Nine

31 4 3
                                    

Antara persahabatan dan cinta, tidak ada yang bisa kupilih. Mereka sama pentingnya dalam hidupku.– Dinan

———


       Dinan berjalan riang sesekali melompat kecil menyusuri koridor dengan senyum cantik terpatri di bibir, wajahnya secerah mentari di pagi hari, kuciran baru nampak menggantung anggun di atas kepala perempuan tersebut.

Sampai di kelas ia langsung mencari keberadaan sang sahabat, matanya perlahan mengitari ruangan persegi berwarna putih itu hingga netranya melihat seorang siswi dengan rambut putih paling mencolok.

Dinan menahan tawa sambil mendekati Salma yang sedang asyik mengobrol dengan teman sekelas lain ketika ia mengagetkan sembari menepuk kedua pundak sahabatnya dengan kencang. Saking terkejutnya, Salma sampai menjatuhkan ponselnya.

"Dinan sialan, syukur gue nggak mati!" gerutu teman sebangku Dinan sambil mengelus dada. Ia sedikit membungkuk mengambil ponselnya yang terjatuh di dekat kaki meja

"Gue pikir lo bakal ngitemin rambut. Nggak takut kena sidak lo?" Dinan mengabaikan umpatan kaum hawa berwajah bulat di sampingnya dan fokus pada rambut Salma.

"Rambut gue mulai rusak pas di bleaching malam minggu kemaren karena kalah main Pak Polisi bareng Ka Nuha ama temen-temennya. Kalau ganti warna lagi, nggak kebayang separah apa kerusakan rambut gue." Salma menghembuskan napas, mengingat kekalahannya kemarin masih membuatnya kesal sampai sekarang.

Teman kakaknya itu bagai psikopat, tidak ada ampun bagi siapapun yang kalah dalam permainan mereka. Harusnya dari awal Salma sadar, tetapi karena gabut dia malah memilih ikut bermain.

"Yang kalah pertama kali selama tiga kali berturut-turut, bakal bleaching rambutnya pake warna putih."

"Lo beneran mau ikut, Sal?" tanya Devi memastikan, senyum licik tercetak jelas di bibirnya.

"Beneran, Ka. Gue gabut."

"Oke. Nggak ada alasan apapun, siapapun  yang kalah harus menjalani hukuman sesuai kesepakatan."

Dua puluh menit berlalu, Salma tertunduk lesu. Ia merutuki kecerobohannya yang ikut masuk dalam permainan menyesatkan mereka, tetapi nasi sudah menjadi bubur, dia tetap harus melakukan hal yang mereka sepakati dari awal.

"Hahaha, mampus lo! Lagian ngapain ikutan main, lo kan tau kalau main sama Devi tuh pasti hukumannya nggak bener." Kakaknya meledek dengan tawa terbahak-bahak.

"Nih, pake sana." Devi menyerahkan sekotak pewarna rambut berbahan kimia yang sudah beredar di pasaran.

"Lo nggak takut kena amuk Bu Ros? Warnanya nggak bisa ketolong banget," ringis Dinan sambil memegang helaian surai sahabatnya yang menjadi kasar.

"Gue mending diamuk daripada harus nanggung kerusakan rambut, bakal gue biarin warnanya luntur sendiri daripada ganti warna item," putus perempuan berambut putih yakin.

"Serah lo, deh. Semoga jasmani dan rohani lo selamat, ya." Dinan menepuk pundak Salma menyemangati.

Waktu menunjukkan pukul 09:35 WIB saat bel berbunyi nyaring memberitahu seluruh pelajar dan pengajar bahwa jam istirahat pertama telah tiba. Para guru mengakhiri materi dan pamit undur diri.

Dinan membeo di tempat ketika Liev mendadak memberinya undangan ulang tahun adiknya, mereka pernah bertemu sekilas saat di mal beberapa hari lalu.

"Kok, adek lo ngundang gue?" Dinan masih terheran-heran dengan kertas di tangannya.

"Biar ikut ngeramein katanya," alibi Liev seolah meyakinkan bahwa undangan itu benar-benar dari sang adik.

"Oke deh, nanti gue kabarin lagi ya." Ia memasukkan selebaran itu ke tas.

"By the way, emangnya adek lo sekolah di mana, Liev?" tanya Salma ikut menimbrung.

"Di SMA Nusa Bangsa pertigaan jalan sana," jawab Liev sembari menunjuk arah selatan.

"Ah! Tempat sekolahnya Aluna ya?"

"Aluna siapa?" Lelaki itu kebingungan. Alisnya hampir menyatu saat memikirkan perempuan tidak ia kenali yang Salma sebutkan.

"Sahabatnya Saka, salah satu cewek yang bisa bikin Saka pergi ninggalin pacarnya sendirian di mal," sindir kaum hawa bermulut pedas tersebut.

Dinan buru-buru menariknya menuju kantin, sebelum sahabatnya menceritakan hal-hal yang tidak seharusnya Liev ketahui. Mulut manusia memang tidak dapat dikontrol, tetapi mulut Salma bablas terlalu jauh.

Sepanjang jalan menyusuri koridor dan menuruni tangga, Dinan tidak sedetik pun melepaskan pegangannya meski sang sahabat berteriak minta dilepaskan.

"Kenapa sih, Nan?" Salma menyentak kuat hingga tautan mereka terlepas. "kenapa lo harus sampe semarah ini?" Ada tatapan kesal di mata Salma.

"Lo kan tau kalau Saka tuh nggak suka sama Liev! Gue nggak mau kejadian beberapa minggu lalu terulang lagi di hubungan gua dan Saka karena lo cerita yang sebenernya nggak perlu Liev tau!" Amarah anaknya Om Elvan memuncak, setiap kalimatnya terdapat penuh tekanan.

"Gue nggak mau fokusnya Saka terganggu karena kedekatan gue dan Liev walaupun cuman sebagai teman, emosi Saka bisa kepancing gara-gara gosip nggak jelas yang orang omongin karena ngeliat gue ngobrol sama Liev."

"Harusnya lo bisa jelasin baik-baik ke gue! Nggak perlu narik-narik segala! Kalau emang candaan gue keterlaluan, ngomong!" ketus adiknya Nuha, ia bergegas meninggalkan perempuan bucin yang sangat tolol menurutnya.

Dinan menatap sendu remaja yang selalu bersamanya sejak menginjakkan kaki di tingkat SMA, Dinan juga terkejut dengan reaksinya yang berlebihan.

Harusnya gue nggak bentak dan narik dia kayak gitu. Tapi, gue capek ngadepin Saka yang selalu percaya dengan gosip yang dikasih mata-matanya. Gimana kalau obrolan tadi di denger mereka?

"Huh! Lo goblok banget, Dinan!" rutuknya marah dengan diri sendiri, kedua lengannya memukul-mukul kepala.

"Kamu kenapa, Sayang?"

Tiba-tiba Saka datang dan berusaha menghentikan aksi sang kekasih, ia langsung memeluknya erat begitu Dinan tatapan mereka bertemu.

Air mata tertahan di pelupuk mata, tetapi mulut mengeluarkan suara. "Aku bego, Saka. Aku bodoh. Harusnya aku nggak memperlakukan Salma kayak gitu, seharusnya aku ngomong baik-baik ke dia."

Entah apa yang sebenarnya terjadi di antara keduanya, yang Saka pedulikan hanyalah menenangkan pacarnya, ia mengusap punggung Dinan naik turun.

"Kalau kamu marah berarti dia udah keterlaluan, Sayang. Daripada sakit hati karena dia, mending nggak usah deket sama dia lagi, kamu sama aku aja. Soalnya dia tuh ..." Saka menghentikan ucapannya, ragu untuk melanjutkan.

"Dia kenapa, Sayang?" tanya Dinan dengan suara bergetar.

"Dia tuh selalu ikut campur hubungan kita, aku nggak suka. Selama ini aku tahan karena kalian deket, tapi kalau dia udah bikin kamu kayak gini berarti nggak usah berteman sama dia lagi. Kamu punya aku, aku punya kamu."

Kalimat yang selama ini Saka tahan, lolos begitu saja dari mulutnya saat ada kesempatan. Apabila dalam situasi normal, pacarnya itu tidak akan membiarkan Saka mencela atau menjelekkan Salma.

"Pacarnya aku yang baik ini jadi kena pengaruh buruk kalau berteman sama cewek bar-bar." Dinan hanya diam seribu bahasa.

"Hai, Saka," sapa seorang gadis memakai hoodie menyapanya halus.

To be continue
♡´・ᴗ・'♡

Terima kasih untuk yang sudah baca, komen ataupun menyukai cerita ini. Semoga hidup kita berkah dan banyak bahagianya.

Kala Cinta Memperdaya (Done) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang