Helen terduduk di ranjang, jari-jarinya dengan lemas menelusuri layar laptop. Berjam-jam ia menjelajahi akun media sosial Rama, hati kecilnya semakin teriris. Semakin dalam ia menyelami dunia maya Rama, semakin banyak foto-foto Rama dan Dita yang begitu romantis bermunculan.
Caption-caption yang menyertai foto-foto itu menggambarkan perasaan harmonis, penuh kasih sayang, dan mendambakan. Helen membaca setiap kata, setiap kalimat, dengan hati yang semakin terluka. Ia melihat komentar-komentar dari Dita yang menanggapi postingan Rama, teman-teman Rama yang menanggapi komentar Dita, dan begitu banyak interaksi lainnya.
Walaupun postingan-postingan itu sudah berumur setahun lebih, rasa sakit menusuk hati Helen. Bagaimana bisa Dita menyembunyikan hubungannya dengan Rama? Bagaimana mereka bisa menutupi semuanya dari Helen? Meskipun Rama sudah tidak pernah memosting kebersamaannya dengan Dita, rasa peih dan tak percaya membuatnya ragu.
Apa lagi selama hampir setahun mereka bersama, Rama tidak pernah memosting apapun mengenai kebersamaan mereka. Ia tidak pernah menanyakan mengenai sosial media milik Rama atau masa lalu pria itu.
Helen meraba kepalanya yang tidak memiliki rambut. Saat ia masih cantik Rama tak pernah memosting foto mereka, bahkan pria itu tidak pernah mengenali teman-temannya pada Helen. Apa lagi dengan kondisinya sekarang?
Namun, di tengah kesedihannya, ia menyadari sesuatu yang aneh. Foto Rama dan Dita terakhir diposting pria itu beberapa bulan sebelum hari jadi mereka. Bahkan beberapa minggu setelah pertemuan di pantai, Rama masih memosting foto Dita di sebuah Cafe.
Helen ingin menelepon Rama, menanyakan semua kebenaran itu. Namun hatinya diselimuti rasa kecewa, sedih, dan emosi. Ia takut langkahnya menelepon Rama adalah langkah yang salah.
Akhirnya, Helen memilih menangis dan mencurahkan rasa pedihnya di buku harian. Ia merasa tak mampu lagi menahannya. Helen butuh kejelasan, namun ia takut emosinya malah akan merusak hubungan mereka.
"Rama," Helen berbisik, air matanya membasahi halaman buku. "Kenapa kau melakukan ini padaku?"
Tiba-tiba, Dita masuk ke kamar Helen. Ia melihat sang adik sedang menangis dan buku harian gadis itu terbuka di hadapannya. Dita tahu Helen sedang membaca sesuatu di laptopnya tadi, dan ia bisa menebak apa yang membuat Helen sedih.
Dita menghampiri Helen dan memeluknya erat. "Sayang, apa yang terjadi?" tanya Dita lembut.
Helen terisak di pelukan Dita. Ia yang awalnya ragu, akhirnya menceritakan apa yang ia lihat di media sosial milik Rama.
Dita yang sudah menduga hal semacam ini akann terjadi, mendengarkan dengan sabar. Matanya berkaca-kaca namun bibirnya tak mampu bersuara.
"Dita, maaf. Aku merasa bersalah telah mengambil Rama darimu," bisik Helen di antara isak tangisnya. Gadis itu melepaskan pelukan, menggenggam erat kedua tangan sang kakak yang terasa dingin.
Dita terdiam, matanya menatap Helen dengan lembut. Ia tidak menjawab pertanyaan Helen. Ia tidak membahas masa lalunya.
"Helen, aku tahu ini sulit. Tapi, aku mohon, jangan terlalu memikirkan hal ini," kata Dita. "Rama sudah menjadi masa lalu. Yang penting sekarang adalah kau dan kesehatanmu."
Helen terdiam, air matanya masih mengalir. Dita benar, Rama sudah menjadi masa lalu. Namun, luka di hatinya masih terasa perih.
"Aku akan selalu ada untukmu, Helen," kata Dita, matanya menatap Helen dengan penuh kasih sayang. "Kita akan melewati ini bersama-sama."
Helen mengangguk, matanya masih berkaca-kaca. Ia tahu Dita akan selalu ada untuknya. Dita adalah kakaknya, sahabatnya, dan satu-satunya orang yang selalu ada untuknya selain Rama.
Pagi menjelang, sinar mentari pagi menyapa Helen melalui celah gorden. Ia terbangun dengan perasaan berat, sisa-sisa air mata masih terasa di pipinya. Mimpi-mimpi indah yang ia rajut bersama Rama terasa rapuh, terusik oleh kenyataan pahit yang ia temukan.
Helen mencoba bangkit dari ranjang, namun tubuhnya terasa lemas. Ia merasakan sakit di kepala, bukan hanya karena penyakitnya, tapi juga karena beban pikiran.
Dita sudah tidak ada di kamar. Ia pasti sudah berangkat bekerja. Helen menghela napas, matanya tertuju pada buku harian yang tergeletak di nakas. Ia membuka halaman terakhir, membaca kembali curahan hatinya semalam.
"Rama," gumamnya, "apa yang harus kulakukan?"
Ia teringat percakapannya dengan Dita semalam. Dita tidak pernah membahas masa lalunya dengan Rama, seolah-olah ia telah melupakan semuanya. Tapi, Helen tahu, Dita pasti merasakan sakit yang sama seperti dirinya.
Helen terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia merasa terjebak dalam sebuah dilema. Ia mencintai Rama, tapi ia juga merasa bersalah karena telah mengambilnya dari Dita.
"Apakah aku harus meninggalkan Rama?" gumamnya.
Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ia pertama kali bertemu Rama. Ia ingat bagaimana Rama selalu ada untuknya, membacakannya dongeng, dan membuatnya merasa nyaman.
Tapi, aku tidak bisa melupakan masa lalu Rama bersama Dita," gumamnya lagi.
Helen merasa semakin bersalah. Mungkin sudah banyak mimpi yang Dita ukir bersama Rama, namun Helen merusaknya.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama "Rama" tertera di layar. Helen ragu-ragu untuk mengangkatnya, namun akhirnya ia memutuskan untuk menjawab.
"Halo, Helen. Bagaimana kabarmu pagi ini?" suara Rama terdengar lembut di seberang telepon.
"Baik," jawab Helen singkat, suaranya terdengar lesu.
"Aku mau bilang, beberapa hari kedepan aku gak bisa nemuin kamu. Ayahku minta pertemuannya dipercepat."
Helen hanya terdiam, mendengar penjelasan Rama.
"Kamu istirahat aja dulu ya, Len. Aku harus buru-buru ke bandara," kata Rama, lalu mematikan sambungan telepon.
Helen tidak menjawab. Ia yang melihat sambungan telepon diputuskan sepihak, membanting ponsel ke kasur. Diam-diam air matanya mengalir.
"Rama," bisiknya lirih, "apa yang sebenarnya terjadi?"
Helen menghela napas, matanya tertuju pada jendela kamar. Sinar matahari pagi semakin terang, menerangi ruangan. Ia tahu, ia harus membuat keputusan. Keputusan yang sulit, tapi ia harus melakukannya.
Ia harus memilih antara melupakan semua masa lalu Rama, atau ia melupakan pria ittu.
Helen menghela napas, matanya terpejam. Ia tahu, jalan yang ia pilih tidak akan mudah. Tapi, ia harus berani mengambil keputusan, untuk dirinya sendiri, untuk cintanya, dan untuk masa depannya.
.....
See you
KAMU SEDANG MEMBACA
Ombak Rindu dan Janji Terakhir (TAMAT)
RomanceHelen, dengan mata redup namun berbinar semangat, kembali ke tanah air setelah sepuluh tahun berjuang melawan kanker. Ia ingin merasakan kembali pasir pantai masa kecilnya, tempat kenangan bersama sang ibu terukir. Di sana, ia bertemu Rama, pria mis...