Terima kasih telah menjadi bagian penting dalam hidupku, dan telah mengajariku arti cinta sejati. Senyum dan tawamu akan selalu kukenang.
———
13 Juni 2024
Pusara-pusara berjejer rapi dengan papan nama tertancap di atasnya, isak tangis seseorang di samping salah satu kuburan terdengar pilu dan mengiris hati.
"Liev apa kabar? Aku kangen banget sama kamu. Sekarang kamu lagi apa? Semoga kamu bahagia. Jangan ngebut-ngebutan lagi di sana, ya."
Air mata membasahi wajah, sesak yang ia rasakan seolah-olah tersalurkan kepada siapapun yang mendengar. Baju putihnya tidak ia pedulikan walau terkena noda tanah.
Bunga warna warni ia taburkan di atas makam, sesekali mencabuti rumput yang tumbuh makin memanjang di atas gundukan tanah.
Awan tertutupi langit kelabu, mendadak gerimis membasuh permukaan bumi dan menghadirkan aroma petrichor. Aliran udara menggesekkan dedaunan, suasana sepi menjadi ramai bertemankan alam.
Hujan kian melebat, angin ribut datang menerbangkan helaian rambut, tetapi ia tak kunjung berdiri dan pergi. Pakaian dan sekujur tubuhnya basah kuyup, termasuk buket bunga yang tadi ia bawa.
"Hahaha, ini pertanda kalau kamu juga kangen kan sama aku?"
Wajahnya menengadah ke langit, menikmati setiap tetesan dengan rindu yang mendalam. Senyum manis terpatri di bibirnya, merasakan pelukan hangat di belakang dan sebuah payung yang melindunginya dari hujan.
"Ayo, pulang, Bun. Ujannya makin deres, nanti kamu sakit. Anak-anak nungguin kita di rumah." Seorang pria bertubuh kekar masih memeluk pinggang Dinan dengan erat.
Satu di antara jutaan lelaki yang rela pasangannya pergi mengunjungi makam laki-laki lain.
"Sebentar, ya, Sayang?" Dinan memohon disertai tatapan sedih."ini terakhir kalinya aku ke sini," lanjutnya sembari meminta ayah dari anak-anaknya untuk menunggu di mobil.
"Maaf, ya, Liev. Ini bakal jadi hari terakhir aku jengukin kamu, makasih karena udah nyambut aku dengan hujan ini."
Kepalanya tertunduk, merapalkan doa-doa untuk lelaki yang menjadikan masa akhir SMA-nya lebih indah dan berwarna—yang sudah kembali ke pangkuan Tuhan beberapa tahun lalu.
Menjadikannya masa terberat yang harus ia jalani setelah kelulusan. Mengurung dan menyalahkan diri sendiri, menjauhi kehidupan sosial serta hiruk-pikuknya.
Beberapa tahun menjalani kehidupan perkuliahan tanpa gairah hingga akhirnya datang seorang pria yang mencintainya dengan tulus dan siap membantunya untuk sembuh. Menerima segala kepribadiannya yang berubah setelah tragedi enam tahun silam.
Andai malam itu gue tetep di kabin dan nggak nekat untuk pulang, mungkin Liev masih hidup dan ada di sisi gue. Andai malam itu gue lari dan menggeser posisi Liev, pasti dia bakal selalu jadi pelindung gue. Andai gue bukan anak strict parents, dan andai gue lebih mikirin keselamatan kami daripada ancaman Papa.
Rasa bersalah terus-menerus hinggap dalam dada, andaikan ia bisa bertukar posisi dengan Liev, ia tidak akan keberatan untuk melakukannya.
Sisi lain diri Dinan remuk, batinnya tersiksa tanpa seorang pun yang tahu betapa hancur jiwanya setelah sesaat membuka mata justru mendapati kabar bahwa kekasihnya telah menyatu dengan tanah.
Wanita berusia 24 tahun itu bangkit dari duduk, rasanya enggan untuk pergi meninggalkan rumah terakhir sosok yang pernah membuatnya merasa dicintai tanpa pamrih, disayangi tanpa gengsi, dan diperlakukan layaknya seorang ratu.
Dengan langkah gontai ia berjalan meninggalkan pemakaman menuju parkiran, hujan deras menyertai setiap jejak kakinya.
Sakit, Liev. Enam tahun berlalu bahkan belum bisa bikin aku ngelupain kamu, dan bahagia seutuhnya dengan hidup yang aku jalanin sekarang. Rasanya aku berkhianat ketika pria lain mempersuntingku, sedangkan kamu sendirian di sana.
Seandainya malam itu kamu nggak nganterin aku, pasti kamu yang bakal jadi suamiku kan? Walau cuman beberapa bulan bersama kamu, setiap hal yang kita lakuin rasanya istimewa dan spesial. Kamu nepatin janji untuk mencintaiku dengan tulus, sekarang aku akan berjanji ke kamu untuk memulai hidup yang lebih bermakna untuk orang-orang sekitarku.
Tak terasa wanita beranak dua itu sudah sampai di samping mobil sang suami. Ketika telapak tangannya hendak menarik engsel pintu penumpang, tetapi tiba-tiba seseorang dengan sepenuh tenaga menarik dan melayangkan sebuah tamparan ke pipinya hingga ia sedikit terhuyung.
"Udah berapa kali Papa bilang jangan pernah di sini lagi!" Suami Erina berdiri dengan wajah murka, menyalang menatap manik sang putri.
"Udah, Pa." Menantunya melerai, tetapi tak membuat Elvan kehilangan amarahnya.
"Untuk apa Papa ngurusin hidup aku?" tanya Dinan tanpa ekspresi. "Papa adalah penyebab aku begini, Papa yang bikin Liev meninggal, Papa yang bikin aku berada dalam keterpurukan. Lalu dengan seenaknya Papa ngelarang aku untuk ziarah ke makam dia. Mau Papa apa?" Tidak ada lagi rasa hormat yang dulu pernah ia tunjukkan pada sosok pria berkepala tujuh di hadapannya.
"Lancang!" bentak Elvan emosi. Tangannya melayang di udara hendak kembali menampar putri sulungnya, tetapi terhenti ketika suami Dinan berdiri menghalangi.
"Maaf, Pa. Bukannya saya kurang ajar, tapi tolong biarkan Dinan sembuh dan bisa menerima semua masa lalunya." Ia berbalik dan menatap sang istri penuh makna. "Saya sebagai suaminya tidak keberatan dengan apa yang dia lakukan selama tidak menyakiti dirinya, dia lebih penting dari segala perspektif yang Papa pikirkan. Saya mohon, biarkan saya yang menentukan baik dan buruknya sesuatu untuk dia."
Elvan diam tidak berkutik, kedua telapak tangannya terkepal kuat. Ingin menyangkal, tetapi apa yang menantunya ucapkan memang benar. Ia sudah tidak memiliki hak atas wanita berpenampilan kacau di depannya.
"Bawa dia pulang, biarkan dia merenungi perbuatannya." Setelah mengatakan kalimat tersebut, Elvan berlalu begitu saja tanpa mengucapkan kata maaf untuk apa yang telah dilakukannya.
Dinan terduduk lemas, tangisnya pecah saat itu juga. Pria berpakaian kasual memeluk erat sembari mengusap kepalanya, mengizinkan Dinan menumpahkan segalanya dalam dekapan.
"Kamu adalah ibu dan pasangan terbaik untukku, Sayang. Jangan pikirkan hal buruk yang orang lain ucapkan karena kamu akan selalu menjadi satu-satunya dan tetap menjadi sesuatu yang lebih berharga dari nyawaku."
"Jangan ngomong kayak gitu, Sayang. Itu yang Liev bilang terakhir kali, sebelum Tuhan bener-bener ngambil nyawa dia. Aku nggak siap kalau harus kehilangan kamu juga." Dinan membalas pelukan sang suami dan tangisannya makin menjadi-jadi.
Terima kasih, Tuhan. Engkau kirimkan pria sebaik ini menjadi pasangan hidup hamba. Engkau anugerahkan dua malaikat hidup, dan tetap memberikan kebahagiaan melimpah meskipun hamba terus merutuki takdir yang telah ditetapkan. Tolong berikan Liev tempat terbaik di sisiMu, Tuhan.
"Ayo, kita pulang. Kasihan anak-anak di rumah cuman sama neneknya." Pria itu membantu Dinan berdiri dan menuntunnya masuk mobil.
Aku mau kita sehidup semati, Sayang. Tolong selalu berada di sisiku, menjadi ayah dan suami yang selalu kami rindukan ketika sedang berada di luar rumah.
Ending (◍•ᴗ•◍)
Thank you for reading, comment, and like this story. It's mean a lot for me and my dream to be a great writer (I hope so). Please always be with me by pressing the follow button. ❤🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Kala Cinta Memperdaya (Done)
Teen FictionDinan cantik, tapi bodoh ketika jatuh cinta. Dinan perempuan, tapi rela merendahkan diri demi cinta. Dinan anak pertama, tapi rela mengalah demi sang kekasih. Saka adalah hidup dan dunianya. "Lo tuh kenapa sih bego banget jadi cewek? Saka itu cuman...