Perpisahan

89 13 2
                                    

  
     Malam menjadi saksi bisu pertarungan sengit antara Zayyan dan teman-temannya melawan ayah tiri yang kejam. Di balik keramaian itu, perasaan cemas menyelimuti hati Hyunsik dan Lex. Mereka merasa tak berdaya, hanya bisa berdoa agar ada yang datang untuk menyelamatkan mereka semua. Ketika Zayyan dan teman-temannya bersiap untuk menyerang, tiba-tiba, pasukan ayah tiri Zayyan datang berbondong-bondong.

Mereka tampak sangat besar, jauh lebih besar dibanding tubuh Zayyan dan teman-temannya. Bahkan Davin, yang memiliki tinggi di atas rata-rata, tampak kecil di hadapan anak buah ayah tiri Zayyan.

“Lihat, Zayyan! Apa kau tak mau mundur melihat pasukanku? Kalian semua sama seperti kerikil jika berhadapan dengan mereka!” ejek ayah tiri Zayyan dengan nada sombong.

Leo, yang tak terima dengan hinaan tersebut, langsung membalas. “Apa maksudmu, Paman? Kami bukan kerikil! Badan kami memang kecil, tapi kekuatan kami besar! Tunggu saja, kau akan meminta untuk berhenti memukulmu!” ucap Leo dengan tegas, semangatnya berkobar.

Gyumin, yang berdiri di samping Leo, berbisik dengan khawatir. “Diamlah, Leo! Kau menantang orang yang salah! Kau saja kalah bertarung dengan cewek tomboi. Jadi jangan sok kuat!” bisik Gyumin, berusaha mengingatkan temannya.

Leo, mendengar itu, merasa marah. Ia ingin menenggelamkan Gyumin, yang dengan enaknya mengungkit masa lalu yang memalukan itu.

Tanpa mereka sadari, anak buah ayah tiri Zayyan mulai menyerang. Mereka hampir saja jatuh jika tidak cepat menghindar. Pertarungan semakin sengit. Gyumin yang hampir tumbang, akhirnya dibantu Wain untuk melawan salah satu anak buah ayah tiri Zayyan.

Sing, yang sudah lebih dulu menjatuhkan lawan, kini menantang ayah tiri Zayyan. “Lihat, Pak Tua! Anak buahmu sudah habis di tanganku. Sekarang giliranmu yang harus musnah!” ucap Sing tegas, matanya penuh kebencian. Ia tidak bisa melupakan semua kekejaman yang pernah dilakukan pria tua itu terhadap keluarganya.

Ayah tiri Zayyan, meskipun sedikit takut melihat kemampuan Sing, berusaha menutupi ketakutannya. “Diam, anak kecil! Kau salah lawan jika menantangku!” ucapnya dengan nada penuh kebencian.

Tiba-tiba, ayah tiri Zayyan mengeluarkan pistol dari sakunya dan menodongkannya ke arah Sing. Sing tersenyum sinis. “Kau sangat licik. Bahkan lawanmu saja tidak membawa senjata. Kau melawanku dengan senjata!” ucap Sing, menantang.

Tanpa memberi kesempatan, Sing menendang perut ayah tiri Zayyan dengan keras. Peluru hampir mengenai Sing jika saja ia tidak cepat mengarahkan pistol itu ke atas. Suara tembakan menggema, mengejutkan semua orang. Zayyan yang mendengar suara itu langsung berteriak, “Sing!”

Mendengar teriakan Zayyan, seakan memberi kekuatan baru bagi Sing. Ia membalikkan pistol pada kepala ayah tiri Zayyan. Kini, posisi mereka terbalik Sing menindihi tubuh ayah tiri Zayyan sambil menodongkan pistol.

“Sekarang, kau menyerahkan dirimu, atau peluru ini akan kulepas!” tantang Sing dengan suara tegas.

Ayah tiri Zayyan, meskipun terdesak, tetap berusaha tenang. “Lepaskan saja! Tapi kau juga akan mati!” balasnya, mencoba menakut-nakuti Sing.

Tiba-tiba, sebuah pisau dikeluarkan dari balik badan ayah tiri Zayyan dan hampir menusuk Sing. Namun, Zayyan yang cepat bertindak mendorong Sing menjauh. Meskipun Sing terhindar dari serangan tersebut, ia tetap mendapat luka goresan di lengannya.

“Sing!” Zayyan berteriak, khawatir melihat adiknya terluka.

“Tidak apa-apa, kak Zayyan. Kita harus tetap maju!” ucap Sing, meskipun ia kesakitan. Rasa sakit itu tidak sebanding dengan semangatnya untuk membela teman-temannya.

Zayyan, yang melihat keberanian Sing, merasa terinspirasi. “Kita tidak akan mundur! Kita harus melawan bersama!” serunya, menyalakan semangat tim yang mulai goyah.

Pertemuan Singkat ( Xodiac)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang