10. Di Antara Dua Dunia

5 1 0
                                    

☆☆☆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☆☆☆




Hujan turun dengan lembut di luar jendela apartemen Raka. Di dalam, suasana begitu kontras dengan dunia luar yang penuh gemuruh—hening, nyaris damai, tapi di balik keheningan itu, ada ketegangan yang tak terucap.

Raka duduk di sofa dengan gitar di pangkuannya, jari-jarinya tanpa sadar memetik senar, memainkan melodi yang lambat dan penuh perasaan. Suara itu memenuhi ruangan, tetapi tidak bisa menutupi kecanggungan yang menggantung di antara mereka.

Kirana duduk di seberang ruangan, memandang keluar jendela, meskipun perhatiannya jelas ada pada setiap nada yang Raka mainkan.

Sudah berhari-hari sejak percakapan terakhir mereka yang benar-benar jujur, dan jarak di antara mereka kini terasa begitu besar—meski hanya beberapa meter.

"Kirana," Raka akhirnya memecah keheningan. Suaranya serak, penuh dengan emosi yang ia coba kendalikan. "Kita perlu bicara."

Kirana menoleh pelan, matanya bertemu dengan milik Raka, tetapi ia tetap diam. Raka tahu, ini adalah momen yang sudah mereka tunda terlalu lama. Sejak beberapa minggu terakhir, hubungan mereka mulai terasa berat.

Dunia yang begitu berbeda antara mereka, yang dulu terasa sebagai daya tarik, kini mulai menunjukkan retaknya. Sorotan yang selalu mengejar Raka mulai menekan Kirana, dan kesederhanaan Kirana membuat Raka merasa terasing dari dunia yang selama ini ia kenal.

"Aku tahu ini sulit," lanjut Raka, meletakkan gitarnya dan menatap Kirana dengan serius. "Duniaku... itu bukan dunia yang damai. Aku tahu itu bukan sesuatu yang kamu inginkan."

Kirana menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Bukan soal aku tidak bisa menerimanya, Raka. Aku hanya... aku hanya merasa semakin jauh darimu. Kamu dikelilingi orang-orang yang ingin kamu jadi sempurna, sementara aku hanya ingin kamu jadi dirimu sendiri. Tapi aku juga merasa terperangkap dalam kehidupan yang bukan milikku."

Raka menggeleng, rasa bersalah merayap di dalam hatinya. "Aku tidak pernah ingin kamu merasa seperti itu. Aku... aku butuh kamu. Kamu satu-satunya yang membuatku merasa benar-benar hidup di tengah semua ini."

Kata-kata itu menusuk Kirana, karena ia tahu Raka jujur. Dia melihat ketulusan di mata Raka, tapi masalahnya lebih dalam dari sekadar kata-kata. Dunia yang mereka jalani begitu berbeda.

Setiap kali Raka tampil di atas panggung, dia merasa seperti berdiri di ambang tebing, tak mampu meraih Raka yang semakin menjauh, dibawa pergi oleh sorotan, oleh penggemar, oleh tekanan menjadi seorang bintang.

"Aku tahu kamu mencintaiku, Raka. Tapi, apa kamu mencintai hidup yang kita jalani sekarang?" Kirana menatapnya dengan penuh kesedihan, pertanyaan itu meluncur seperti pisau tajam.

Raka terdiam, bibirnya bergerak seolah ingin menjawab, tapi kata-kata itu tidak keluar. Jawabannya terlalu rumit, terlalu berat. Ia mencintai Kirana, itu pasti.

Tapi apakah hidup yang damai dan tenang seperti yang Kirana inginkan benar-benar bisa menyatu dengan dunia yang ia jalani? Dunia musik, dunia gemerlap, adalah bagian dari dirinya.

Hening kembali menyelimuti ruangan. Di luar, hujan semakin deras. Raka berdiri, berjalan menuju jendela, punggungnya menghadap Kirana. "Mungkin kamu benar," gumamnya. "Mungkin dunia kita terlalu berbeda."

Kirana merasakan hatinya mencelos mendengar kata-kata itu, seolah semua ketakutan yang ia simpan selama ini akhirnya menjadi nyata. Tapi ia juga tahu bahwa kejujuran ini diperlukan. Mereka tidak bisa terus bersembunyi dari kenyataan yang semakin mendesak di antara mereka.

"Kamu tahu," kata Kirana dengan suara pelan tapi tegas, "Aku tidak pernah meminta kamu meninggalkan semua yang kamu cintai. Tapi, apakah ada ruang di antara dunia kita untuk tetap bersama? Atau kita akan selalu hidup dalam dua tempat yang berbeda?"

Raka memejamkan mata sejenak, membiarkan kata-kata Kirana meresap. Dia memutar tubuhnya, menatapnya dengan mata yang penuh konflik. "Aku tidak tahu, Ki. Aku benar-benar tidak tahu. Aku hanya tahu aku tidak ingin kehilangan kamu."

Kirana berdiri, berjalan mendekatinya, dan berdiri di hadapannya. Dia mengulurkan tangan, menyentuh pipi Raka dengan lembut. "Aku juga tidak ingin kehilangan kamu, tapi aku juga tidak bisa terus hidup seperti ini. Kita harus menemukan cara, atau..." suaranya memudar, tapi Raka tahu kelanjutan kalimat itu: atau mungkin ini tidak akan berhasil.

Hening lagi. Kali ini, lebih berat dari sebelumnya. Akhir dari sesuatu yang dulu terasa indah kini semakin mendekat.

"Aku akan mencoba," kata Raka akhirnya, suaranya rendah, hampir berbisik. "Aku akan mencoba mencari ruang untuk kita, Ki."

Kirana mengangguk pelan, meski hatinya tidak yakin. Kata-kata Raka selalu penuh janji, tetapi apakah dunia mereka bisa memberikan ruang untuk cinta yang begitu rapuh ini?

Hujan terus mengguyur di luar, sementara di dalam, dua hati yang saling mencintai berdiri di persimpangan, tidak tahu apakah cinta mereka cukup kuat untuk menjembatani jarak yang begitu besar.



bersambung

Serenade in Stillness | Wonbin RIIZE [ END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang