16. The Tipping Point

2 0 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


☆☆☆





Hujan deras mengguyur kota Jakarta, membuat gemuruh yang memenuhi apartemen Raka. Dia duduk di sudut kamar dengan gitar di pangkuannya, jari-jarinya bergetar di atas senar, tetapi tidak satu nada pun terdengar. Pikiran dan hatinya terbelah.


Di sisi lain dunia, di tengah derasnya hujan, Kirana berdiri di depan jendela kecil di apartemennya, menatap tetes air yang berlari-lari di kaca. Sudah seminggu sejak mereka berbicara terakhir kali.

Pertengkaran di malam  itu masih membekas di benaknya, kata-kata mereka menggantung di udara seperti hantu yang tak mau pergi. Mereka telah menguji batas hubungan ini, menarik ulur benang yang menghubungkan dua dunia yang tak pernah serasi sejak awal.

Dunia Raka penuh dengan sorotan, tuntutan, dan jadwal yang tak kenal waktu. Dunia Kirana? Sunyi. Tenang. Sederhana.

Kirana menghela napas, menggenggam cangkir tehnya yang hampir dingin. Setiap kali dia menutup matanya, dia melihat wajah Raka—tersenyum, tetapi di balik senyuman itu ada beban yang tak pernah dia pahami. Mungkin dia memang tak pernah bisa memahaminya sepenuhnya.

Dunia tempat mereka berasal begitu berbeda. Dan, apakah cinta saja cukup untuk menyatukan dua orang yang bahkan tak berjalan di jalur yang sama?

Sementara itu, Raka menatap gitar yang tak lagi mengeluarkan suara. Kepalanya terasa berat, bukan karena konser-konser atau jadwal yang tak ada habisnya, melainkan karena rasa yang tumbuh untuk Kirana.

Ia tahu, sejak awal, mereka berada di dua kutub yang berlawanan. Bagaimana bisa seorang pria yang hidup dalam gemuruh dan keramaian seperti dirinya bersanding dengan seorang perempuan yang mencintai keheningan dan ketenangan? Namun, justru dalam kesederhanaan Kirana, Raka menemukan sesuatu yang selama ini hilang dalam hidupnya—ketenangan yang dia rindukan.

Tetapi cinta itu ternyata tidak mudah.

Ponselnya berdering. Nama Kirana muncul di layar, dan jantung Raka berdebar lebih cepat. Dia ragu sejenak sebelum akhirnya menggeser layar untuk menerima panggilan itu.

“Raka…” Suara Kirana terdengar lembut, namun ada getaran yang jelas di dalamnya. “Kita perlu bicara.”

Raka menarik napas dalam-dalam. “Aku tahu.”

Keheningan membentang di antara mereka, hanya diisi oleh suara hujan yang menimpa kaca jendela. Setelah beberapa detik, Kirana melanjutkan, “Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini, tapi… kita hidup di dunia yang sangat berbeda. Aku tak ingin jadi beban untuk kamu, atau orang yang membuat kamu merasa terpaksa meninggalkan apa yang kamu cintai.”

Raka menutup matanya, berusaha menahan
emosi yang mulai berkumpul di tenggorokannya. "Kirana, kamu bukan beban. Kamu… kamu segalanya yang aku cari, bahkan sebelum aku tahu apa yang aku butuhkan.”

“Tapi dunia kita begitu jauh, Raka,” kata Kirana dengan suara lembut tapi tegas. “Kamu terus-menerus di bawah sorotan, dikelilingi oleh orang-orang, sementara aku… Aku hanya mau ketenangan. Aku tidak tahu apakah aku bisa hidup dalam dunia yang begitu berlawanan.”

Raka berdiri, berjalan ke jendela dan memandangi jalanan yang basah. “Aku bisa meninggalkan semua itu, Ki. Sorotan, keramaian… Itu semua tidak ada artinya tanpa kamu.”

Tapi Kirana tahu kata-kata itu tidak sepenuhnya benar. Dia tahu betapa musik adalah bagian dari jiwa Raka, sama seperti keheningan adalah bagian dari dirinya. Menginginkan Raka meninggalkan segalanya untuknya akan membuatnya merasa seperti orang yang egois.

“Jangan tinggalkan mimpi kamu, Raka. Musik adalah dirimu. Aku tidak bisa membuatmu memilih antara aku dan hidup yang sudah kamu jalani selama ini. Itu bukan cara yang adil untuk mencintaimu.”

Raka terdiam, merasakan keperihan yang dalam di dada. Dia tahu apa yang Kirana katakan benar. Musik adalah jiwanya. Tapi begitu juga Kirana.

“Kirana, aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku mau kita bisa mencari cara untuk membuat ini berhasil,” suara Raka terdengar lebih pelan sekarang. “Aku tidak peduli dengan seberapa sulitnya. Aku hanya peduli tentang kamu.”

“Aku juga peduli tentang kamu, Raka,” jawab Kirana, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tapi aku juga harus peduli pada diriku sendiri. Dan di sini, di tempatku berada, aku takut akan kehilangan diriku di dalam dunia yang tidak pernah aku inginkan.”

Hening. Kali ini lebih lama. Keduanya berjuang menghadapi kebenaran yang tak terelakkan.

“Apa ini akhirnya?” tanya Raka pelan, hampir tidak terdengar di balik suara hujan.

“Aku tidak tahu…” jawab Kirana, suaranya hampir berbisik. “Mungkin kita hanya butuh waktu. Mungkin kita hanya butuh ruang untuk bernapas, untuk memahami apakah kita benar-benar bisa menyeimbangkan ini.”

Raka menggigit bibirnya, menahan semua kata yang ingin dia ucapkan. Kata-kata yang ingin meyakinkan Kirana bahwa mereka bisa, bahwa mereka harus berjuang lebih keras.

Tapi dalam hati, dia tahu Kirana juga butuh waktu untuk merangkul dunianya sendiri, untuk menemukan kedamaiannya lagi.

“Kamu benar,” akhirnya Raka berkata, meskipun terasa sangat menyakitkan. “Aku akan memberi kamu waktu. Tapi jangan pernah lupa… aku mencintaimu.”

“Dan aku juga mencintaimu,” bisik Kirana, sebelum telepon terputus.

Di balik jendela, hujan terus turun, menambah beban pada malam yang terasa semakin dingin dan kosong. Di dua sudut kota yang berbeda, mereka masing-masing berdiri di ambang keputusan yang bisa mengubah segalanya—meninggalkan cinta mereka, atau berjuang melawan perbedaan yang begitu besar.



bersambung

Serenade in Stillness | Wonbin RIIZE [ END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang