BAB 13

94 8 1
                                    

Jelas, Dara melihat kebencian dari kedua mata mama-nya. Benci terhadap situasi yang tidak ia inginkan, benci bersama dengan pria yang tidak pernah ia cintai, benci karena takdir tidak berpihak atas kemauan-nya.

"KENAPA LO BUNUH PAPA GUE, HAH? SEENGGAKNYA BIARIN DIA TETAP HIDUP! GUE GAK DAPET PERAN LO SEBAGAI IBU UNTUK GUE, GUE CUMAN PUNYA BOKAP! KALAU BUKAN KARENA HASUTAN LO, BOKAP GUE GAK AKAN IKUT-IKUTAN NGUSIR GUE DARI RUMAH. SECINTA ITU PAPA SAMA LO. TAPI INI BALESAN LO?"

Sungguh, emosi Dara meluap-luap sekarang. Irvan adalah papa yang baik, walau sempat mengusirnya karena pengaruh dari sang Isteri. Padahal yang Dara inginkan keluarga yang harmonis, tetapi kenapa ia harus mendapat ibu kandung rasa ibu tiri?

PLAKKK!

Anggelie menampar keras Dara, sampai pipi gadis itu menimbulkan kemerahan. "BERANI KAMU MENENTANG SAYA?" bahkan sekarang nada suara-nya tak kalah tinggi dari Dara.

Dara tertawa miris, "Ada ya ibu sejahat lo di muka bumi ini? Baru kali ini gue menyesal telah lahir ke dunia dari rahim orang jahat kaya lo!"

PLAKKK!

Lagi tamparan itu sekarang beralih di pipi sebelahnya. Dara membalasnya dengan tawa yang padahal hatinya menjerit menangis. Ibunya sekarang, musuh baginya.

Anggelie membaca mantra-mantra yang berhasil membuat leher Dara kesakitan hanya dengan gerakan tangannya.

Dara sekarang berada di atas udara, dengan leher tercekik tanpa di sentuh oleh sang pelaku.

"Ma, lepasin kakak--" meski lemah, Ghisela berusaha menolong kakaknya.

Tasbih yang Dara pegang jatuh ke lantai, leher yang kesakitan tidak bisa membuatnya bersuara bebas.

"I-ituuu--" ia menunjuk pada tasbih yang terjatuh, memberi kode pada Ghisela.

Ghisela merangkak, ia mengambil tasbih itu. Kemudian ia lemparkan pada sang kakak.

Seperti senjata paling ampuh, tasbih itu memberi pertolongan yang nyata. Rasa sakit dari cekikan itu tidak lagi terasa sakit, tenggorokan Dara tak lagi tercekat perih. Ia mulai membaca doa atas kepercayaan yang sudah ia tekuni selama satu tahun lebih ini.

“Robbi a'uudzubika min hamazaatisy-syayaathiin wa a'udzubika robbi ayyahdhuruun.” tiga kali ia baca, akhirnya Dara selamat dari cekikan itu.

Anggelie menatap tak percaya. Bagaimana bisa, ilmu hitamnya malah tersingkirkan hanya dengan doa yang Dara ulang berkali-kali.

"Hentikan ma," pinta Dara pelan.

Anggelie menangis bersujud, "Maafin mama, Dara.."

"Bangun ma," Dara kemudian memeluk mama-nya, "Dara sangat sayang sama mama, Ghisela juga. Kami semuaaaaa--akhhhh"

"KAK DARAAAAAAAAAAA--"

Pisau itu berhasil menusuk di punggung Dara, sang pelaku tertawa puas. "Dara, asal kamu tau.. saya tidak pernah percaya cinta yang nyata selain cinta dari ibu saya untuk saya, itu sebab saya rela menukar jiwamu dengan ibu saya asalkan ibu saya hidup kembali seperti sedia kala."

>

Pada perjalanan larut malam, tentu jalanan tidak macet, hingga Raka dan ayah-nya sekarang sudah sampai di tujuan.

Ustadz Jaenal tidak tahu dimana tempat orangtua Dara berada, tetapi Dara waktu pertamakali datang padanya ia memberitahu dimana tempat tinggalnya sebelum pindah ke kota Jakarta.

"Yah, sebenernya kita mau ngapain sih?" tanya Raka.

Ustadz Jaenal tidak menjawab, ia sibuk membuka gerbang dan buru-buru masuk di ikuti oleh Raka.

SESAT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang