16. Sebuah Jawaban.

0 0 0
                                    

Mentari pagi menyapa Helen dengan lembut, menerobos celah gorden kamarnya. Hari ini adalah hari pertama Ramadhan kembali ke Indonesia, setelah beberapa hari menemui orang tuanya di negara tetangga. Ia teringat janji Rama untuk menemuinya pagi ini, dan jantungnya berdegup kencang.

Helen mencoba menenangkan diri. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menyingkirkan kecemasan yang menggerogoti pikirannya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi saat bertemu dengan Rama. Apakah ia akan menanyakan tentang hubungannya dengan Dita? Apakah ia akan mengatakan sesuatu yang menyakitkan?

Helen mencoba untuk bersikap tenang. Ia bercermin, memastikan penampilannya rapi. Ia tersenyum tipis, mencoba untuk meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Ia berjalan menuju balkon kamar, menghirup udara segar pagi. Aroma bunga melati yang sedang mekar memenuhi udara, membuat suasana semakin menenangkan. Helen duduk di kursi rotan, menikmati secangkir teh hangat dan sepotong bolu. Ia mencoba untuk fokus pada keindahan pagi, namun pikirannya terus tertuju pada Rama.

Tiba-tiba, suara ketukan pintu mengagetkannya. Jantungnya berdebar kencang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan emosinya.

"Helen, aku boleh masuk?" suara Rama terdengar dari balik pintu.

Helen mengangguk, mencoba untuk tersenyum. "Iya, Rama," jawabnya.

Pintu terbuka, memperlihatkan sosok Rama yang berdiri di ambang pintu. Ia tersenyum hangat, matanya memancarkan kehangatan yang membuat Helen merasa sedikit tenang.

"Hai, Helen," sapa Rama, matanya menatap Helen dengan penuh perhatian.

"Hai, Rama," jawab Helen.

Rama melangkah masuk, matanya tertuju pada Helen yang duduk di balkon. Ia mendekati Helen, duduk di sampingnya.

"Bagaimana kabarmu, Helen?" tanya Rama, matanya menatap Helen dengan penuh kasih sayang.

"Baik," jawab Helen, suaranya terdengar sedikit gemetar.
"Aku kangen kamu, Len," kata Rama, tangannya meraih tangan Helen.

Helen terdiam, matanya tertuju pada tangan Rama yang menggenggam tangannya. Ia merasakan kehangatan yang mengalir dari tangan Rama ke tubuhnya.

"Aku juga kangen kamu, Rama," jawabnya, suaranya terdengar lirih.

Rama tersenyum, matanya menatap Helen dengan penuh kelembutan. Ia tahu, Helen sedang menyembunyikan sesuatu. Ia tahu, Helen sedang memikirkan sesuatu.

Saat Rama masih di luar negri, kekasihnya itu sangat susah dihubungi. Dia selalu beralasan sedang di kamar mandi atau sedang membantu Dita memasak.

Rama yang tidak mau membahas perubahan sikap Helen, mengambil topik. "Ayahku sudah bertemu dengan ayahmu. Mereka terlihat akrab dan langsung membahas banyak hal."

Helen mengangguk, menatap Rama penuh makna.

"Terus, orang tuamu sudah tahu tentang keadaanku, kan?" tanya Helen, suaranya terdengar sedikit gugup.

Rama mengangguk. "Aku sudah menceritakan semuanya. Bahkan ayahmu juga bercerita banyak tentang keluarga kalian."

"Terima kasih, Rama," kata Helen.

Rama tersenyum, mengelus kepala Helen yang ditutup kain.

"Tapi apa aku boleh bertanya sesuatu?"

"Tentu, Helen?" tanya Rama, matanya menatap Helen dengan penuh perhatian.

"Aku bingung harus memulainya dari mana," kata helen lemah, "aku ... aku ingin tahu sesuatu, Rama."

Rama yang sudah menebak pertanyaan dari Helen, bergerak gelisah. Ia menghindari tatapan sang kekasih.

"Apa itu?" tanyanya gugup.

"Tentang Dita ..." kata Helen, suaranya terdengar lirih.

"Apa yang ingin kamu ketahui, Len?"

"Apakah kamu masih mencintai Dita?" tanya Helen, suaranya bergetar.

"Helen ... kata Rama, suaranya terdengar sedikit gugup.

"Jawab aku, Rama," kata Helen, suaranya terdengar sedikit mendesak.

Rama menghela napas, matanya menatap Helen dengan penuh kesedihan. Ia tahu, ia tidak bisa menyembunyikan kebenaran lebih lama lagi.

"Aku ... aku mencintaimu, Helen," jawab Rama, suaranya terdengar lirih.

"Tapi .... kamu pernah mencintai Dita, kan?"

"Ya, tapi dulu," jawab Rama, suaranya terdengar lirih.

Helen terdiam. Kini setelah ia sudah mendapatkan jawabannya, ia merasa sangat bersedih.

"Kenapa kamu tidak jujur padaku sejak awal?"

"Aku .... aku takut kehilangan kamu, Len," jawab Rama, menatap Helen berkaca-kaca..

"Tapi, kamu sudah membuatku kecewa, Rama," kata Helen, suaranya bergetar.

"Aku tahu, Helen. Aku minta maaf."

"Aku ... aku tidak tahu harus bagaimana, Rama," kata Helen, suaranya bergetar.

"Aku ... aku mencintaimu, Helen."

"Tapi, aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi," kata Helen, suaranya bergetar.

Rama terdiam, matanya menatap Helen dengan penuh kesedihan.  Ia tahu, ia telah menyakiti Helen.  Ia tahu, ia harus berusaha untuk mendapatkan kembali kepercayaan Helen.

"Aku akan berusaha untuk mendapatkan kepercayaanmu," jawab Rama yakin, "ingat lagi bagaimana mimpi kita, ingat bagaimana kita bisa ada sampai di titik ini, ingat lagi kita sudah merencanakan untuk menikah. Bahkan ayahmu dan ayahku sudah menentukan tanggalnya."

Helen terkejut. "Tanggal apa?"

"Tanggal pernikahan kitta."

"Lalu, kapan?" tanya Helen, suaranya terdengar sedikit gugup.

"Setelah perayaan Natal, sekitar tanggal 28."

"Itu terlalu cepat. Aku rasa aku belum siap dan kita belum mempersiapkan apapun."

Rama tersenyum, mencoba menenangkan Helen. "Aku tau, tapi aku yakin kita bisa melaluinya."

"Aku ... aku butuh waktu untuk berpikir, Rama," kata Helen, suaranya bergetar.

"Aku akan menunggumu, Helen," kata Rama, suaranya terdengar lirih.

Rama berdiri, melangkah mundur.  Ia menatap Helen sejenak, lalu berbalik dan melangkah pergi.

....

See you

Ombak Rindu dan Janji Terakhir (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang