Pagi itu, Key terbangun dengan perasaan berdebar, tapi juga penuh semangat. Ini adalah hari yang sudah ia tunggu-tunggu sejak lama. Seragam putih abu-abu terlipat rapi di atas meja, dan begitu ia mengenakannya, Key merasa ada sesuatu yang berbeda.

Meskipun tubuhnya mungil, ya... sekitar 150 cm, seragam SMA itu seakan memberikan rasa percaya diri baru buat nya. Dia menatap cermin, mengikat rambutnya dengan rapi, dan tersenyum lebar. Hari ini, babak baru dalam hidupnya dimulai.

Sarapan dengan kilat, ia segera bergegas menuju sekolah. Di perjalanan angin menyapa wajahnya dengan lembut, seolah ikut merayakan langkah pertamanya sebagai anak SMA. Sampai di gerbang sekolah, ia langsung bertemu dengan tujuh teman laki-lakinya dari SMP—Putra, Zul, Reza, Riski, Firman, Dika, dan Diki karena hanya mereka yang diterima di sekolah ini, dan melihat wajah-wajah yang familiar membuat Key merasa nyaman. Rasanya seperti petualangan baru ini nggak akan begitu menakutkan.

"Duh, Key, lo tambah kecil aja pake seragam ini," goda Reza sambil tertawa, diikuti oleh teman-teman lainnya.

Key hanya memutar mata sambil tertawa kecil. "Iya, iya, udah deh, gue kecil, tapi hati gue gede!" balasnya dengan nada bercanda, lalu mereka semua tertawa bersama. Canda dan tawa itulah yang membuat pagi pertama ini terasa begitu ringan, seolah semua kekhawatiran sirna begitu saja.

"Lo siap nggak buat tiga tahun ke depan?" tanya Firman sambil menepuk pundak Key.

"Siap, dong! Ini kan masa putih abu-abu, kita harus bikin kenangan yang nggak bakal terlupakan!" jawab Key dengan penuh antusias. Dalam hati, ia tahu bahwa meskipun ia sudah mengenal teman-temannya sejak lama, SMA adalah dunia yang berbeda, dan banyak hal yang mungkin akan berubah.

Mereka berjalan menuju lapangan untuk melakukan MOS (masa orientasi siswa), bercanda dan saling bertukar cerita tentang liburan terakhir sebelum masuk SMA. Di lapangan, suasana sangat ramai dengan wajah-wajah baru. Key merasa sedikit gugup, tapi keberadaan teman-temannya membuatnya tetap tenang. Ketika bel berbunyi, ia tahu, inilah awal dari kisah baru—kisah yang mungkin akan penuh dengan tawa, tantangan, dan mungkin, sedikit kejutan.

Di lapangan, kakak OSIS berdiri di depan barisan siswa baru dengan senyum lebar. Mereka mengucapkan selamat datang dan menjelaskan berbagai kegiatan yang akan dilakukan selama ospek. Suara mereka penuh semangat dan antusisme, mengisi udara dengan energi positif. Key berdiri di antara kerumunan, berusaha mendengarkan sambil merasakan getaran kegugupan di dalam dirinya.

Ketika pembagian kelompok dimulai, Key mengamati dengan cermat. Nama-nama dipanggil satu per satu, dan setiap kali nama teman-temannya disebut, mereka diatur ke kelompok yang berbeda. Hati Key mulai berdebar-debar. Ia merasa ada yang aneh ketika namanya sendiri akhirnya di panggil, dan ia mendapati dirinya ditempatkan di kelompok yang sama sekali tidak dikenal.

Ia menghela nafas panjang dan menunduk sedikit, matanya tertuju pada sekeliling lapangan yang penuh dengan siswa baru yang juga tampak canggung. Rasanya seperti dunia sekelilingnya mulai berputar lambat, dan Key merasa seolah ia adalah satu-satunya yang tidak memiliki pegangan di tengah kerumunan. Biasanya, ia adalah anak yang ceria dan energik, sulit untuk diam, tetapi kali ini, semua kepercayaannya terasa hilang.

Tiba-tiba dari arah samping, ada seorang cewek yang menyapanya dengan ceria. "Hai! Lo sendirian juga ya?" suaranya terdengar penuh semangat. Key menoleh dan melihat seorang cewek dengan senyum lebar. Perawakannya mungil, gak jauh beda dari Key, matanya berkilau ceria, dan entah kenapa auranya terasa begitu familiar, seolah mereka sudah lama kenal.

"Eh, iya. Gue Key," jawab Key sambil tersenyum, agak terkejut dengan sapaan tiba-tiba itu. Biasanya, dialah yang memulai obrolan dengan orang baru.

"Nama gue Lala, Lala Agnia. Kayaknya kita sekelompok deh!" kata cewek itu dengan semangat. "Sama-sama kecil, nih!" tambahnya sambil tertawa kecil, mengisyaratkan tubuh mungil mereka.

Dekat Namun Tak Tergapai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang