13. Echoes of the Heart

5 0 0
                                    

☆☆☆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☆☆☆

Kirana duduk di balkon apartemennya, memandangi langit senja yang perlahan berubah menjadi gelap. Hembusan angin sore menyentuh lembut rambutnya, tetapi hatinya penuh kegelisahan.

Sudah beberapa hari sejak dia dan Raka terakhir bertemu, dan untuk pertama kalinya, Kirana merasakan jarak yang nyata di antara mereka. Meski mereka hanya beberapa kilometer terpisah, rasanya seperti ribuan mil memisahkan mereka.

Raka selalu dikelilingi oleh kebisingan: suara gemuruh para penggemar, kilatan kamera, panggilan telepon yang tak pernah berhenti. Dunia itu adalah rumahnya, dan Kirana tidak pernah bisa memahami sepenuhnya.

Namun, selama ini, mereka berhasil menemukan ruang di antara keramaian, sebuah dunia kecil hanya milik mereka berdua—sebuah ruang yang penuh dengan keheningan yang menenangkan dan percakapan tanpa kata.

Namun sekarang, ruang itu terasa goyah, seolah-olah bising dari dunia Raka mulai menelan keheningan mereka.

Ponselnya berbunyi. Nama Raka muncul di layar, tapi Kirana ragu sejenak sebelum mengangkatnya.

"Kirana?" Suara Raka terdengar serak di ujung telepon, seperti seseorang yang kelelahan tetapi mencoba terdengar kuat. "Aku butuh bicara dengan kamu."

Kirana menghela napas pelan. "Raka, aku juga mau bicara. Aku merasa kita… kita mulai menjauh."

Keheningan mengikuti kalimatnya. Bukan keheningan yang nyaman seperti biasa, melainkan keheningan yang berat—penuh dengan hal-hal yang tak terucapkan.

"Kirana, aku tahu," akhirnya Raka bersuara. "Aku tahu ada yang berubah. Rasanya aku mulai kehilangan bagian dari diriku sendiri setiap kali aku kembali ke panggung, tapi ketika aku bersamamu, aku merasa ada kedamaian. Tapi entah kenapa, sekarang aku merasa tersesat di antara dua dunia ini."

Kirana menggenggam ponselnya lebih erat, hatinya terhimpit antara cinta dan rasa tidak berdaya. "Raka, aku mau kamu tahu bahwa aku selalu di sini. Tapi aku juga tahu… dunia tempatmu berasal, itu bukan dunia yang bisa kubagi."

Suara Raka melembut, hampir memohon. "Aku tidak mau kehilangan kamu, Kirana. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mempertahankan keduanya. Dunia ini begitu keras, begitu penuh tekanan, dan aku takut itu akan menghancurkan kita."

Kirana menatap langit yang mulai bertabur bintang. Rasa hangat menyelinap di hatinya, tetapi ada juga kedinginan yang tak bisa diabaikan. Cinta mereka bukanlah masalah tidak saling mencintai—itu adalah masalah bagaimana bertahan di tengah badai yang tak pernah berhenti.

"Raka," suara Kirana pelan, tapi mantap. "Aku mencintai kamu. Aku mencintai siapa dirimu di balik semua itu. Tapi kamu harus memutuskan siapa yang kamu inginkan. Aku tidak bisa bersaing dengan dunia di sekitarmu. Aku hanya ingin damai—dan aku tidak ingin menjadi beban bagi hidupmu."

Raka terdiam sejenak, dan Kirana bisa membayangkan dia berdiri di suatu tempat, dikelilingi oleh lampu-lampu terang dan kebisingan kota yang tak pernah tidur.

Dunia Raka begitu berbeda dari dunianya, dan untuk pertama kalinya, Alya mulai merasakan bahwa mungkin cinta saja tidak cukup.

"Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Raka akhirnya, suaranya pecah. "Aku mencoba bertahan di keduanya, tapi aku takut kehilangan segalanya."

Kirana merasakan air mata mulai menggenang di sudut matanya, tetapi dia menahannya. "Mungkin kita perlu waktu, Raka. Waktu untuk berpikir apa yang benar-benar kita inginkan. Bukan hanya untuk cinta, tapi untuk hidup kita masing-masing."

Raka tidak langsung menjawab, tetapi keheningan yang menyusul berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Mereka berdua tahu—ini adalah keputusan yang mereka harus hadapi, meski itu berarti mereka mungkin harus berpisah sementara waktu.

"Aku akan menghubungi kamu lagi," bisik Raka, sebelum menutup telepon.

Kirana menatap ponselnya, menyadari betapa beratnya keputusan yang baru saja mereka buat. Dia tahu bahwa mencintai Raka berarti mencintai seseorang yang berada di tengah kebisingan dunia yang tidak pernah diam.

Namun, dia juga tahu bahwa cinta mereka harus tumbuh, dan untuk itu, mereka perlu menemukan keseimbangan antara dua dunia yang bertolak belakang.

Angin malam mulai bertiup lebih kencang, seolah merasakan ketegangan yang dirasakan Kirana. Dengan air mata yang akhirnya jatuh, dia berbisik pada dirinya sendiri, "Aku hanya berharap kita bisa menemukan jalan kembali, di antara semua kebisingan dan keheningan ini."



Di tempat lain, jauh dari balkon Kirana, Raka menatap pantulan dirinya di cermin ruang rias yang penuh dengan lampu. Di balik senyum yang selalu ia tampilkan di depan dunia, kini ia merasa lebih lelah dari sebelumnya—dan untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri apakah semua sorotan ini benar-benar sepadan.

Malam itu, di dua dunia yang berbeda, hati mereka berdua berdetak pelan, merindukan sesuatu yang lebih dari sekadar cinta.


bersambung

Serenade in Stillness | Wonbin RIIZE [ END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang