02. Suara yang Berbeda

43 7 0
                                    

☆☆☆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☆☆☆

Kirana menyukai tempat itu—sebuah kafe kecil di sudut kota, jauh dari keramaian. Ia selalu duduk di meja yang sama, dekat jendela besar yang menghadap ke jalan yang sepi.

Setiap pagi, dia menikmati ketenangan sambil menyeruput teh hangat dan membaca buku. Rutinitasnya sederhana, tenang, dan tak terganggu oleh hiruk-pikuk dunia di luar sana.

Namun pagi ini berbeda.

Ketika ia tengah asyik membaca, suara pintu kafe terbuka dengan keras, diikuti oleh beberapa bisikan terkejut dari pelanggan lain. Kirana mengangkat pandangannya, hanya untuk melihat seorang pria memasuki ruangan.

Meski mengenakan topi dan kacamata hitam, auranya terlalu mencolok untuk disembunyikan. Dia tampak terburu-buru, dan tanpa banyak bicara, pria itu mengambil tempat di sudut kafe yang paling tersembunyi.

Kirana tak mengenalinya. Mungkin karena dia tak banyak mengikuti dunia hiburan, dan sorotan tak pernah menarik minatnya.

Namun bagi pelanggan lain, bisikan-bisikan mulai terdengar jelas. "Itu Raka!" kata seorang gadis di meja sebelah, suaranya sedikit berbisik namun penuh antusiasme.

Raka. Nama itu familiar. Musisi terkenal, penyanyi yang selalu muncul di panggung-panggung besar dan layar kaca. Kirana hanya mengangguk kecil pada dirinya sendiri, tidak begitu peduli.

Tapi ada sesuatu tentang pria ini yang menarik perhatiannya. Bukan karena statusnya, melainkan karena cara dia duduk. Terlihat gelisah, meskipun dia berusaha menyembunyikannya. Dia tampak... lelah.

Kirana berusaha kembali pada bukunya, tapi kesunyian paginya terasa terusik. Dari sudut matanya, ia melihat Raka melepaskan kacamata hitamnya. Tatapannya terfokus ke luar jendela, namun jelas dia sedang jauh dari situ—tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia seolah sedang mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan di tengah keramaian.

Tanpa sadar, Kirana memperhatikannya lebih lama dari yang seharusnya. Pada saat itu, Raka menoleh, dan mata mereka bertemu. Sebuah keheningan canggung melayang di udara.

Kirana buru-buru menunduk, berusaha mengalihkan perhatian kembali ke bukunya. Namun terlambat, Raka sudah berdiri dan berjalan mendekat.

"Maaf, apa meja ini kosong?" suaranya terdengar lelah, tetapi lembut.

Kirana sedikit bingung. Dia menatap Raka sebentar sebelum mengangguk pelan. "Iya," jawabnya.

Raka duduk di depannya, tak peduli pada tatapan penasaran dari pengunjung lain. Beberapa detik hening berlalu sebelum dia memandang Kirana dengan tatapan yang lebih dalam, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Ini mungkin aneh, tapi... kenapa kamu tidak bereaksi seperti mereka?" tanyanya, sambil mengangguk ke arah pelanggan lain yang masih terus mencuri pandang ke arahnya.

Kirana tersenyum tipis, lalu menutup bukunya. "Mungkin karena saya gak benar-benar mengenal kamu," jawabnya jujur. "Saya tahu kamu Raka, penyanyi terkenal. Tapi selain itu, saya tidak tahu banyak."

Raka menatapnya, seolah jawaban itu mengejutkan. Dalam dunia yang selalu menilainya dari citra publik, seseorang yang tidak terpengaruh oleh ketenarannya adalah sesuatu yang jarang ia temui.

"Baguslah," katanya akhirnya, dengan senyum tipis di bibirnya. "Kadang rasanya lebih baik ketika orang tidak mengenal saya."

Kirana menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Kenapa begitu?"

Raka terdiam sejenak, seolah merenungkan jawaban itu. "Karena semakin mereka mengenal saya, semakin banyak harapan yang mereka miliki. Dan semakin sulit rasanya untuk memenuhi harapan itu."

Kata-katanya membuat Kirana terdiam. Dia bisa merasakan bahwa pria ini membawa beban yang tak terlihat oleh dunia luar. Bukan hanya ketenaran yang melelahkan, tetapi ada kesepian yang terasa di antara nada-nada suaranya.

Kirana tak ingin mendesak. Dia tahu bagaimana rasanya ketika seseorang memaksamu membuka diri. Sebaliknya, dia hanya mengangguk pelan dan kembali memandang keluar jendela.

Raka memperhatikannya sejenak sebelum melepaskan napas panjang. "Tempat ini tenang," ujarnya akhirnya, suaranya lebih rileks dari sebelumnya.

"Itulah sebabnya saya sering ke sini," jawab Kirana, sedikit tersenyum. "Kamu butuh tempat tenang?"

Raka terdiam, menatap ke arah jalanan yang sepi di luar. "Lebih dari yang kamu tahu."

Dan begitu saja, percakapan sederhana antara dua orang asing pun dimulai. Tak ada basa-basi, tak ada tekanan. Hanya ada dua orang dengan kehidupan yang berbeda, berbagi keheningan yang mereka temukan di sudut kecil kafe itu.

Di saat-saat yang tenang itulah, Raka menyadari bahwa mungkin, dalam kesederhanaan yang tenang ini, dia bisa menemukan sesuatu yang selama ini hilang dalam hidupnya—kedamaian yang tak pernah bisa ia temukan di bawah gemerlap lampu panggung.

bersambung

Serenade in Stillness | Wonbin RIIZE [ END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang