Pasir pantai yang lembut menyapa telapak kaki Helen, tapi langkahnya tak terhenti. Ia terus melangkah, seolah ditarik oleh kekuatan gaib menuju jantung pantai. Air laut yang dingin menyentuh betisnya, baru ia tersadar dan berhenti.
"Basah!" gumamnya, sedikit terkejut. Celana panjangnya basah kuyup, tapi Helen sudah menduganya. Di dalam ranselnya, selain perbekalan dan peralatan medis, ia juga membawa beberapa pasang pakaian. Seolah bersiap menghadapi segala kemungkinan, seperti seorang prajurit yang siap bertempur.
Helen membalikan tubuh, matanya tertuju pada pohon rindang yang menjulang tinggi di tepi pantai. Ia menatapnya dengan lamat-lamat, seolah mencari sesuatu yang tersembunyi di balik dedaunannya. Beberapa detik berlalu, tak ada seorang pun yang mendekat. Helen pun melangkah mendekatinya.
"Eh, maaf ada orang," ucapnya, mengurungkan niat untuk meletakkan ransel di atas akar pohon yang disemen.
"Tidak apa-apa, Mbak," jawab seorang pria yang sedang duduk di bawah pohon, meneduh. Wajahnya tertutup bayangan topi, hanya terlihat sedikit garis rahang yang tegas.
Helen menggeleng. "Biar saya cari tempat lain," tolaknya halus.
"Disini aja," pria itu menggeser duduknya, mempersilahkan Helen. Namun, gadis itu masih terlihat enggan.
"Lagi, Mbaknya mau duduk dimana? Di sana-sana sudah pada penuh. Di sini saja yang masih kosong."
Helen mengedarkan pandangan, mencari tempat berteduh. Namun, perkataan pria itu benar. Dengan berat hati, Helen duduk di sampingnya. Tidak terlalu dekat, karena pihak pantai telah menyemen bawah pohon dengan cukup lebar. Setidaknya, masih ada jarak beberapa jengkal sebelum mereka benar-benar bersentuhan.
"Mbaknya tinggal di Komplek Permai ya?" Suara pria itu terdengar berat dan sedikit serak, seperti orang yang jarang berbicara.
Helen yang baru melepaskan ransel dari pundak, menoleh. Ia mengamati penampilan pria di sebelahnya. Kulit sawo matang, bibir ditindik, kuping ditindik, celana robek-robek, jaket kulit, baju bergambar kepala tengkorak, dan pakai kalung gading gajah. Biasanya, orang-orang yang berpenampilan seperti itu memiliki kehidupan yang buruk, dan Helen tak menyukainya. Sebagai seseorang yang terlahir di dalam keluarga berpendidikan, ia diatur keras cara berpakaian.
"Jangan ngelamun, Mbak," tegur pria itu ramah. "perkenalkan, nama saya Rama. Kalau Mbaknya siapa?"
Helen tersenyum kikuk, mengalihkan pandangan, dan menjabat tangan kanan pria di depannya dengan takut. "Saya Helen."
"Nama yang bagus," tanggap Rama, melepaskan jabatan tangannya. "Len, tadi pertanyaan saya belum dijawab loh."
Helen yang merasa mulai tak nyaman dengan sikap ramah Rama hanya tersenyum. Ia tidak menjawab apapun dan malah sibuk melihat debur ombak.
"Kamu datang sendiri aja?" Rama yang diabaikan, berusaha mencari topik pembahasan lain, namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Pria itu mengalihkan pandangan dari layar ponselnya, menatap wajah samping Helen yang tertutup rambut. "Helen," panggilnya.
Hening!
"Tadi kita sempet ketemu loh," Rama masih berusaha. Entah kenapa, ia ingin sekali mengenal lebih dekat gadis yang pertama kali dijumpainya. Padahal, sebelumnya mereka tidak pernah bertemu atau saling mengenal. Namun, entah mengapa aura gadis yang bernama Helen dapat memikatnya dengan sekali pandang?
Helen menoleh. Ia hanya tersenyum dan terus begitu sampai cairan merah mengalir dari dua lubang hidungnya.
Rama yang melihat itu terkejut, menegakan tubuh. "Are you okay?"
Helen mengangguk sebagai jawaban. Ia meraih ranselnya dan mencari obat di kantong depan. Dengan sekali tenggukan, Helen meminum 7 pil besar berwarna putih dengan air khusus yang sudah dipersiapkan. Rama yang melihat itu menelan ludah. Membayangkan dia yang harus meminum obat sebesar biji kurma, membuat tenggorokannya mendadak nyeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ombak Rindu dan Janji Terakhir (TAMAT)
Storie d'amoreHelen, dengan mata redup namun berbinar semangat, kembali ke tanah air setelah sepuluh tahun berjuang melawan kanker. Ia ingin merasakan kembali pasir pantai masa kecilnya, tempat kenangan bersama sang ibu terukir. Di sana, ia bertemu Rama, pria mis...