15. Shadows and Lights

3 0 0
                                    

☆☆☆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☆☆☆





Raka duduk sendirian di sudut studio musiknya, menatap piano dengan pandangan kosong. Jari-jarinya menggantung tak berdaya di atas tuts, seolah setiap nada yang biasa mengalir dengan mudah kini tertahan di tenggorokan.

Pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan Kirana—bagaimana dia tersenyum dalam keheningan, bagaimana caranya berbicara dengan lembut, jauh dari kebisingan yang Raka hadapi setiap hari. Dia rindu akan kedamaian yang selalu dibawa Kirana, tapi bersamaan dengan itu, ia juga merasa ragu.

Setiap kali dia mencoba menulis lagu, yang terdengar hanyalah kekosongan. Tak ada lagi alunan melodi yang harmonis, tak ada energi yang dulu selalu menggerakkan tangannya dengan semangat.

Kehadiran Kirana, meskipun membuat hidupnya lebih tenang, ternyata mempengaruhi caranya berkarya. Raka mulai meragukan apakah ia bisa terus hidup di dua dunia yang saling bertolak belakang—satu penuh sorotan dan kebisingan, dan yang lain penuh ketenangan dan keheningan.




Sementara itu, di sisi lain kota, Kirana duduk di ruang bacanya, jendela terbuka, membiarkan angin sore masuk dan membawa aroma hujan yang menyegarkan. Namun, tidak ada yang bisa menenangkan perasaannya hari ini.

Pikirannya selalu melayang ke Raka. Semakin lama mereka bersama, semakin Kirana merasa asing di dunia Raka. Bukan karena dia tak ingin menjadi bagian dari hidup Raka, tetapi karena setiap hari bersama sang musisi terkenal, dia merasa dirinya semakin terjebak dalam dunia yang tidak pernah dia bayangkan akan masuk.


Sorotan kamera, bisikan fans, dan tekanan dari publik membuat Kirana merasa kehilangan jati dirinya. Dia ingin mendukung Raka, tapi tidak yakin apakah dirinya bisa terus bertahan dalam kehidupan yang penuh sorotan. Kebahagiaan yang pernah ia rasakan bersama Raka mulai tergeser oleh kecemasan yang terus menghantuinya.


Hari itu, Raka membuat keputusan yang berat. Dia mengirim pesan singkat pada Kirana, memintanya datang ke studio. Kirana membaca pesan itu, merasakan ketegangan yang tidak bisa ia jelaskan.

Mereka belum pernah bicara serius tentang masa depan hubungan mereka, tetapi Kirana bisa merasakan ada sesuatu yang harus mereka selesaikan.

Saat Kirana tiba di studio, ruangan itu terasa dingin dan sunyi, kontras dengan gambaran hidup Raka yang penuh gemerlap. Raka menatap Kirana dari balik piano, matanya suram dan penuh pertanyaan. Kirana berdiri di ambang pintu, ragu untuk melangkah lebih dekat.

“Aku tidak bisa menulis lagu lagi, Ki,” kata Raka, suaranya berat. “Sejak kita bersama, sepertinya aku kehilangan kemampuan untuk menciptakan sesuatu.”

Kirana terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. “Kamu merasa aku membuatmu berhenti berkarya?” tanyanya pelan, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang mulai merambat.

Raka menggelengkan kepala, tapi wajahnya menunjukkan kebingungan yang mendalam. “Bukan itu maksudku… Kehadiran kamu membuatku merasa damai, lebih dari yang pernah kurasakan. Tapi di saat yang sama, aku merasa terpisah dari bagian diriku yang dulu mencintai musik. Aku tidak tahu bagaimana menggabungkan keduanya—ketenanganmu dan dunia yang penuh kebisingan ini.”

Kirana melangkah lebih dekat, duduk di sebelah Raka. Dia ingin meraih tangan Raka, tetapi ada jarak yang terasa begitu lebar di antara mereka.

“Raka, aku tidak pernah mau mengambil apa pun dari kamu,” katanya, suaranya bergetar. “Tapi mungkin kita memang berbeda. Aku tak tahu apakah aku bisa hidup di dunia kamu tanpa kehilangan diriku sendiri.”

Raka menatapnya, matanya mulai memerah. “Dan aku takut aku tak bisa hidup tanpa kamu, Ki. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana kita bisa bersama tanpa menghancurkan satu sama lain.”

Keheningan melingkupi mereka. Kirana tahu ini adalah percakapan yang harus mereka hadapi, namun kata-kata terasa begitu sulit untuk diungkapkan. Mereka telah jatuh cinta, tapi cinta saja tidak cukup untuk menyatukan dua dunia yang berbeda ini.

“Apakah kita harus menyerah?” tanya Kirana, hampir tidak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulutnya.

Raka menggigit bibirnya, berjuang melawan air mata yang tak ingin ia tunjukkan. “Aku tidak mau menyerah. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana kita bisa bertahan di dunia yang begitu berbeda ini.”

Mereka berdua duduk di sana, dikelilingi oleh musik yang tak lagi bisa dimainkan, oleh cinta yang terasa begitu dekat, namun begitu jauh. Di tengah kebisuan itu, mereka berdua sadar bahwa keputusan besar ada di depan mereka—keputusan yang tidak akan mudah, dan mungkin akan meninggalkan luka yang dalam.

Namun, terkadang, cinta tidak hanya tentang bersama. Terkadang, cinta adalah tentang melepaskan demi menemukan jalan yang lebih baik untuk keduanya.

Dan malam itu, di studio musik yang sunyi, Kirana dan Raka harus memutuskan apakah mereka akan bertarung untuk cinta mereka, atau membiarkannya pergi dalam keheningan.



bersambung

Serenade in Stillness | Wonbin RIIZE [ END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang