Mentari pagi menyinari ruangan rawat inap Helen dengan lembut, namun sinarnya tak mampu menembus kegelapan yang menyelimuti hati Dita dan Rama. Mereka duduk berdampingan di samping ranjang Helen, menunggunya bangun setelah operasi. Suasana di ruangan terasa hening, hanya diiringi suara detak jantung Helen yang lemah, seakan berbisik tentang ketidakpastian masa depan.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan bunyi berderit, dan seorang dokter dengan wajah lelah namun penuh harap masuk. Dita dan Rama langsung berdiri, mata mereka menatap dokter dengan penuh harap, seakan berharap untuk mendengar kabar baik yang selama ini mereka dambakan.
"Bagaimana kabar penyakitnya, Dok?" tanya Dita, suaranya bergetar, menahan gelombang emosi yang siap meledak.
"Operasinya berjalan dengan lancar, Mba," jawab dokter, tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang terpancar di matanya. "Keadaan Helen stabil, namun ia masih dalam pengaruh obat bius. Ia akan membutuhkan waktu untuk pulih."
Dita dan Rama menghela napas lega, namun lega itu terasa hambar, seperti seteguk air di padang pasir.
Mereka saling berpandangan, mata mereka berkaca-kaca, namun air mata itu tak kunjung jatuh, seakan tertahan oleh beban harapan yang tak terucapkan.Mereka bersyukur operasi Helen berjalan lancar, namun bayangan panjang tentang masa depan Helen masih menghantui pikiran mereka.
Beberapa jam berlalu, Helen mulai siuman. Dita dan Rama setia menunggunya di samping ranjang, tangan mereka menggenggam erat tangan Helen, seakan ingin memberikan kekuatan untuk melawan rasa sakit yang mungkin masih menghantuinya.
Helen, sayangku. Kamu sudah bangun," ucap Dita, suaranya lembut, diiringi getaran yang tak dapat disembunyikan.
Helen membuka mata perlahan, matanya masih terasa berat, seolah baru terbangun dari mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. "Kakak ... Rama," ucap Helen, suaranya lemah, seperti bisikan angin sepoi-sepoi yang hampir tak terdengar.
"Bagaimana perasaanmu, Len?" tanya Rama, dengan lembut, berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang mendalam.
Helen menggeleng, "Kepalaku masih pusing. Aku masih belum bisa banyak bicara."
"Tidak apa-apa. Istirahatlah dulu," ucap Dita, mengelus lembut rambut Helen, seakan ingin menenangkan badai yang berkecamuk di dalam hati adiknya.
Rama tidak berkata apapun. Ia meraih buah yang sempat dibeli ketika sedang menunggu Helen siuman. "Apa kamu mau anggur?" tanyanya menawarkan buah yang paling disukai.
Helen mengangguk, "Terima kasih, Rama."
Rama menyuapi Helen dengan penuh kasih sayang, setiap suapan terasa berat, seakan membawa beban harapan dan doa untuk kesembuhan Helen. Sedangkan Dita menceritakan kisah-kisah lucu tentang rekan kerjanya, berusaha menghibur Helen, namun tawa yang tercipta terasa hampa, seperti tawa seorang badut yang menyembunyikan kesedihan di balik topengnya.
Jam demi jam berlalu dengan cepat, siang pun tiba. Orang tua Helen, ayah dan ibu sambungnya yang terbang dari negara tetangga, datang menjenguk Helen bersama anak mereka yang masih balita.
Dita yang mendengar suara ketukan pintu, menoleh. Ia langsung berlari dan berhambur ke dalam pelukan sang ayah yang membuuka pintu.
"Apa kabar anak tangguh Ayah?" Gio yang membawa keranjang buah, melepaskannya begitu saja. Ia membalas pelukan Dita dengan haru. "Maaf ayah baru sempat mengunjungi kalian," bisiknya merasa bersalah.
Dita menggeleng dalam pelukan Gio. Ia melepaskan pelukan itu dan beralih memeluk Melan yang berdiri di samping sang ayah. "Di mana Raya?" tanyanya setelah pelukan singkat itu berakhir.
"Sama mbaknya di hotel," jawab Melan dan menyusul sang suami yang mendekati ranjang rumah sakit.
"Helen, sayangku. Kami sangat khawatir padamu," ucap Gio, matanya berkaca-kaca, menahan air mata yang siap menetes.
Helen tersenyum lemah, "Ayah, Ibu. Aku baik-baik saja."
Rama yang duduk di samping Helen, bangkit berdiri. Ia menyalami tangan Gio dan Melan bergantian. "Apa kabar Om dan Tante?"
"Baik," jawab pasangan itu kompak.
"Saya pacarnya Helen."
Gio menatap anak muda di depannya penuh simpati. Ia mengangguk dengan senyum lebar. Meskipun tidak menyukai penampilan Rama yang urakan, namun pria itu masih memiliki sikap sopan.
Melihat kesempatan yang bagus untuk menyampaikan niatnya pada keluarga Helen, ia memberanikan diri. "Om, Tante, saya berniat menikahi Helen tahun depan. Saya berjanji akan selalu menjaga dan menyayangi Helen," ucap Rama, dengan penuh keyakinan, suaranya bergetar, seakan membawa beban tanggung jawab yang tak terhingga.
Gio mengangguk. Meskipumn ragu, ia tak mau membuat Helen yang mendengarnya kecewa. "Terima kasih, Rama. Saya sebagai orang tua sangat senang mendengarnya. Saya harap kamu bisa menjadga dan mengasihi Helen seperti kamu mengasihi dirimu sendiri."
"Pasti Om," jawab Rama cepat,"kalau bulan depan orang tua saya datang menemui Om dan Tante bagaimana?"
"Silahkan! Pintu rumah kami selalu terbuka 24 jam.
Rama yang mendengar itu menggenggam tangan Helen. "Kamu dengerkan Len?"
Namun Helen hanya mengangguk lemah. Ia tak tau lagi harus beraksi seperti apa. Satu sisi ia lega karena semua berjalan dengan baik. Tetapi di sisi lain, ia takut jika nanti ia akan lebih dulu meninggalkan Rama.
....
See you
KAMU SEDANG MEMBACA
Ombak Rindu dan Janji Terakhir (TAMAT)
RomanceHelen, dengan mata redup namun berbinar semangat, kembali ke tanah air setelah sepuluh tahun berjuang melawan kanker. Ia ingin merasakan kembali pasir pantai masa kecilnya, tempat kenangan bersama sang ibu terukir. Di sana, ia bertemu Rama, pria mis...