☆☆☆
Kirana duduk di sudut ruangan, menatap cangkir teh yang belum tersentuh di tangannya. Di luar, hujan turun dengan deras, menimbulkan suara yang seolah mengikuti irama hatinya yang kacau.
Sudah tiga hari sejak konser besar Raka, namun kata-kata yang pernah mereka ucapkan satu sama lain masih menggema di benaknya. Kata-kata itu terasa berat, penuh dengan ketidakpastian dan jarak yang kian membesar di antara mereka.
Malam itu, Raka baru saja selesai tampil di depan ribuan penggemar yang meneriakkan namanya. Setelah penampilan yang memukau, ia menemui Kirana di belakang panggung. Tapi alih-alih pelukan hangat atau kata-kata penyemangat, ada sesuatu yang tidak terucapkan di antara mereka, sesuatu yang telah lama tertimbun namun tak pernah dihadapi.
Kirana mengingat dengan jelas saat Raka berkata, “Ini adalah hidupku, Ki. Sorotan, kebisingan, jadwal yang tak ada habisnya—aku tidak bisa lari dari semua ini.” Matanya berbinar lelah, meski bibirnya tetap melengkungkan senyum yang dibuat-buat. “Dan aku... aku tak tahu apakah kamu bisa menyesuaikan diri dengan semua ini.”
Kirana merasakan dadanya menegang, seolah-olah kata-kata itu telah lama ia tunggu, namun tetap saja menyakitkan ketika akhirnya terucap. “Aku tidak meminta kamu untuk lari dari apa yang kamu cintai, Raka. Tapi... aku juga tidak bisa menjadi bagian dari dunia ini,” jawabnya lembut, suaranya hampir tenggelam di antara dentuman suara dari penonton yang masih bergemuruh di luar.
Raka mendekatinya, tangannya terulur ingin menggenggam tangan Kirana, namun dia menahan diri. “Lalu bagaimana kita bisa terus bersama kalau kita tidak bisa berada di tempat yang sama? Dunia kita begitu berbeda.”
Kirana menatap mata Raka, matanya yang biasanya penuh dengan keyakinan kini dipenuhi oleh kebimbangan. “Mungkin kita harus bertanya pada diri kita sendiri, apakah cinta cukup untuk menyatukan dua dunia yang begitu jauh?”
---
Di sisi lain kota, Raka duduk di balkon apartemennya, memandang jauh ke jalanan yang basah oleh hujan. Teleponnya bergetar di meja, namun ia tak segera menjawabnya.
Jadwal padat dan tekanan dari manajernya menambah beban di pikirannya. Tapi yang paling mengganggunya adalah percakapannya dengan Kirana.
Selama ini, ia pikir mereka bisa menemukan jalan untuk bersama. Ia pikir cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi perbedaan, tapi semakin ia mendalami dunia gemerlapnya, semakin ia merasakan jarak yang tumbuh di antara mereka.
Raka sadar, meski ia mencintai Kirana lebih dari apa pun, ia belum benar-benar memahami apa yang dunia ini—dunianya—telah lakukan terhadap Kirana.
Bunyi teleponnya membuat Raka tersadar. Itu pesan dari manajernya, mengingatkannya tentang tur konser yang akan segera dimulai. Lima kota dalam dua minggu.
Jantung Raka mencelos. Bagaimana ia bisa mengharapkan Kirana mengikuti kehidupannya yang seperti ini, selalu bergerak tanpa henti? Bahkan dirinya sendiri semakin merasa hampa di tengah gemerlapnya dunia ini.
---
Sementara itu, Kirana memutuskan untuk menenangkan dirinya dengan berjalan di sekitar taman dekat rumahnya. Hujan sudah mulai mereda, meninggalkan aroma tanah yang basah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari ketenangan yang biasanya ia dapatkan dari alam sekitarnya.
Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ketika ia memikirkan Raka, hatinya tidak bisa menemukan kedamaian yang sama.
Bagaimana bisa dua orang yang saling mencintai begitu dalam, merasa terperangkap oleh hidup mereka masing-masing? Apakah cinta mereka hanya mimpi yang indah tetapi tidak realistis?
Langkah Kirana terhenti saat ia sampai di danau kecil di tengah taman. Refleksi dirinya terlihat samar di atas permukaan air yang tenang, seperti perasaannya yang kabur dan tidak pasti. Ia merenung, apakah cinta harus selalu menjadi perjuangan? Ataukah ia hanya terlalu naif berharap mereka bisa bertahan di dua dunia yang begitu berbeda?
---
Pada saat yang bersamaan, Raka memutuskan untuk menghubungi Kirana. Ketika ponsel Kirana berdering, ia ragu sejenak sebelum menjawab.
“Raka,” suara Kiranaterdengar di seberang, lembut dan menenangkan, tapi juga penuh dengan beban yang sama yang dirasakan Raka.
“Alya... aku ingin kita bicara. Bukan di tengah kesibukan atau setelah konser, tapi benar-benar bicara. Hanya kita berdua. Aku perlu tahu... kita perlu tahu, apakah ada jalan bagi kita,” Raka berbicara pelan, hampir seperti bisikan. Di balik kata-katanya, ada rasa putus asa yang tak bisa ia sembunyikan.
Kirana terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku juga ingin bicara, Raka. Aku ingin kita jujur, meskipun itu sulit.”
Mereka berdua tahu, percakapan yang akan datang tidak akan mudah. Tapi mereka juga tahu, tanpa kejujuran, cinta mereka hanya akan terjebak di antara kebisingan dan keheningan—di antara dua dunia yang mungkin tak bisa disatukan.
bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenade in Stillness | Wonbin RIIZE [ END]
FanfictionKetika dua dunia yang begitu berbeda ini bertabrakan secara tak terduga, Raka dan Kirana saling menemukan apa yang selama ini hilang dalam hidup mereka. Kirana menemukan kedamaian dalam keheningan Raka, sementara Kirana mulai melihat keindahan dalam...