17. Echoes of a Different World

5 0 0
                                    

☆☆☆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☆☆☆

Hujan rintik-rintik mengetuk jendela apartemen Kirana. Di luar, langit tampak kelabu, menggambarkan suasana hatinya yang penuh keraguan.

Di sudut kamar, Raka duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding, gitar akustik di pangkuannya. Nada-nada lembut keluar dari jemarinya yang ahli, tapi kali ini melodi itu terdengar tak bersemangat, seolah memantulkan perasaan yang menggelayuti antara mereka.

Sejak pertemuan mereka beberapa bulan lalu, banyak yang telah berubah. Raka, yang biasa dikelilingi oleh keramaian, akhirnya menemukan ruang keheningan yang ia butuhkan bersama Kirana.

Di sisi lain, Kirana mulai belajar menerima kilauan kehidupan Raka yang berlawanan dengan ketenangan yang selama ini ia pelihara. Namun, di tengah semua itu, semakin jelas bahwa mereka berasal dari dua dunia yang bertentangan—dunia yang kini perlahan mulai menekan hubungan mereka.

“Kamu tahu, aku nggak bisa terus begini, kan?” Suara Kirana akhirnya memecah keheningan di antara mereka.

Raka berhenti memetik gitarnya dan menatap
Kirana. Ekspresinya sulit terbaca, tapi ada rasa lelah yang jelas tampak di matanya. “Begini gimana?”

Kirana berjalan mendekat, duduk di samping Raka. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Dunia kamu… itu terlalu jauh dari yang aku kenal. Setiap kali kita bersama, aku merasa seperti bayangan. Aku bukan bagian dari keramaian yang kamu hadapi setiap hari.”

Raka menatap gitar di tangannya, seolah mencari jawaban dari senar-senar yang tak lagi bisa ia petik. “Aku nggak pernah minta kamu untuk menjadi bagian dari semua itu. Di antara semua kebisingan, kamu adalah satu-satunya yang tenang, Ki. Kamu membuat aku bisa bernapas.”

Kirana menatap Raka dengan tatapan yang lembut tapi penuh keteguhan. “Tapi aku juga tidak bisa terus hidup di dua dunia yang berbeda. Setiap kali aku melihatmu di atas panggung, dikelilingi oleh orang-orang yang terus menarikmu ke arah mereka, aku merasa semakin jauh.”

Raka menggeleng pelan, meletakkan gitarnya di samping. “Aku mau kamu jadi bagian dari hidupku. Nggak peduli seberapa keras dunia luar menarikku, aku akan selalu kembali ke kamu. Aku nggak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.”

“Tapi bagaimana kalau yang aku inginkan bukan hanya bagian dari hidupmu, Raka? Bagaimana kalau aku butuh lebih dari itu? Aku butuh tempat di mana aku merasa cocok, tanpa merasa seperti aku harus mengubah siapa aku sebenarnya.”

Kata-kata Kirana menghantam Raka dengan keras. Dia terdiam, merenungi apa yang baru saja Kirana ungkapkan. Selama ini, Raka pikir bahwa mencintai Kirana sudah cukup untuk menyatukan mereka.

Namun, ia mulai menyadari bahwa cinta saja mungkin tidak cukup untuk menutup jurang yang ada di antara dunia mereka.

Suara ponsel Raka tiba-tiba memecah suasana. Sebuah panggilan dari manajernya. Dia tahu apa yang akan diucapkan—kontrak konser berikutnya, pertemuan dengan media, tuntutan untuk tetap berada di puncak. Dunia yang terus menariknya menjauh dari Kirana.

Raka menatap ponselnya dengan perasaan bercampur aduk sebelum akhirnya menekan tombol reject. Untuk pertama kalinya, dia merasakan kekalahan di dalam dirinya.

“Kirana.... aku bisa berhenti.” Kata-kata itu keluar sebelum ia sempat berpikir lebih jauh.

Kirana menatapnya terkejut. “Berhenti? Dari musik?”

“Dari semua ini. Dari dunia yang membuat aku jauh dari kamu. Aku bisa meninggalkan semuanya.”

Kirana menggeleng perlahan, senyumnya lembut tapi penuh kesedihan. “Kamu nggak akan pernah bahagia kalau kamu berhenti. Musik adalah hidup kamu, Raka. Aku nggak mau kamu membuang sesuatu yang begitu berarti hanya karena aku.”

Raka menundukkan kepalanya, suaranya lirih. “Tapi aku juga nggak bisa kehilangan kamu.”

Kirana menyentuh tangannya, jemarinya menggenggam erat. “Kamu nggak akan kehilangan aku. Tapi kita perlu jujur, Raka. Kita butuh ruang untuk mencari tahu apakah dunia kita benar-benar bisa bertemu, atau jika kita hanya memaksa sesuatu yang tidak bisa dijalani bersama.”

Mereka terdiam untuk waktu yang terasa seperti selamanya. Hujan di luar semakin deras, seperti cerminan dari badai emosi yang berputar di dalam hati mereka.

Akhirnya, Kirana berdiri, langkahnya pelan tapi
mantap. “Aku pikir, kita butuh waktu untuk berpikir. Mungkin sementara waktu, kita harus mengambil jarak. Bukan untuk mengakhiri, tapi untuk memberi kita ruang melihat apakah kita bisa menemukan cara untuk bersama, tanpa mengubah siapa kita.”

Raka hanya bisa menatap ketika Kirana perlahan berjalan menuju pintu. Setiap langkahnya terasa seperti jarak yang semakin melebar di antara mereka. Ketika pintu akhirnya tertutup, Raka menyadari betapa sunyinya apartemen itu sekarang—sunyi yang dulu menenangkan, tapi kali ini terasa menyesakkan.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Raka tidak tahu harus berbuat apa.

Di luar, hujan terus mengguyur, seakan memberi pertanda bahwa badai belum selesai.


bersambung


tinggal 3 chapter lagi menuju ending ihiyy

Serenade in Stillness | Wonbin RIIZE [ END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang