17. Rama.

0 0 0
                                    

Rembulan malam itu begitu terang, seolah ingin menerangi hati Helen yang tengah bergelut dengan kesedihan. , Ia duduk di bangku taman kayu yang sudah mulai lapuk, terukir oleh waktu dan kenangan. , Lampu taman yang biasanya menerangi malam dengan cahaya hangat kini tampak redup, seakan mengikuti suasana hati Helen.

Ia menatap bulan sabit yang menggantung di langit, terbayang wajah Rama yang dulu selalu tersenyum hangat padanya. , Kini, senyum itu tampak menyebalkan, terkubur dalam kekecewaan yang mendalam.

Helen teringat saat-saat indah yang pernah mereka lalui bersama. , Perjalanan ke pantai, piknik di taman, bahkan hanya sekadar berkeliling kompleks perumahan, semua terasa begitu nyata. , Namun, semua itu kini terasa seperti mimpi yang sirna.

Tangannya terulur, meraih cangkir teh hangat yang sudah dingin. , Aroma teh melati yang dulu selalu disukainya kini terasa hambar, tak mampu mengusir rasa pahit yang menggerogoti hati.

Helen menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. , Ia tahu, Rama masih mencintainya, masih berusaha untuk mendapatkan kembali kepercayaannya. , Setiap hari, Rama datang ke rumah, mengajaknya keluar, berusaha untuk mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan.

Namun, luka di hatinya terlalu dalam. , Kepercayaan yang telah hancur tak mudah untuk dibangun kembali. , Helen masih ragu, masih takut untuk membuka hati kembali.

Ia masih terbayang postingan-postingan romantis bersama Dita. Dan entah mengapa otaknya, mengingatkan kejadian di masa lalu. Kejadian saat Rama untuk pertama kali berkunjung ke rumahnya. Tatapan kesakitan terpancar dari mata sang kakak yang membuat ia merasa sepeti seorang penjahat.

Helen menghela napas, matanya kembali menatap bulan. , Ia berbisik pelan, "Kapan aku bisa percaya lagi? , Kapan aku bisa melupakan semua ini?"

Malam semakin larut, rembulan perlahan menghilang di balik awan. , Helen masih duduk di bangku taman, terdiam dalam kesedihan. , Ia berharap, suatu saat nanti, hatinya akan kembali menemukan ketenangan, dan ia bisa kembali tersenyum seperti dulu., Dalam daftar

Dita, yang tak kunjung dapat memejamkan mata, beranjak dari kamarnya. , Langkah kakinya menuruni anak tangga dengan pelan, hatinya dipenuhi rasa khawatir. , Ia melihat pintu belakang rumah terbuka, dan di sana, di bawah cahaya remang-remang lampu taman, ia melihat Helen duduk di bangku kayu, tubuhnya bungkuk, menatap bulan dengan pandangan kosong.

Dita menghampiri Helen, duduk di sampingnya, dan dengan lembut menanyakan, "Kenapa kamu belum tidur, Helen?"

Helen menoleh, matanya berkaca-kaca. , "Aku belum ngantuk, Kakakk," jawabnya lirih.

Dita mengerti. , Ia tahu, Helen masih terbebani oleh masa lalu, oleh rasa sakit yang belum sepenuhnya sembuh. , Ia memeluk tubuh Helen, mengelus-elus pundaknya yang tertutup baju piyama tipis.

"Masuklah ke dalam! Hari semakin malam dan sepertinya akan turun hujan."

Namun Helen hanya terdiam, masih enggan beranjak.

"Helen, apa kau masih memikirkan tentang masa lalu ku?" , tanya Dita, suaranya lembut, penuh kasih sayang. ,

Helen terdiam, air matanya menetes perlahan. , Ia tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang masih menghantuinya.

"Aku tahu, Helen," lanjut Dita, "Aku tahu kau masih kecewa, masih sakit hati. , Tapi, percayalah, aku mencintaimu, aku selalu mencintaimu."

"Aku tau kau sangat mencintaiku dan terima kasih untuk itu. Namun aku selalu merasa bersalah padamu," ucap Helen lemah. Ia menggenggam cangkir teh dengan bergetar. "Aku rasa aku tidak bisa melanjutkan hubunganku dengan Rama."

Dita menggeleng, semakin erat memeluk sang adik. "Kisahku dengan Rama hanya sebuah masa lalu. Setahun sudah aku mengetaui kedekatan kalian dan Rama memilihmu. Setahun sudah aku belajar untuk ikhlas dan mencoba menjalani semua tanpa bayang-bayang Rama. Kini, aku sudah bisa tanpanya, bahkan aku tidak berniat kembali pada Rama."

....

See you

Ombak Rindu dan Janji Terakhir (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang