Begitu sampai rumah, Anggara langsung bergegas mencari ponsel miliknya. Ia ingat baik-baik, dua hari lalu, saat terakhir menggunakan gawai tersebut adalah saat menerima pesan singkat dari Nirmala di depan kamar ibunya. Dan, benar, benda itu masih tergeletak di sana.
Dengan penuh rasa bersalah, diraihnya benda tersebut. Sayangnya, kondisi sudah dalam keadaan mati. Langsung saja ia mengecas gadget itu. Setelah menunggu beberapa menit dan daya terisi cukup untuk mengaktifkan kembali, segera ia memencet tombol on off.
Panggilan sebanyak 16 kali dan beberapa tumpukan chat yang sebagian besar dari Nirmala terpampang di sana. Pemuda yang semasa hidupnya hampir tak pernah marah itu langsung merasa lesu. Pikirannya langsung melayang pada keadaan kekasihnya. Jika saja dirinya lebih berani dan tegas untuk pulang ke rumah mengambil ponsel yang tertinggal, tentu hal mencemaskan tidak akan ia rasakan.
Sayang, sang ibu yang selama dua hari berada di rumah sakit itu selalu memintanya untuk berada di sisi. Bahkan, pada saat ia memberitahu bahwa gadgetnya tertinggal di rumah dan berniat untuk mengambil, sang ibu tetap memaksa untuk tinggal.
Setelah baterai dirasa cukup, segera dipanggilnya nomor yang sebanyak 16 kali itu menelpon. Sayang, tidak diangkat. Diulangi beberapa kali pun tidak ada jawaban. Padahal, Nirmala tidak pernah jauh dari ponsel dan selalu fast respond ketika ditelepon. Tiba-tiba, pikiran Anggara kacau. Ia sangat mencemaskan kekasihnya yang sering melakukan hal-hal ekstrem di saat stress.
"Hape terus yang dipantengin. Penting mana hape sama Ibu?" Baru saja jari-jarinya hendak mengetik pesan singkat, Bu Diana muncul dan langsung menunjukkan roman tak suka. Sambil tubuh bersender di pintu, wanita yang masih terlihat kurang bugar itu menyilangkan tangannya di dada.
Anggara tidak menyahut. Pemuda yang selalu dituntut untuk menomor satukan sang ibu itu sedang tidak ingin berdebat. Maka, ia pun meletakkan ponsel dan hendak melangkah ke luar.
"Ibu perhatikan, setelah kenal dengan perempuan itu, kamu banyak sekali berubah, Gara," ucap sang ibu yang merasa dicuekin.
Anggara sebenarnya tidak mau menanggapi, tapi sang ibu justru menyusul dan langsung menatapnya tajam, "benar, 'kan?"
"Bu, aku capek. Mau istirahat. Boleh, 'kan?" lirih Anggara dengan wajah lesu dan cemas.
Bu Diana tidak mau menyerah. Wanita yang masih tampak lemah setelah dua hari terbaring di rumah sakit itu berusaha mengeluarkan unek-unek, tapi suara seseorang mengurungkannya.
"Istirahat aja, Gara. Biar ibumu tante yang urus. Hampir dua hari kamu tidak istirahat. Nanti malah kamu nyusul sakit. Sana, gih!"
Kalimat Tante Ayu seperti oase. Seolah tidak mau melewatkan kesempatan, Anggara mencabut charger dan berpindah ruangan, membiarkan kedua wanita kakak-beradik itu saling pandang.
"Kamu datang untuk membela keponakanmu itu, Yu?" Sorot mata tajam Bu Diana menatap adik satu-satunya, protes.
"Memang kasihan, 'kan? Demi menunggu kamu di rumah sakit, Anggara hampir tidak bisa memejamkan mata."
Tante Ayu yang sudah sangat hafal watak dan karakter sang kakak sebenarnya malas untuk berdebat, tapi demi melihat sang keponakan yang belakangan terlihat mendung roman wajahnya, ia pun tak tega.
"Seumur hidup, sekali pun belum pernah melihat Anggara merokok. Aku tau dia tidak suka itu dan pernah cerita padaku. Katanya, hisapan kretek itu bikin batuk dan tak nyaman di tenggorokan. Tapi, kemarin, beberapa kali aku menyaksikannya. Bukankah itu suatu hal yang tak wajar, Mbak Yu?" ujar wanita yang berprofesi sebagai psikolog itu terlihat tenang tapi tegas.
Atas dasar cinta dan kasih, Tante Ayu yang sehari-hari mengurusi pasien-pasien yang sebagian besar masih dalam fase remaja dan dewasa itu merasa perlu untuk mencari solusi dari kemurungan sang keponakan beakangan ini. Ia tidak ingin keadaan pemuda yang tumbuh tanpa sosok seorang ayah itu bernasib tragis seperti beberapa pasien-pasiennya.
"Ah, dia merokok karena gabut saja. Sering kok dia begitu," sembur Bu Diana sembari melangkah pergi.
Melihat respon sang kakak yang tidak baik, Tante Ayu mengurungkan niatnya untuk membuka topik mengenai kedatangan pacar sang keponakan beberapa hari yang lalu. Ia paham betul dengan karakter sang kakak. Daripada kesehatannya memburuk, sebaiknya memang menunggu waktu yang tepat saja.
###
Flashback On
"Pergi, sana! Jangan pernah injakkan kaki di rumah ini. Pergi!!!" teriak seorang wanita dengan nada paling tinggi yang dipunyainya.
Saking kagetnya, suara beserta adegan itu masih membekas dan menghantui anak laki-laki yang usianya kini telah mendekati kepala tiga. Ia ingat betul memori yang tidak akan pernah bisa dilupakannya itu.
Sepulang sekolah, seorang bocah laki-laki gembul menyaksikan sang ibu melempar sebuah benda berbentuk persegi panjang. Meskipun benda tersebut terlihat cukup berat, tapi dengan segala kekuatan amarah membuatnya terlihat melayang enteng. Koper itu jatuh hampir mengenai tubuh seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya, sang ayah.
Laki-laki yang berdiri dengan raut muka merah padam itu menatap wanita yang seperti tengah kerasukan setan dari balik kaca mata hitamnya. Tatapan marah, kecewa dan penuh penyesalan melayang tepat sasaran. Namun, yang ditatap semakin beringas. Setelah dirasa puas mengeluarkan unek-unek, wanita yang rambutnya telah acak-acakan itu menutup pintu dengan sangat keras.
Saking kerasnya, bocah SD itu seperti mendengar suara bom yang tengah meledakkan jiwa dan membuat trauma. Ia terpaku menyaksikan adegan tersebut dan tak terasa gemetar sekujur tubuh. Menyaksikan kedua orang tua bertengkar sudah terlampau sering, tapi kali ini benar-benar membuatnya nyaris jantungan. Bulir air mata dengan cepat keluar dari celah kedua mata dan membanjiri baby face-nya.
Setelah menyaksikan pintu ditutup begitu keras, pria kusut itu hendak membalikkan badan dan berjalan. Namun, ketika melihat sosok bocah kecil penuh dengan air mata menatapnya penuh rasa, ia mengurungkan diri untuk melangkah. Ditatapnya bocah itu beberapa detik dengan tatapan tak karuan, antara sedih, malu dan putus asa.
"Ingat, jangan pernah injakkan kaki di sini lagi. Lenyap dari bumi ini kalau bisa. Dasar buaya!" Bu Diana membuka pintu kembali, lalu menutupnya dengan keras sekali lagi. Tak dihiraukannya putra semata wayang yang menyaksikan adegan itu dengan hati teriris-iris.
"Ayah..." Suara bocah itu lirih memanggil. Ia seperti telah kehilangan tenaga, bukan karena berjalan kaki sepulang sekolah, tapi karena pikirannya yang kacau balau. Meskipun dia masih berumur sepuluh tahun, tapi begitu sering menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar, membuat dunianya hancur.
"Jangan pergi ayah," mohonnya penuh harap. Tangan kanannya meraih koper yang digeret sang ayah ketika pria bertubuh kurus itu melintasinya tanpa kata.
Penasaran sama kelanjutannya?
Lanjut yuk, ke KBM atau Good Novel dengan judul yang sama 'Nikahi Aku atau Aku Mati' penulis Graviolla Coding.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nikahi Aku atau Aku Mati
RomanceBerniat menghalalkan hubungan asmara yang telah terjalin lima tahun lebih aja dramanya luar biasa, dari mulai sang calon mertua yang tidak sudi memberi restu, sang bapak yang sepihak menjodohkan, hingga sang sahabat yang juga bikin resah. Ternyata...