Di pagi yang cerah, saat sinar matahari mulai menyinari jalanan, suasana di sekolah mulai hidup. Namun, di balik selimutnya, Sing, seorang lelaki tampan dengan hidung mancung, masih terbaring malas. Dengan rambut hitam yang acak-acakan dan mata yang belum sepenuhnya terbuka, dia tampak seperti sosok yang terjebak dalam mimpi indahnya.
Sing, yang memiliki nama lengkap Zo Sing, adalah pewaris keluarga ternama di Hongkong. Namun, kehidupan yang glamor dan segala kemewahan tidaklah membuatnya bahagia. Ia meninggalkan tanah kelahirannya dan merantau ke Indonesia dengan satu tujuan: menemukan kakak kesayangannya yang hilang. Sejak kecil, mereka terpisah karena kakaknya tinggal bersama neneknya di Indonesia, sementara Sing dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang kaya.
Meskipun memiliki akses informasi yang luas berkat kekayaan keluarganya, Sing menghadapi tantangan yang besar ia bahkan tidak mengetahui bagaimana wajah kakaknya. Kenangan masa kecilnya samar, dan satu-satunya petunjuk yang ia miliki adalah foto lama yang buram. Namun, tekadnya untuk menemukan kakaknya jauh lebih besar daripada ketidakpastian yang mengelilinginya.
Setelah beberapa kali menunda, Sing akhirnya bangkit dari tempat tidurnya. Ia memutuskan untuk memulai harinya dan pergi ke sekolah, tempat di mana ia berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut tentang kakaknya. Dengan cepat, ia bersiap, mengenakan seragam sekolah yang rapi dan menyisir rambutnya. Meskipun hatinya terisi kerinduan, ia tahu bahwa kehidupan harus terus berjalan.
Di perjalanan menuju sekolah, Sing menyaksikan pemandangan sekeliling yang indah. Suara riuh anak-anak yang bermain dan aroma makanan pagi dari warung-warung kecil menyambutnya. Di dalam hati, ia berdoa agar hari ini membawa kabar baik tentang kakaknya.
Sesampainya di sekolah, Sing segera bergabung dengan teman-teman barunya. Mereka terpesona oleh pesonanya, tetapi Sing lebih memilih untuk mendengarkan dan mengamati. Ia berharap, dalam obrolan santai mereka, ada seseorang yang mungkin mengenali kakaknya.
Hari demi hari berlalu, dan meskipun Sing tidak menemukan petunjuk yang jelas, ia mulai merasakan kehangatan dari persahabatan yang terjalin. Keberadaannya di Indonesia bukan hanya tentang pencarian kakaknya, tetapi juga tentang menemukan jati diri dan tempatnya di dunia yang baru.
Meskipun pencariannya belum membuahkan hasil, Sing berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan menyerah. Ia akan terus mencari, tidak hanya untuk menemukan kakaknya, tetapi juga untuk menemukan arti sejati dari keluarga, cinta, dan persahabatan.
Bel istirahat pertama pun berbunyi, menggema di seluruh sudut sekolah dan menandakan waktu untuk melepas penat sejenak. Para siswa berlarian menuju kantin, mencari tempat untuk berkumpul dan berbincang. Di tengah keramaian itu, Leo, sahabat dekat Sing, menghampirinya dengan senyum lebar.
"Yuk, Sing! Kita ke kantin," ajak Leo dengan semangat. "Aku sudah tidak sabar untuk mencoba makanan baru yang mereka tawarkan!"
Sing tersenyum kecil, merasa senang dengan kehadiran Leo yang selalu ceria. "Oke, aku ikut," jawabnya, berusaha menyingkirkan pikiran tentang pencariannya sejenak.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju kantin, di mana aroma makanan menggoda tercium dari jauh. Leo bercerita tentang pelajaran yang mereka jalani dan teman-teman mereka yang konyol. Sing mendengarkan dengan seksama, meskipun pikirannya kadang melayang jauh.
Setibanya di kantin, mereka segera bergabung dengan kelompok teman-teman lainnya. Suasana di kantin sangat hidup, dengan suara tawa dan obrolan yang saling bersahutan. Sing merasa sedikit lebih nyaman di tengah keramaian ini.
"Eh, Sing! Ada kabar terbaru tentang kakakmu?" tanya Davin, salah satu teman sekelas mereka, sambil menyodorkan sepiring makanan.
Sing menggeleng, meskipun hatinya sedikit bergetar mendengar pertanyaan itu. "Belum, tapi aku akan terus mencari," jawabnya. "Aku yakin, suatu saat nanti, aku akan menemukannya."
Leo menepuk punggungnya dengan empati. "Jangan khawatir, kita akan membantumu. Kita bisa mencari informasi bareng-bareng. Kamu tidak sendiri, Sing."
Sing merasa hangat mendengar dukungan dari sahabat-sahabatnya. Mereka lalu mulai mengobrol tentang berbagai hal. hobi, impian, dan rencana untuk akhir pekan. Dalam suasana yang penuh tawa dan kebahagiaan ini, Sing merasakan sedikit beban di hatinya terangkat.
Saat mereka menyantap makanan, Sing menyadari bahwa meskipun pencariannya akan kakaknya sangat penting, hubungan yang ia bangun dengan teman-temannya juga tak kalah berarti. Di tengah pencarian yang penuh tantangan, dukungan dan kebersamaan dari sahabat-sahabatnya memberikan kekuatan baru baginya.
Momen-momen kecil seperti ini, meskipun sederhana, menjadi pengingat bahwa hidup tidak hanya tentang mencari apa yang hilang, tetapi juga merayakan apa yang sudah ada. Dan untuk Sing, itu adalah persahabatan yang mulai tumbuh di tengah perjalanan yang penuh harapan ini.
Pelajaran pun usai, dan suasana kelas yang sebelumnya tenang kini berubah menjadi riuh saat para siswa bersiap untuk pulang. Sing, Leo, dan Davin keluar dari kelas mereka, menunggu dua teman mereka yang lain, Wain dan Gyumin. Mereka berencana untuk ngopi santai di warung belakang sekolah, tempat favorit mereka untuk melepas penat setelah seharian belajar.
Saat melangkah menuju gerbang keluar, mata Sing tertuju pada sebuah gerbang yang terlihat aneh dan terbengkalai di samping jalan. Gerbang itu terbuat dari besi tua, dicat dengan warna hijau yang kini mulai pudar. Rumput di sekelilingnya tampak liar, dan ada aura misterius yang menyelimuti tempat itu.
"Eh, lihat itu!" seru Davin, menunjuk ke arah gerbang. "Kalian pernah lihat gerbang ini sebelumnya?"
"Belum pernah. Sepertinya sudah lama tidak ada yang merawatnya," jawab Leo, rasa penasaran mulai membara di dalam dirinya. "Kita harus lihat lebih dekat!"
Sing merasa ada ketegangan di udara, tetapi rasa ingin tahunya juga menguat. "Apa kalian yakin? Mungkin tempat itu berbahaya..."
Wain dan Gyumin akhirnya muncul, mendengar percakapan mereka. "Ada apa? Kenapa kalian berkerumun di sini?" tanya Wain.
"Kita sedang melihat gerbang aneh ini. Mau masuk?" tanya Davin, wajahnya menunjukkan antusiasme.
Gyumin, yang lebih berhati-hati, mengernyitkan dahi. "Mungkin kita harus berpikir dua kali. Siapa tahu ada sesuatu yang tidak aman di balik sana."
Sing merasa bingung. Di satu sisi, ia ingin mengikuti teman-temannya dan merasakan petualangan baru, tetapi di sisi lain, instingnya memberi sinyal untuk berhati-hati. Namun, rasa penasaran terus menggerogoti pikirannya.
"Bagaimana kalau kita masuk bareng-bareng?" usul Leo. "Kalau ada apa-apa, kita bisa cepat-cepat keluar."
Akhirnya, setelah berdiskusi, mereka sepakat untuk mencoba masuk ke dalam gerbang itu. Dengan hati-hati, mereka mendorong gerbang yang berkarat, dan suara berdecit yang keluar membuat jantung mereka berdegup kencang.
Di balik gerbang, mereka menemukan sebuah jalan setapak yang dikelilingi pohon-pohon besar, daun-daun yang lebat, dan beberapa bangunan tua yang tampak terbengkalai. Suasana di dalamnya terasa sejuk, tetapi juga sedikit angker.
"Wow, ini seperti dunia lain!" seru Davin, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
"Siapa tahu ada sesuatu yang menarik di sini," tambah Wain, mulai melangkah lebih jauh.
Sing menatap sekeliling dengan hati-hati. "Tapi kita harus tetap waspada. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam."
Mereka melangkah lebih jauh ke dalam, menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok. Saat mereka terus berjalan, rasa ingin tahu dan ketegangan semakin meningkat. Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik gerbang ini? Apakah mereka akan menemukan sesuatu yang mengejutkan atau malah terjebak dalam misteri yang tidak terduga?
Dengan setiap langkah, petualangan baru menanti di depan mereka, dan Sing merasakan bahwa perjalanan ini mungkin lebih bermakna daripada sekadar ngopi di warung belakang sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertemuan Singkat ( Xodiac)
Mystery / ThrillerDi suatu sore yang cerah, ketika matahari mulai merunduk di ufuk barat, lima remaja laki-laki : Sing, Leo, Wain, Gyumin, dan Davin memutuskan untuk menjelajahi gedung sekolah terbengkalai yang terletak tak jauh dari sekolah mereka. Mereka mendengar...