Wain dan Davin melangkah perlahan, perasaan cemas menghantui mereka. “Bagaimana ini, Wain? Mereka tidak ada, bahkan suaranya saja tidak terdengar,” keluh Davin, mencoba menenangkan kegelisahannya.
“Aku juga tidak tahu, Davin. Kita sudah berjalan dari tadi tetapi sepertinya tidak menemukan ujung. Yang ada malah semakin menjauh. Ah, sungguh aku ingin pulang saja,” ucap Wain, suaranya penuh keputusasaan.
Davin terkejut mendengar keluhan Wain. Teman yang biasanya dingin dan tenang itu tiba-tiba menjadi cerewet. Namun, dia merasa lega karena setidaknya dia tidak berbicara dengan tembok. “Tenang saja, kita pasti bisa menemukan mereka,” ujarnya berusaha memberi semangat.
Saat mereka melewati sebuah ruangan yang tampak seperti ruang musik, tiba-tiba Wain mendengar alunan suara piano yang lembut dan penuh melankolis. “Davin, apa kau mendengar itu?” bisiknya, matanya berbinar.
“Iya, aku mendengarnya,” jawab Davin, juga tertarik. “Apakah di dalam ada orang? Kita bisa masuk dan minta bantuan.”
Namun, saat Davin hendak membuka pintu, Wain segera menariknya. “Jangan gila, Davin! Belum tentu di dalam itu manusia. Bagaimana kalau itu hantu jahat? Kau bisa dibunuh!”
Davin mengernyit, merasa penasaran. “Kenapa tidak kita coba saja, Wain?” katanya sambil membuka pintu dengan hati-hati.
Ketika pintu terbuka, mereka disambut oleh pemandangan yang menakjubkan. Di dalam sana terdapat banyak alat musik tua nan klasik, terhampar rapi namun berdebu, dan suasana dalam ruangan itu dipenuhi dengan keanggunan yang misterius. Namun, perhatian Wain tertuju pada satu sosok yang memunggungi mereka, duduk di depan piano, seakan tidak terpengaruh oleh kehadiran mereka.
Sosok itu mengenakan kemeja berwarna gelap, rambutnya tertata indah, dan jari-jarinya bergerak lincah di atas tuts piano. Melodi yang dihasilkan begitu menyentuh hati, seakan bercerita tentang kesedihan dan harapan yang terpendam.
“Siapa dia?” bisik Wain, suaranya hampir tak terdengar.
Davin menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu. Tapi sepertinya dia tidak menyadari kehadiran kita.”
Wain merasa terpesona, tetapi di sisi lain, rasa was-was mulai menyelimuti. “Haruskah kita memanggilnya? Atau lebih baik kita pergi saja?”
“Cobalah, kita butuh bantuan. Mungkin dia bisa membantu kita menemukan teman-teman kita,” jawab Davin, berani melangkah lebih dekat.
Dengan hati-hati, Wain mengikuti Davin, tetapi sebelum mereka sempat memanggil sosok tersebut, melodi piano itu berhenti. Sosok itu perlahan-lahan menoleh, dan saat wajahnya terlihat, Wain dan Davin tertegun. Wajahnya memiliki keindahan yang menakutkan, tetapi di matanya tersimpan kedalaman yang sulit dijelaskan.
“Siapa kalian?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh ketegasan. “Mengapa kalian datang ke tempat ini?”
wah siapakah sosok yang bikin Wain terpesona itu😆🥰
Wain dan Davin tertegun, tak dapat menemukan kata-kata untuk menanggapi sosok yang berdiri di depan mereka. Wajahnya tampak seperti dewa Yunani, sempurna dan menawan, tetapi ada sesuatu yang mengerikan dalam aura yang dipancarkannya.
“Kami tersesat dan kami ingin keluar. Tapi beberapa teman kami masih di sini, dan kami tidak tahu mereka di mana,” kata Davin, berusaha terdengar tenang meskipun suaranya bergetar.
Sosok itu tersenyum sinis, tatapannya penuh penilaian. “Kalian bukan tersesat, tapi kalian sengaja masuk ke sini karena kebodohan kalian itu.”
Wain yang tidak terima segera ingin membela diri, tetapi Davin menahannya. “Tahan emosimu, Wain,” bisiknya, berusaha menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertemuan Singkat ( Xodiac)
Mystery / ThrillerDi suatu sore yang cerah, ketika matahari mulai merunduk di ufuk barat, lima remaja laki-laki : Sing, Leo, Wain, Gyumin, dan Davin memutuskan untuk menjelajahi gedung sekolah terbengkalai yang terletak tak jauh dari sekolah mereka. Mereka mendengar...