melihat Calista menembus dinding tembok?

Jantung Ghisela berdebaran. Ia masih benar-benar shock dengan apa yang baru saja ia lihat.

"Kenapa lo gak berangkat sama gue?" Raka yang bertanya cukup keras saja, rasanya Ghisela tidak mendengar. Ia fokus dengan fikirannya sendiri, yang saat ini berperang dan bertanya-tanya.

"GHISELA!" mendengar namanya di sebut begitu keras tepat di telinga-nya, Ghisela sadar dan kini menatap balik Raka.

"Ada apa kak?"

"Ada apa lo bilang? Gue nanya, kenapa lo gak berangkat sama gue?"

"Kak maaf, aku kayanya sakit perut deh, sebentar ya-" Ghisela buru-buru keluar kelas. Raka kebingungan atas tingkah gadis itu.

Dia menghindar dari gue?

Langkah Ghisela semakin di percepat, ia mencari keberadaan Calista. Tidak mungkin ia salah lihat tadi.

Dengan keberanian yang hanya 20% itu, Ghisela mencoba bertanya pada teman seangkatannya, "M-maaf kalian lihat Calista gak?"

Dua orang murid perempuan nampak mengernyit bingung, "Calista? Lo gak salah sebut nama itu?" tanya murid perempuan bernama Tiara.

"Maksudnya apa ya?" Ghisela jadi semakin bingung.

"Kita gak lihat!" sarkas murid perempuan yang tadi duduk di samping Tiara, ia seperti tidak memperbolehkan Tiara bicara lebih dengan Ghisela.

Ghisela mencoba bertanya lagi pada murid lain, namun tidak ada yang menanggapi, bahkan kebanyakan dari mereka berekspresi terkejut karena nama Calista di sebut-sebut.

"Siapa sebenernya Calista?" kini Ghisela mulai menyadari keanehan itu. Ia yakin bahwa melihat Calista menembus tembok bukanlah halusinasi-nya. Seperti yang pernah Raka katakan sewaktu itu, seharusnya ia tidak mudah bicara dengan orang asing, karena siapa tahu bukan orang kan?

SESAT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang