"Udah mau berangkat, Rin? Loh, jidatmu merah gitu kenapa, Djie?"
Mendengar pertanyaan yang terlontar dari ibunya, Karin yang sedang berjalan menuju dapur hanya bisa menahan tawanya.
"Kamu apain, Rin?"
Tidak terima karena dianggap sebagai tersangka, Karin membela dirinya. "Enak aja. Kok aku, Ma? Tanya aja tuh sama Mas Adjie, abis ngapain sampe merah jidatnya."
Karin kembali ke meja makan tempat ibunya sedang bersantai dengan camilan yang tersedia, ia meletakan tumbler yang baru saja diisi dengan air di atas meja makan.
"Pelakunya emang Karin, Ma," jawab Adjie mengambil posisi duduk berseberangan dengan Rissa. "Bukan ini aja, Ma! Pinggang Adjie juga dipukul sama Karin," dengan memelas, Adjie melapor.
"Karin! Mama udah bilang berapa kali, sih? Kamu dan kebiasaan mukulmu itu tolong dihentikan."
Permintaan Rissa memang bukan yang pertama, ia sudah dengan bosan terus mengulang permintaan yang sama pada Karin terlebih sejak sering menjadi korban physical attack anak perempuannya yang dibalut dengan istilah love language.
"Ma, artinya kan itu ci--"
"Halah," sergah Rissa yang sudah hapal dengan pembelaan yang akan Karin sampaikan. "Gak usah bawa-bawa love language. Tuh, liat.. Suami sendiri jadi korban juga."
Rasanya Karin ingin membela dirinya sekali lagi, terlebih saat melihat ekspresi penuh kemenangan Adjie yang lebih terlihat sebagai ekspresi meledek oleh Karin. Tapi, ia sadar siapa lawannya. Tentu saja ibunya akan selalu ada kalimat sanggahan untuk memastikan supaya bisa memenangkan argumen.
Karin jadi sadar sifat keras kepalanya dan sulit mengalah jika sedang beragumennya itu ia dapat dari ibunya.
"Nanti kamu aduin lagi aja kalo Karin masih suka mukul-mukul, Djie. Biar Mama omelin si Karin."
Gadis yang sedang dibicarakan itu menghembuskan napas berat, Rissa berbicara seolah-olah Karin sedang tidak ada bersama mereka. Sedikit menyebalkan.
"Mam, udah please. Nanti Mas Adjie jadi gede kepala karena dibelain," pinta Karin memohon. Kalau tidak, bisa-bisa sesi ceramah ini berlanjut hingga siang nanti. Masalahnya, mereka sudah ada janji bertemu dengan konselor pernikahan yang kemarin sempat Adjie sebut.
"Iri, ya?" Ledek Adjie sambil terkekeh, ia bangkit berdiri untuk menghampiri ibu mertuanya. "Pergi dulu ya, Ma," pamitnya sambil mencium tangan Gina.
Melihat hal itu, Karin melakukan hal yang sama. Ia berpamitan dengan ibunya dan menitip salam jika Gaudy mencarinya. Sambil memboyong tumbler berukuran besar yang selalu ia bawa jika berpergian, Karin mengekori Adjie yang sudah jalan terlebih dahulu ke arah teras.
"Aku mau mengajukan banding," ucap Karin sambil memilih sepatu yang ingin ia pakai dari rak yang tersedia. "Minggu depan, kita nginep di rumah kamu."
Dengan satu alis yang terangkat, Adjie bertanya maksud dibalik permintaan isterinya itu. "Tiba-tiba?"
Karin mengangkat bahunya acuh, ia bergabung dengan Adjie yang sedang duduk di kursi teras sambil mengikat tali sepatunya. "Iya, biar skor imbang. Kalo di sini Mas Adjie bisa menang karena dibela Mama terus, aku juga mau menang! Jadi, aku butuh Mami Gina."
Adjie tertawa, ia mencubit pipi isterinya gemas. "Emang kamu tuh ada aja ya akalnya. Siapa yang ngajarin?"
"Gak ada, tapi terasah secara mandiri semenjak ketemu Mas Adjie," jawab Karin lalu bangkit berdiri setelah sepatu sandalnya sudah terpasang dengan rapi di kakinya.
"Aku harus seneng apa sebel?" Adjie bertanya untuk memastikan, ia menatap Karin dengan tatapan penuh selidik.
"Seneng dong!" Seru Karin sambil tersenyum mencoba meyakinkan suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Normalnya, Ini Tidak Normal.
Lãng mạnNormalnya, perjodohan adalah hal yang paling dihindari. Siapa juga yang suka diatur hidupnya? Terlebih dalam hal memilih pasangan hidup. Seseorang yang akan menemani kita seumur hidup. Maka dari itu, harus teliti dalam hal menyeleksi. Tapi bagi Kari...