16. Sebelum ke Amsterdam

22 5 0
                                    


....

Alesha menatap cermin, tersenyum tipis. Rambut cokelat terangnya yang cukup panjang berkilau terkena sinar matahari pagi. Hari ini, tanggal 1 Ramadan, juga menjadi hari pertama ia kedatangan tamu bulananya. Sebuah perpaduan yang membuatnya merasa sedikit berbeda. Alesha termenung, kini ia hidup di negara dengan minoritas umat Islam. Ia merasakan perasaan tak menentu, segala rindunya memenuhi relung hatinya, ia merindukan suasana Ramadhan di Indonesia. Mungkin untuk kali ini ia akan menonton Ramadhan core di Indonesia yang pastinya akan lewat di video tik tok yang bisa mengurangi sedikit kerinduanya dan pasti menghibur dirinya dengan kerandoman warga +62.

Namun, semangatnya tak surut.  Ia akan memulai babak baru sebagai staf penuh waktu di sebuah kantor media ternama di Amsterdam.
Sejak diterima kerja, Alesha merasa seperti sedang terbang di atas awan. Ia tidak menyangka akan ditarik sebagai karyawan di kantor media Amsterdam. Tapi sungguh, ini akan menjadikan pengalaman yang sangat berharga, pekerjaanya adalah kesukaanya. Ia akan sering berkutat dengan kamera dan komputer, mungkin. Namun, ada satu hal yang membuatnya sedikit khawatir. Jarak antara Utrecht, tempat tinggalnya saat ini, dan Amsterdam cukup jauh. Setiap hari bolak-balik akan sangat melelahkan.

Sebelum dipindahkan ke Amsterdam, Alesha mendapat libur selama 2 hari. Kabar bahagia ini telah diketahui oleh anggota keluarganya. Mereka juga turut bahagia atas pencapaian Alesha. Pagi ini ia terlambat bangun dan mengikuti sarapan. Anya hanya mengirimkan pesan bahwa mereka berangkat bekerja seperti biasanya.

Menuruni tangga kaki Alesha melangkah menuju dapur. Perutnya mulai terasa sakit, hal ini sudah biasa terjadi saat awal-awal masa mens. Sepertinya Anya tidak memiliki kantong karet yang dapat ia masuki air panas, padahal ia berniat mengompres perutnya.

"Aduh, pengen makan tempe goreng." Gumamnya setelah melihat piring makanya yang ditutupi plastic wrap berisikan roti gandum dan yogurt.

"Tapi kalau mau beli, mager banget." Keluhnya.

Ia pun membuka plastik itu, menuangkan segelas air putih. Ia mulai melahap makananya. Biasanya saat rasa nyeri haid datang ia mengonsumsi obat pereda nyeri jika nyerinya terasa sangat sakit atau tidak minuman herbal yang ia beli di Indomaret atau mini market lainya. Tapi sekali lagi, ini Belanda. Apakah ada ya? Sekalipun ada sepertinya letaknya akan jauh.

Dari pagi hingga siang hari, Alesha hanya menghabiskan waktu untuk rebahan di kasurnya. Entah mengapa rasa sakit haidnya ini makin terasa hingga punggung bawahnya.

"Kayanya emang harus beli pereda nyeri deh." Ucapnya.

Ia lupa bisa meminta rekomendasi obat untuk pereda nyeri kepada Ayahnya atau kakak pertamanya. Di kamarnya hanya ada tablet tambah darah yang pernah diberikan oleh Ayahnya.

Setelah mendapat jawaban dari Stevan mengenai jenis obatnya, Alesha bersiap siap menuju apotek. Ia memakai kulot warna hitam dan kaos putih lengan panjang, rambutnya digerai indah. Untung saja letaknya tidak jauh sehingga ia bisa berjalan kaki.

Keluar dari halaman rumah langkah Alesha terhenti karena suara nyaring seseorang yang memanggilnya.

"HEI CACA!"

Alesha memutar bolanya malas, kenapa bisa Marvin sudah berdiri bersandar di dekat rumahnya.

"Apa sih? Kenapa harus teriak-teriak, aku gak budeg ya-" oh, wait, Alesha melupakan siapa yang ia ajak komunikasi. Seseorang yang tidak bisa berbahasa Indonesia.

"What?" Tanya Alesha mengulangi.

Tanpa menjawab, Marvin menundukkan kepalanya agar sejajar dengan wajah Alesha. Mata cokelatnya menatap tepat di mata cokelat gelap milik Alesha. Lantas, ia tersenyum manis menampakkan gigi-gigi rapinya. Beberapa detik kemudian senyumnya luntur begitu saja. Dahinya mengernyit.

Offside Cinta di Negeri Kincir AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang