☆☆☆
Kirana mengerjakan tugas rutinnya di perpustakaan dengan tekun. Pagi itu, sinar matahari menembus jendela, menciptakan pola-pola lembut di atas meja kayu yang sudah usang.
Suasana tenang ini adalah dunianya—tempat di mana dia merasa paling nyaman. Namun, perasaan cemas yang tak bisa diabaikan mengganggu ketenangannya.
Beberapa hari terakhir, dia merasa bahwa kebahagiaan yang baru dia rasakan bersama Raka mungkin akan berakhir.
☆☆☆
Sementara itu, di luar sana, Raka terjaga di kamar hotelnya dengan pemandangan kota yang riuh di luar jendela. Dunia yang selama ini menjadi panggung hidupnya terasa lebih sempit dari sebelumnya.
Dia merasa terjepit antara sorotan dan keheningan yang ditawarkan Kirana. Musisi terkenal yang sangat dia banggakan, ternyata menjadi penjara emas yang membatasi ruang geraknya.
Hatinya gelisah, terombang-ambing antara keinginan untuk tetap berada di bawah sorotan dan dorongan untuk mengejar kedamaian yang dia temukan dengan Kirana.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Raka—sebuah undangan untuk konser besar malam ini. Segera, dia merasa berat untuk menghadapi kenyataan.
Dia tahu bahwa kehadirannya di panggung adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai seorang artis.
Namun, perasaannya bercampur aduk. Raka memikirkan Kirana, bagaimana dia mungkin merasa terlupakan atau bahkan ditinggalkan ketika dia tidak bisa ada untuknya.
☆☆☆
Saat malam tiba, Raka berdiri di belakang panggung, dikelilingi oleh hiruk-pikuk persiapan konser. Musik yang riuh dan teriakan para penggemar membuatnya merasa terasing.
Dia merindukan keheningan yang selalu dia anggap sepele sebelumnya. Ketika lampu panggung menyala dan musik dimulai, dia merasa terasing, seolah-olah ada jarak tak terlihat yang memisahkannya dari dunia yang dia cintai.
Di sisi lain, Kirana duduk sendirian di sebuah kafe kecil dekat perpustakaan, menatap secangkir teh hangatnya.
Dia tahu bahwa Raka akan tampil malam ini, tetapi dia tidak yakin apakah dia akan mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengannya atau bahkan melihatnya.
Perasaannya campur aduk—antara kebanggaan atas pencapaian Raka dan ketakutan bahwa hubungan mereka mungkin akan terpecah akibat perbedaan dunia mereka.
Tiba-tiba, pintu kafe terbuka dan Raka masuk, terlihat lelah dan tergesa-gesa. Kirana mengangkat kepalanya dan melihat Raka berdiri di pintu, tidak yakin apakah dia benar-benar melihatnya atau hanya berkhayal.
Raka melangkah mendekat dan duduk di meja Kirana dengan ekspresi yang penuh kelegaan dan keputus asaan.
"Kirana," kata Raka, suara yang sedikit bergetar. "Aku butuh waktu sebentar. Aku hanya... butuh sesuatu yang tenang."
Kirana menatapnya dengan campuran kekhawatiran dan keinginan untuk memberikan kenyamanan. "Kamu terlihat lelah, Raka. Apakah ada yang salah?"
Raka menarik napas panjang, kemudian berkata, "Ini semua terasa terlalu berat. Aku tidak tahu bagaimana caranya menyeimbangkan dunia yang penuh sorotan ini dengan keheningan yang aku rasakan di sini."
Kirana mengambil tangan Raka, merasa hangat dan lelah. "Mungkin kita tidak harus mencoba menyeimbangkannya. Mungkin kita hanya perlu mencari cara untuk saling mendukung, meskipun kita berasal dari dunia yang berbeda."
Raka menatap Kirana dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Dalam momen sederhana ini, dia merasakan kekuatan dari keheningan dan dukungan Kirana.
Malam itu, meski dalam kesunyian kecil di kafe tersebut, mereka menemukan kenyamanan dalam kehadiran satu sama lain, menyadari bahwa cinta mereka mungkin bisa bertahan jika mereka saling memahami dan mendukung, meski dunia mereka terus berputar dalam arah yang berbeda.
bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenade in Stillness | Wonbin RIIZE [ END]
FanfictionKetika dua dunia yang begitu berbeda ini bertabrakan secara tak terduga, Raka dan Kirana saling menemukan apa yang selama ini hilang dalam hidup mereka. Kirana menemukan kedamaian dalam keheningan Raka, sementara Kirana mulai melihat keindahan dalam...