BAB 3

44 5 1
                                    

Hujan deras membasahi bumi, Ghisela dan sahabatnya masih berada di kampus. Ghisela bisa saja langsung menelfon Elang agar segera menjemputnya, akan tetapi ia memikirkan Erina yang kebetulan tidak membawa kendaraan hari ini.

Dipta dan Bayu juga masih berteduh di area kampus, keduanya mepet-mepet berdiri di sebelah Erina dan juga Ghisela.

"Hujan-nya deras ya.." ucap Dipta yang langsung mendapat tatapan malas dari Erina, "Sederas cintaku padaku." Bukannya baper rasanya Erina ingin muntah.

"Waw, berarti kalau sederas cintaku padamu, itu hati lu ada awan-nya ya Dip?" tanya Bayu.

"Kalau gue lagi godain ayang gue, mulut lo bisa diem gak nyet?"

Bayu tertawa saja mendengar Dipta yang kesal karena mendapat gangguan darinya, sementara Ghisela hanya geleng kepala atas tingkah mereka.

"Plis, kasih aa kesempatan untuk lebih pantas bersamamu Erina?" pinta Dipta bersungguh.

"Monopoli kali ah kesempatan," lagi-lagi Bayu yang menyahuti.

"Sekali lagi lo ngebacot, gue kutuk jadi tai." kesal Dipta.

"Lo bisa gak sih gak usah gangguin gue terus?" kesal Erina.

"Oh tidak bisa beb, karena gangguan dariku merupakan rasa cinta yang tulus untukmu."

Rasanya Erina benar-benar ingin muntah sekarang. Sementara Ghisela tertawa mendengar apa yang Dipta katakan.

Hujan semakin deras, membuat perasaan Ghisela menjadi gelisah tidak tentu.

Saat hujan sedang deras-deras-nya di iringi dengan petir, ia melihat seorang gadis berdiri di tengah-tengah halaman kampus. Tubuhnya basah kuyup, gemetaran karena kedinginan. Kepalanya menunduk, dengan rambut hitam panjang yang menutup wajahnya.

Lalu dalam hitungan detik, gadis itu memperlihatkan wajahnya, menatap Ghisela tajam dan tiba-tiba sudah ada di hadapan Ghisela.

"PEMBUNUH ITU HARUS MATI!!!"

"AAAAAAAA JANGAN GANGGU AKUUUUU!" teriakan Ghisela membuat Erina seketika khawatir dan langsung memeluk sahabatnya.

"Sel, lo kenapa?"

"Tolong jangan ganggu aku.."

Dipta dan Bayu saling melirik kemudian berbisik, "Perasaan yang gue gangguin si Erina, kenapa si Ghisel yang tantrum ya Bay?"

"Iya aneh, jangan ganggu aku, jangan ganggu aku, emang siape yang ganggu dia? Gue juga gak tertarik sama dia, aneh gue rasa. Cantik-cantik tapi aneh."

Ghisela masih berteriak. Erina mencoba menenangkannya dengan terus memeluk dan mengusap puncak kepala Ghisela.

"Tenang ya Sel. Gue tau elu lagi takut banget sama petir-nya, semoga aja hujan-nya cepet reda."

Perlahan Ghisela mulai tenang, saat ia tak lagi merasakan kehadiran makhluk tadi. Ia yakin, itu adalah sosok yang sama. Sosok yang selalu meminta pertolongannya.

Jika benar Elang bersalah, kenapa tidak Elang saja yang di gentayangi oleh mereka?

>
>

Di tempat lain, Elang duduk santai di atas kursi putar. Rokok yang menyala, ia buang tepat ke wajah orang yang saat ini sedang bersujud meminta maaf padanya.

Jelas saja pria yang memohon itu meringis kesakitan, wajahnya bisa saja bolong jika tidak buru-buru rokok menyala itu ia singkirkan.

BRAK.

Dengan tanpa rasa iba sedikitpun, Elang menendang pria itu.

"Gue bukan Tuhan. Ngapain lo sujud di hadapan gue?"

"M-maaf, t-tolong maafkan kesalahan saya.. saya berjanji tidak akan lagi melakukannya."

Elang tersenyum miring, "Nanti nunggu lebaran gue maafin. Sekarang bangun!" perintahnya mutlak.

Pria bertato itu menurut.

"Lo berani rusak tempat yang seharusnya bukan milik lo, itu kesalahan besar. Lo gak tau siapa pemilik gedung yang saat ini berjalan jadi pasar besar?"

"M-maaf.. s-saya melakukannya karena saya membutuhkan uang."

"Gue tanya, lo tau gak siapa pemiliknya?"

"Saya tid-tidak tau. S-saya hanya tau, yang mengawasi itu pak Irwan."

"YANG PUNYA-NYA BOKAP GUE, BAGAS MAHESA! GEDUNG BESAR MEGAH YANG DI JADIIN PASAR ITU MILIK BOKAP GUE! SUPAYA ORANG BISA JUALAN, BISA CARI DUIT DISANA. DAN GAK ADA LOWONGAN BUAT JADI PREMAN PASAR! LO MAU JADI JAGOAN?"

Bug!

Bug!

Elang memukulnya berkali-kali. "Lawan gue kalau lo emang jagoan!"

"M-maaf.. s-saya benar-benar minta maaffff--"

"Terakhir duit siapa yang lo palak hah?"

"M-maafkan s-saya.."

"GUE TANYA, SIAPA?"

"Pen-penjual daging, namanya pak Agus."

Elang tersenyum penuh arti.

Ia kemudian berjalan mendekati nakas, yang di bawahnya terdapat laci berisikan senjata tajam.

Yang Elang ambil adalah pisau daging. Pisau berukuran besar, dan pastinya sangat mudah untuk mencincang.

Seperti yang ada di fikiran para readers, ia akan menggunakan pisau itu untuk menghabisi pria bertato yang ada di hadapannya.

Pria itu mundur ketakutan, perasaannya tidak enak, dan ia yakin bahwa dirinya dalam bahaya.

"Kenalin, gue Elang Mahesa. Bukan anak yang di peralat oleh bokapnya, tapi anak yang di ajarkan menjadi kuat."

Elang berjalan mendekat, kemudian tanpa berbasa-basi lagi ia memotong leher pria itu sampai putus.

Tidak puas dengan itu, ia menghabisi tubuh yang sudah tidak bernyawa itu dengan mencincangnya seperti daging, percis dengan daging yang di jual di pasaran.

Ia menelfon seseorang, meminta agar potongan jasad pria itu di bersihkan, dan di jual di pasaran dengan harga yang murah. Tidak ada yang tahu itu adalah daging manusia, karena percis di buat semacam daging pada umumnya.

"Anggap aja karma karena lo malak tukang daging, sekarang elu sendiri yang jadi dagingnya. Hukum tabur tuai namanya." ucapnya.

Elang segera membersihkan diri.

Hujan di luar cukup lama mereda, ia ingat bahwa Ghisela belum menghubunginya padahal jam kampus sudah selesai.

Buru-buru Elang pergi menjemput wanitanya.

SESAT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang