13. Ketakutan.

0 0 0
                                    

Mentari sore menyinari halaman rumah Helen yang minimalis, namun tak mampu menerangi kesedihan yang menyelimuti rumah itu. Setelah sebulan lebih Helen di rawat di rumah sakit, rumah ini terasa seperti peti mati, menelan tawa dan semangat Helen yang dulu menyapa setiap sudutnya.

"Helen, hati-hati ya," ucap Dita, membantu Helen meniti anak tangga menuju kamar. Ia sampai harus izin dari butik untuk menemani Helen pulang dan mengurus segala administrasi rumah sakit. Ia tak hanya menjadi kakak, tapi juga seperti orang tua.

Ayah mereka, sudah kembali pergi bersama kelluarga barunya. Hampir sepekan Gio izin dari kerjaan dan menemani Helen Namun kenyataan itu tak mampu menyembuhkan rasa kecewa di hati Dita dan Helen.

Rama, menyusul mereka dengan langkah berat. Ia membawa sebuah buku dongeng, berharap bisa sedikit meringankan beban Helen. "Aku sudah siapkan buku kesukaanmu, Len," ujarnya, senyumnya dipaksakan, tak mampu menyembunyikan kekhawatiran di matanya.

Helen tersenyum lemah, matanya masih terlihat lelah,. "Terima kasih, Rama," ucapnya lirih, suaranya seperti desiran angin.

Rama duduk di tepi ranjang, membacakan buku dongeng dengan suara lembut, berharap bisa membawa Helen kembali ke dunia mimpi. Helen memejamkan matanya, menikmati suara Rama yang menenangkan, tapi tak mampu melupakan bayang-bayang penyakit yang seolah menggerogoti jiwa.

"Tidurlah, Helen," bisik Rama, saat Helen tertidur lelap. Tapi, tidurnya tak tenang, diiringi mimpi buruk yang tak kunjung padam.

Rama keluar dari kamar, menuruni anak tangga dengan langkah gontai. Ia bertemu Dita yang sedang menyiapkan makan siang, aroma masakan yang harum tak mampu mengusir rasa hampa di hatinya. "Rama, makan siang dulu, ya," ajak Dita, "Kamu pasti lelah."

Rama menggeleng, "Aku tidak lapar, Dita. Aku akan pulang."

"Aku sudah memasak makanan kesukaanmu, Rama," Dita terlihat kecewa. "Makanlah dulu sebentar, anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku karena kamu sudah menjaga dan menemani Helen."

Rama yang merasa tak enak hati, akhirnya mengalah, ia duduk di meja makan, namun tak mampu menyantap makanan. Matanya kosong, tertuju pada foto Helen yang terpajang di dinding, seakan ingin mencuri kembali senyum Helen yang hilang.

Setelah oprasi kepala Helen dilakukan, gadis itu tak seceria biasanya. Helen seperti memikirkan banyak hal yang tidak diketaui Rama. Saat ditanya apa hal yang mengganggu pikiran gadis itu, Helen hanya tersenyum.

Dita yang menyantap makanannya, memperhatikan Rama dengan sendu. "Rama, kamu harus kuat," ucapnyabergetar, "Helen membutuhkanmu. Dia ingin melihatmu sehat dan bahagia."

Rama terdiam, matanya berkaca-kaca, air mata yang tertahan ingin tumpah. "Aku takut, Dita," bisiknya, suaranya tercekat, "Aku takut kehilangan Helen."

Dita menggenggam tangan Rama, "Jangan takut, Rama. Helen akan baik-baik saja. Dia wanita yang kuat, dia akan melewati ini semua."

Rama mengangguk, berusaha menguatkan diri. Ia harus tegar, ia harus menjadi sandaran bagi Helen. Ia harus menunjukkan kepada Helen bahwa ia akan selalu ada untuknya, bahkan ketika dunia runtuh di hadapan mereka.

"Terima kasih, Dita," ucap Rama, "Kau selalu ada untukku."

Dita tersenyum, "Aku selalu ada untuk kalian berdua."

"Dita, kau tahu, aku masih ingat saat pertama kali bertemu denganmu," Rama mengganti topik, mulai menyendok sup rumput laut kesukaannya.

Rasa sup itu masih sama dan ternyata Rama merindukannya. Mungkin, ia merindukan seseorang yang selalu memasakan makanan apapun yang ia suka. Atau, bisa jadi ini hanya rasa kesepiannya.

Dita tersenyum, matanya berbinar-binar. "Di pesta ulang tahun Sarah, kan?" tanyanya.

Rama mengangguk. "Kau begitu menawan malam itu. Kau menebarkan pesona yang membuatku tak bisa berpaling darimu. Aku masih ingat bagaimana kau tertawa lepas saat bercerita tentang hobi menari baletmu."

Dita tersipu malu. "Kau juga begitu perhatian malam itu. Kau selalu ada untukku, membuatku merasa nyaman."

Rama terdiam sejenak, mengenang masa-masa indah mereka di masa lalu. Ia ingat bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama, menonton film di bioskop, makan di restoran favorit mereka, dan berjalan-jalan di taman kota.

"Ingat saat kita menonton film di bioskop? Kau tertidur di bahuku, dan aku tak tega membangunkanmu," Rama berkata, senyum mengembang di bibirnya.

Dita tertawa pelan. "Kau selalu saja membuatku merasa nyaman. Kau selalu ada untukku, Rama."

Tiba-tiba Rama merasakan sesak di dadanya. Ia teringat bagaimana dulu, saat cinta mereka sedang bersemi, ia dengan mudahnya mencampakkan Dita demi mengejar ambisi pribadinya. Kini, melihat Dita yang begitu tegar merawat Helen, hatinya terasa teriris.

"Dita, aku mohon maaf atas semua kesalahan yang telah kulakukan. Aku tahu, aku telah menyakitimu," Rama berkata dengan suara bergetar.

Dita menatap Rama dengan mata yang penuh pengertian. "Aku sudah mengikhlaskan semuanya, Rama. Aku hanya ingin kebahagiaan untuk Helen."

....

Mobil Rama melaju di tengah hiruk pikuk kota siang itu. Suara klakson dan deru mesin kendaraan bercampur dengan riuh rendah manusia di jalanan. Namun, Rama tak dapat fokus pada pemandangan di sekitarnya. Pikirannya masih tertuju pada percakapannya dengan Dita di ruang tamu beberapa menit lalu.

"Aku sudah mengikhlaskan semuanya, Rama. Aku hanya ingin kebahagiaan untuk Helen," kata-kata Dita bergema di telinganya.

"Jangan pernah meninggalkan Helen seperti kau meninggalkan aku dulu," pesan Dita kembali terngiang.

Rama menitikan air mata merasa sangat bodoh. Tanpa ia sadar ia telah menyakiti Dita dan bagaimana jika Helen tau? Ia rasa semuanya akan menjadi lebih rumit.

Ia harus membuktikan pada Dita bahwa ia telah berubah. Ia harus membuat Helen begitu mempercayainya sebelum masa lalu bersama Dita terkua.

Rama menghela napas, pandangannya tertuju pada jalanan yang membentang di depan. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan rintangan, namun ia bertekad untuk terus melangkah maju, demi Helen.

....

See you.

Ombak Rindu dan Janji Terakhir (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang