Key dan Lala memang dikenal sebagai dua siswa yang sangat cerdas dan penuh semangat, dan hal ini tidak hanya terbatas pada pelajaran fisika dan kimia. Di hampir semua pelajaran, mereka selalu menunjukkan prestasi yang mengesankan. Keberhasilan mereka di bidang akademik membuat mereka menjadi favorit di mata para guru.

Ketika guru Bahasa Indonesia memuji mereka, Key dan Lala hanya saling tersenyum dengan rasa bangga. Mereka selalu menikmati pelajaran ini dan sering memberikan analisis mendalam yang membuat diskusi menjadi lebih hidup.

Setiap kali guru Matematika memberikan kuis dan tugas, Key dan Lala selalu berusaha memberikan yang terbaik. Mereka saling menjadi yang tercepat dalam menyelesaikan soal dan memberikan penjelasan yang jelas kepada teman-teman mereka ketika ada kesulitan.

Tidak hanya para guru, teman-teman sekelas mereka juga mengagumi dedikasi dan kerja keras Key dan Lala. Mereka sering kali menjadi pusat perhatian, tidak hanya karena prestasi akademik mereka tetapi juga karena sikap rendah hati dan kemurahan hati mereka dalam membantu orang lain.

Pada suatu hari, setelag pelajaran berakhir, Key dan Lala duduk di bangku taman sekolah bersama teman-teman mereka, termasuk Zul, Firman, dan Reza. Mereka sedang mengobrol menikmati bekal makan siang mereka.

"Gue bener-bener kagum sama kalian. Gak cuma di fisika sama kimia, kalian juga selalu outstanding di semua pelajaran," ujar Firman dengan tulus.

"Iya, dan kadang gue heran gimana cara kalian bisa ngerti semua hal denga cepat. Kalian berdua emang hebat!" ujar Reza dengan kekaguman.

"Haha, terima kasih, guys. Kita juga kadang belajar bareng kok. Jadi gak Cuma sekedar bisa, tapi juga saling bantu," ujar Lala sambil tersenyum.

"Iya, bener. Lagipula, kadang juga butuh waktu buat istirahat. Jangan lupa juga, kita semua masih belajar, jadi jangan terlalu membebani diri sendiri," ujar Key dengan bijaksana, mengingatkan keseimbangan.

Ketika mereka semua tertawa dan salung menggodai satu sama lain, suasana terasa sangat santai dan akrab. Key dan Lala memang tidak hanya dikenal karena kepintaran mereka, tetapi juga karena kemampuan mereka untuk menjaga hubungan baik dengan teman-teman dan guru mereka.

Sepulang sekolah, Key dan Lala memutuskan untuk mengikuti latihan ekskul mereka masing-masing. Key yang penuh semangat masih setia dengan ekskul tari, sementara Lala, meskipun awalnya juga tertarik, tidak bisa bertahan lama karena jadwalnya yang bentrok dengan rohis, ditambah lagi orang tua Lala sangat ketat soal aktivitas di luar pelajaran.

Ruangan latihan tari berada di samping lapangan basket. Saat mereka memasuki rauangan, musik tradisional sudah terdengar dari speaker. Mereka mulai pemanasan dan mengikuti gerakan yang dipergerakan oleh pelatih tari.

"Key, gue gak bisa lama-lama ikut ekskul hari tari ini. Jadwal rohis bentrok, ditambah lagi nyokap gue gak setuju gue terlalu banyak ikut kegiatan. Ntar nilai gue turun katanya," ujar Lala dengan kesal.

"Serius, La? Sayang banget, padahal gue kira lo suka sama tari," ujar Key merasa kecewa.

"Iya suka, tapi mau gimana lagi, ya kan? Yaudah, lo lanjut aja. Nanti kalo ada waktu kosong, gue mampir liat lo latihan," ujar Lala, berusaha memberi dukungan meski tidak bisa ikut serta.

Key tersenyum sedikit, lalu melirik ke arah pintu yang mengadap lapangan basket. Dari sana, ia melihat Gavin sedang berlatih, memegang bola basket dengan gaya yang percaya diri. Gavin melempar bola kearah ring dan memasukkannya dengan mudah. Key diam-diam memperlihatkan, merasa aneh setiap kali pandangannya tertuju pada cowok itu. Setelah latihan tari berakhir, Key dan Lala bersiap pulang. Dan Key tetap kepikiran dengan cowok dingin itu, ia senang karena bisa ketemu lebih lama dengannya, perasaan apa ini?

Malam itu, setelah pulang latihan tari, Key merasa lelah. Ia duduk di sofa ruang tamu sambil memainkan ponselnya, mencoba melupakan sedikit rasa penasaran tentang Gavin yang terus mengganggu pikirannya. Namun, suasana tenang di rumahnya tak bertahan lama. Adik laku-lakinya, Abi, yang masih kelas 6 SD, datang menghampiri dan langsung menyalakan televisi dengan volume tinggi.

"Bi, kecilin volumenya. Kakak lagi capek banget, nih!" ujar Key sambil berbaring di sofa, merasa lelah.

"Ah, kakak kenapa sih? Adek mau nonton, ini seru banget!" jawab Abi dengan sedikit kesal karena terganggu.

"Kakak bilang kecilin, Abi! Kepala kakak pusing," ujar Key dengan nada tegas, masih berusaha beristirahat.

Abi hanya mengendus, tapi tak memperdulikan teguran Key. Malahan ia menaikkan volume televisi, sengaja untuk memancing emosi kakaknya. Key yang tadinya mencoba sabar akhirnya bangkit dari sofa dan langsung mengambil remote TV dari tangan adiknya.

"Kakak bilang kecilin, adek gak denger, ya?" ujar Key dengan nada kesal, merasa frustasi.

"Eh, balikin remote-nya! Adek lagi nonton, nih," protes Abi dengan tegas.

"Kakak udah bilang, kecilin! Apa susahnya sih nurut sebentar?" ujar Key dengan nada sedikit marah, mencoba mengatasi kepalanya yang pusing.

Suasana mulai memanas. Abi yang tak mau kalah, menarik lengan Key dan mencoba merebut remote kembali. Key, yang sudah sangat lelah dan merasa tak sabar, akhirnya terpancing.

"Dek, tolong ngertiin kakak, kakak lagi capek! Jangan bikin kakak tambah emosi!" ujar Key dengan frustasi, berharap Abi bisa mengerti.

"Iya, iya ah cerewat banget," jawab Abi dengan nada kesal, masih merasa terganggu.

Malam itu berakhir damai, dan Key mengerti bahwa hubungan kakak-adik memang sering kali penuh dengan konflik kecil, tetapi di balik itu ada rasa saling pengertian yang kuat.

Keesokan harinya, setelah seminggu penuh aktivitas yang melelahkan, Key akhirnya bisa menikmati waktu istirahat di rumah. Hari minggu pagi yang tenang, ia memutuskan untuk rebahan sepanjang hari di kasurnya yang nyaman, tanpa ada rencana apa pun. Kasur dan bantalnya seolah memanggil untuk dinikmati lebih lama.

Key meregangkan tubuhnya, memeluk bantal guling memejamkan mata sejenak. Pikiran tentang sekolah, ekskul, dan juga tentang Gavin yang terus menghantui, tiba-tiba menghilang begitu saja. Suasana rumah juga cukup tenang, tidak ada hiruk-pikuk seperti biasa karena Abi, adik laki-lakinya sedang asyik bermain game di kamar sebelah.

"Ah, enaknya kalo tiap hari kayak gini, gak ada tugas, gak ada latihan, cuma rebahan aja," ujar Key tersenyum kecil, menikmati momen langka ini. Namun, ketenangannya tak berlangsung lama karena pintu kamarnya tiba-tiba diketuk dengan keras."

"Kak, main sama aku yuk! Bosan nih main game sendiri!" seru Abi dengan semangat.

"Ya ampun, Abi... lagi enak-enak rebahan juga. Masa gak bisa biarin aku istirahat sebentar sih?" ujar Key dengan nada kesal.

Abi mengetuk pintu, tak menyerah begitu saja. Akhirnya dengan sedikit malas, Key bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamarnya. Abi, dengan senyum jahil di wajahnya, sudah menunggu di depan pintu.

"Ayo, main bareng! Masa kak Key mau rebahan terus?" ujar Abi dengan antusias.

"Yaudah, sebentar ya. Aku ganti baju dulu. Tapi abis itu kita main apa? Jangan yang capek-capek, ya," jawab Key dengan lelah namun tetap rela menemani.

Abi mengangguk senang, lalu berlari kembali ke kamarnya. Key hanya bisa tersenyum kecil, meskipun sebenarnya ia lebih ingin menghabiskan hari itu dengan bermalas-malasan. Namun, tak ada yang bisa menolak antusiame Abi.

Dekat Namun Tak Tergapai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang