18. A Crescendo of Silence

5 0 0
                                    

☆☆☆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☆☆☆



Raka duduk di tepi jendela hotel mewah, memandang keluar ke gemerlap kota yang tak pernah tidur. Suara tawa dan denting gelas dari pesta di lantai bawah membumbung, namun semuanya terasa jauh baginya.

Sudah lama dia tak bisa menikmati keramaian seperti ini—terutama setelah bertemu Kirana. Setiap kilatan lampu, setiap sorakan, terasa semakin memisahkan dirinya dari sesuatu yang jauh lebih berarti.

Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan singkat dari manajernya mengingatkan bahwa pertunjukan besar malam ini akan menjadi salah satu yang terbesar dalam kariernya.

Semua perhatian, semua pujian, namun mengapa tak ada satupun yang membuat hatinya terasa penuh?

Dia menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, dan di sanalah dia—Kirana. Bukan dengan kehadirannya yang riuh, melainkan dalam ketenangan yang hanya bisa dia temukan bersamanya.

Raka memikirkan hari-hari mereka di rumah kayu kecil di pinggir kota, di mana kebisingan dunia tampak lenyap, hanya menyisakan percakapan kecil di antara mereka dan bunyi angin yang menerpa dedaunan.

Kirana.Nama itu bergema dalam pikirannya. Selalu ada ketenangan dalam sosoknya yang sederhana, namun justru di sanalah Raka merasa utuh. Tapi hubungan mereka tak pernah mudah. Semakin lama, dunia mereka semakin sulit untuk dijembatani.

---


Sementara itu, di sisi lain kota, Kirana duduk di balkon kecil apartemennya, dikelilingi oleh tanaman yang dia rawat dengan penuh cinta. Dia menatap langit malam yang gelap, pikirannya melayang pada Raka.

Mereka telah berbagi begitu banyak, namun pada akhirnya, dia selalu merasa terjebak di antara dunianya dan dunia Raka yang penuh sorotan. Rasanya seperti mencoba merangkul bayangan—setiap kali dia berpikir sudah menggapainya, realitas kembali menarik Raka menjauh darinya.

Dia memegang ponselnya erat-erat, jari-jarinya gemetar. Sudah tiga hari Raka tidak menghubunginya. Mereka bertengkar besar terakhir kali.

Tentang bagaimana Raka tak bisa terus-menerus meninggalkan segala hal di belakang hanya untuk mencari ketenangan bersamanya. Tentang bagaimana Kirana tak bisa hidup di bawah sorotan yang tak pernah dia inginkan.

Kirana tahu bahwa dia mencintai Raka—dengan segenap hatinya. Tapi cinta ini semakin terasa seperti dua sisi koin yang tak pernah bisa bersatu. Terkadang, cinta saja tidak cukup.

Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. Video promosi konser besar Raka. Sorotan tajam, musik yang mengguncang, dan Raka di tengah panggung dengan sorotan yang memancar ke segala arah.

Kirana menonton diam-diam, hatinya terasa sakit. Itu adalah dunianya—tempat di mana dia selalu bersinar. Tapi apakah ada ruang untuknya di sana?

Malam itu, Raka berdiri di belakang panggung, mengenakan jaket kulit hitam dan kacamata hitam. Gemuruh penonton terdengar seperti badai di kejauhan. Tapi pikiran Raka berada di tempat lain.

Di tengah suara yang berderak, dia mendengar sebuah hening yang memanggilnya—suara hati yang tak bisa dia abaikan lagi.

Sebelum dia melangkah ke panggung, Raka mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat: "Aku butuh kamu. Malam ini, setelah konser, aku akan datang."

Begitu lampu-lampu terang menyala dan musik dimulai, Raka bermain seperti biasa—seorang bintang yang memukau ribuan mata yang menyaksikan.

Namun, di tengah gemuruh itu, yang dia inginkan hanyalah keheningan. Dan dia tahu, hanya satu orang yang bisa memberikannya.

Di sisi lain kota, Kirana membaca pesan itu. Tangannya gemetar. Sesuatu dalam dirinya merespon, bukan hanya rasa cinta, tetapi juga ketakutan. Apakah dia mampu menghadapi semua ini lagi? Apakah Raka benar-benar bisa meninggalkan dunianya yang penuh sorotan?

Malam semakin larut ketika Raka akhirnya tiba di depan pintu apartemen Kirana. Dia mengetuk pelan, hati berdebar. Pintu terbuka, dan di sana, berdiri Kirana—dengan senyum lelah namun hangat yang hanya dia miliki.

"Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan," kata Raka, suaranya hampir berbisik. "Tapi aku tahu satu hal, aku tidak bisa terus hidup tanpa kamu."

Kirana menatapnya lama. "Raka, aku bukan bagian dari dunia itu. Aku nggak bisa mengikuti ke mana kamu pergi. Dan kamu… kamu juga nggak bisa selalu berada di sini."

"Aku nggak peduli dengan semua itu," jawab Raka, kali ini dengan keyakinan yang lebih besar. "Yang aku butuhkan hanyalah kamu. Dunia bisa berputar di sekitar kita, tapi di antara semua kebisingan, kamu adalah satu-satunya hal yang membuatku merasa tenang."

Kirana terdiam, merasakan beban yang telah mereka pikul bersama. Di tengah perbedaan, di tengah ketidakpastian, ada satu hal yang mereka tahu dengan pasti—mereka tak bisa terus menghindar dari satu sama lain.

"Aku juga takut," Alya mengakui. "Tapi mungkin kita bisa mencari cara, meski aku nggak tahu bagaimana."

Raka mendekat, menangkup wajahnya. "Kita akan temukan jalannya. Bersama."

Di bawah langit malam yang sama, di kota yang tak pernah tidur, dua hati yang berbeda mencoba menemukan harmoni dalam kebersamaan mereka. Mereka tahu cinta mereka tidak akan mudah, tapi mereka juga tahu—tanpa satu sama lain, hidup akan terasa lebih sunyi.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Raka merasakan keheningan yang damai di tengah kebisingan.


bersambung

Serenade in Stillness | Wonbin RIIZE [ END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang