Thirteen

18 3 9
                                    

Cinta yang tulus tidak akan pernah mengekang karena sejatinya mereka saling memegang kepercayaan.

———

         Dinan berpikir sejenak, sudah tidak ada lagi yang akan menghalanginya untuk berteman dengan siapapun dan sepertinya malam ini tidak ada kegiatan yang akan ia lakukan.

"Kayaknya bisa, sih. Nanti sharelock aja, ya."

Liev mengangguk senang, bibirnya melengkung lebar. "Nanti gue jemput aja, mau nggak?" Lelaki itu berharap dalam hati.

"Emangnya nggak ngerepotin? Kan adek lo ulang tahun, masa lo sebagai keluarga yang punya acara malah jemput gue," tutur gadis itu tidak enak.

"Nggak, kok. Nanti malem gue jemput, ya," ucap Liev bersemangat.

"Oke, deh. Nanti kabarin aja kalau mau jalan ke rumah gue," kata Dinan menyetujui ide tersebut.

Yes!

Jam istirahat pertama selama lima belas menit hanya mereka habiskan untuk mengobrol di kelas, Liev bercerita tentang kehidupannya di LA bersama sang adik karena orang tuanya sibuk bekerja.

Kedua siswi menyimak antusias, mendengarkan setiap kalimatnya dengan seksama. Sesekali tertawa saat Liev memperagakan wajah konyolnya.

Dinan tertawa lepas sampai-sampai giginya terasa kering, hatinya terbalut sebuah kehangatan yang sebelumnya tidak pernah dirasa. Tatapannya pada Liev bukan lagi sebuah kekhawatiran yang harus dihindari, gue bebas ngelakuin apapun yang gue mau.

"Ngomong-ngomong, gue boleh ngajak Salma nggak?" tanya Dinan memecah topik mereka.

Salma menyadari niat lelaki di depannya dan ia tidak ingin merusak rencana tersebut. "Eh, gue mau malem Mingguan sama abang sepupu. Lo sama Liev aja, ya," ucapnya disertai sebuah kerlingan jail.

Obrolan mereka bertiga terhenti tatkala Bu May memasuki kelas, pelajaran favorit Jerome Polin berisi soal dan materi yang cukup membuat kepala seperti terentup tawon. Bengkak.

Ruangan berisi dua puluh murid terasa hening dan tentram, tidak ada yang berani bersuara atau ia akan diminta menggantikan tugas Bu May menjelaskan tulisan di papan tulis.

Dikenal dengan citranya yang tegas, disegani because always to the point. Namun, Bu May adalah sosok guru yang baik dan lembut di luar jam mengajar.

Meskipun demikian, tidak lantas membuat Matematika menjadi cepat masuk ke otak setiap murid, sebab masih banyak di antara mereka yang masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Salah satunya Salma yang merutuki setiap angka-angka menyebalkan yang terus berputar di depan matanya.

"Besok bertemu lagi dengan Ibu di jam terakhir, kalian harus sudah menyelesaikan tugasnya."

Bu May keluar setelah mengucapkan salam bersama hentakan sepatunya yang makin menjauh, serentak penghuni kelas 3 IPA 1 bernapas lega dan merenggangkan otot yang terasa kaku.

Menit demi menit berlalu begitu cepat seolah jarum jam bergerak gesit menuju angka tiga, tanda pulang telah berbunyi memekakkan telinga setiap insan, para pelajar berbondong-bondong meninggalkan ruang belajar.

Matahari masih menyemburkan sinar terik ketika Dinan melangkah bersisian dengan sahabatnya menuju parkiran motor, Salma mengenakan helm hitam miliknya sambil melihat Dinan dan berkata, "Gue nggak tau kalau lo mau pulang bareng, jadi nggak bawa helm lagi."

Usai mengatakan kalimat tersebut, tiba-tiba sebuah pelindung kepala muncul di hadapan anak sulung Erina. "Nih," ucap Liev menyodorkan benda bulat itu, tetapi langsung memakaikannya karena Dinan hanya membeo terkejut.

Kala Cinta Memperdaya (Done) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang