Runtuhnya Dunia Nirmala

2 0 0
                                    



"Siapa yang telpon, Gara?"

Tiba-tiba saja Bu Diana muncul mengagetkan Anggara yang langsung menoleh ke belakang. Ibunya sudah berdiri dengan wajah penuh curiga.

"Nomor baru? Siapa?" tanyanya lagi. Kali ini sambil mencondongkan wajah judesnya ke layar ponsel sambil membenarkan posisi kaca mata yang agak merosot.

Biasanya, Bu Diana cuek dengan perkara siapa yang menghubungi putranya. Tapi, setelah kedatangan Pak Harsono, ia berjanji pada diri sendiri untuk memastikan bahwa putranya tidak menyembunyikan gadis yang sedang dicari bapaknya itu.

Setelah mondar mandir mengintai aktivitas sang putra, akhirnya rasa penasaran bergejolak manakala mendengar ringtone berdering beberapa kali tanpa sahutan.

"Itu bunyi lagi. Siapa, sih? Berisik sekali. Sini biar Ibu yang angkat."

Bu Diana hampir merebut ponsel yang masih tergeletak di meja, tapi kedahuluan putranya.

"Biar Gara aja yang ngangkat, Bu," ujar Anggara sembari melangkah hendak ke luar kamar.

"Mau ke mana? Sini aja, kenapa? Atau jangan-jangan itu telpon anak dari lelaki arogan itu, ya?" Mata Bu Diana mendadak melotot.

"Sini, biar Ibu aja yang ngomong." Wanita yang sudah dirasuki rasa benci itu merebut ponsel, hingga hendak jatuh. Namun, dengan gesit, Anggara mampu mencegahnya.

"Biar aku aja, Bu."

"Tuh, kan! Kalau ada hubungan sama gadis itu, kamu pasti berani melawan Ibu. Sepenting itukah gadis nggak jelas dibanding ibumu yang melahirkan dan membesarkanmu dengan susah payah ini, hah?"

"Bukan gitu, Bu. Baiklah, aku akan angkat telpon di sini," ujar Anggara putus asa.

"Ha...lo." Dengan berat hati dipencetnya tombol hijau. Ia benar-benar tidak nyaman berada dalam pengawasan sang ibu, ibarat seperti sedang ditodong senjata.

"Kenapa baru diangkat, sih? Kamu seneng kalau aku mati apa?" Suara Nirmala yang langsung nyolot begitu teleponnya diangkat, membuat Anggara kaget dan menjauhkan ponsel dari telinganya. Sontak, pemuda itu melirik ke arah sang ibu yang langsung mengernyitkan dahi sambil mendelik.

"Aku tahu kamu pasti terpukul setelah kejadian lamaran kita kemarin. Aku juga sedih bukan main. Stres nggak karuan. Pokoknya, secepat mungkin kita harus ketemu. Sesuai rencana, nanti kita akan menikah di tempat kerabatku. Kamu mau, 'kan?"

Setelah mengucapkan kalimat panjang tersebut, Nirmala terdiam sebentar demi ingin mendengar respon dan jawaban dari orang yang paling diharapkan saat ini. Tapi, nyatanya tak ada suara sama sekali.

"Bee, kamu masih di situ, 'kan? Kamu dengerin aku ngomong, 'kan?" tanya Nirmala lagi. Kali ini dengan suara lebih rendah.

"Ya, " jawab Anggara singkat. Sebenarnya, ia ingin menanyakan tentang keberadaan sang pacar saat ini, tapi melihat tatapan Bu Diana yang bagai siap menerkam, membuat pemuda itu memilih untuk diam.

"Kenapa diam saja? Jawab dong pertanayaanku. Kamu mau 'kan pergi sama aku? Aku nggak bisa di sini lagi. Bisa mati karena stres berat. Cuma kamu yang aku harapkan. Bukankah kamu janji mau menyelamatkan dan membahagiakanku? Kamu ingat janji kamu, 'kan?"

"Maaf, aku tidak bisa," ujar Anggara sambil menahan sesak di dada. Jujur, ia berat mengucapkan kalimat tersebut. Tapi, setelah memikirkan dan mempertimbangkan banyak hal, dia merasa tidak mampu untuk melanjutkan perjuangan keduanya untuk segera menikah.

"Maksudmu?" Bagai disambar petir, Nirmala langsung melepaskan bendungan air matanya. Hatinya berusaha untuk mengatakan bahwa telinganya telah salah dengar.

"Mungkin sebaiknya kamu pulang dan menikah dengan pria mapan pilihan orang tuamu." Demi mengucapkan kalimat tersebut, ada tetes air mata yang berusaha ia tahan, tapi gagal.

"Bee?" Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Nirmala yang mendadak kelu. Dadanya terasa sesak tiada bisa ditahan.

"Kamu nggak denger apa yang anakku katakan? Pulang dan berbaktilah sama orang tua dan jangan pernah hubungi ke sini lagi!" Saking geregetannya melihat sang putra meneteskan air mata hanya demi seorang gadis yang tidak disukainya, dengan cepat Bu Diana merebut ponsel dan langsung melampiaskan kekesalan.

Mendengar suara Bu Diana yang keras dan kasar, Nirmala langsung menjauhkan ponsel dari telinga. Setelah panggilan telepon diputus paksa oleh orang di seberang sana, wanita muda yang hatinya sudah hancur berkeping-keping itu mendadak terbengong. Seluruh sel yang ada di tubuhnya seolah telah mati. Namun, beberapa menit kemudian, dengan penuh kekuatan, ia berteriak sekuat tenaga.

"Nikahi aku atau aku mati!" Tangannya yang mendadak mengalami carpopedal spasm berusaha keras untuk mengetik kalimat tersebut.


Bersambung...

Penasaran sama kelanjutannya?

Lanjut yuk, ke KBM atau Good Novel

Sudah tamat

Judul: Nikahi Aku atau Aku Mati

Penulis: Graviolla Coding.

Nikahi Aku atau Aku MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang