Eleven

22 4 7
                                    

Cinta selalu memainkan para penikmatnya.

———

          Tiga hari setelah mendapati fakta menyakitkan tentang kehamilan Aluna, Dinan mengurung diri di kamar dan meminta Erina mengizinkannya untuk tidak sekolah.

Dinan nggak bakal bolos kalau masalahnya nggak serius, apalagi ini udah masuk tahun kelulusan.

Mamanya tidak bertanya banyak, wanita itu dapat merasakan kesedihan yang dialami putrinya saat melihat Dinan pulang dengan penampilan kacau. Ketika bertanya pada Liev, lelaki itu menjawab, "Maaf, Tante. Liev kurang tau detail masalahnya, mungkin kalau Dinan udah membaik bisa Tante tanya langsung ke dia"

Lelaki itu pergi setelah memastikan Dinan masuk walau dengan kepala tertunduk, Erina mengucapkan terima kasih dan mempersilahkan remaja itu masuk tetapi Liev menolaknya dengan sopan dan pamit meninggalkan pekarangan rumah keluarga Elvan Raffasya Valerian.

Setiap ditanya soal kondisinya, Dinan selalu menjawab bahwa dirinya perlu waktu untuk mencerna, menerima dan percaya akan membaik seiring berjalannya waktu.

Ketukan di pintu mengusik indra pendengaran ibu beranak dua yang sedang menonton YouTube menggunakan televisi di ruang tengah, ia menghentikan video dan berjalan membuka daun pintu setinggi dua meter tersebut.

"Selamat sore, Tante," sapa seorang gadis berambut pendek membawa beberapa paperbag.

"Sore, Salma," jawab Erina disertai senyuman anggun.

"Ini buat Tante." Ia menyerahkan salah satu barang bawaannya dan berkata, "semoga Tante suka, ya."

"Tante selalu suka semua pemberian kamu, kok," sahut Erina menggoda. "langsung ke atas aja, ya. Dinan udah beberapa hari ngurung diri terus, Tante bingung," ujar wanita cantik itu.

"Makasih, Tante."

Salma menaiki undakan tangga satu persatu, pikirannya terus menerka bagaimana reaksi Dinan ketika melihatnya. Setelah dipikir-pikir dengan kepala dingin, Salma sadar kalau mereka berdua sama-sama salah.

Dinan terlalu berlebihan dan Salma menanggapinya dengan serius, gue nggak mau karena masalah kemaren persahabatan kami jadi renggang, maafin gue baru dateng sekarang setelah Liev ngejelasin gimana kondisi lu.

Tangannya memegang gagang pintu dan menariknya ke bawah hingga menimbulkan bunyi, lalu ia mendorong dan kembali menutupnya.

Sahabatnya sedang duduk di ranjang dengan kepala tertunduk sambil duduk memeluk lutut, foto-foto polaroid berserakan di sekitarnya. Dinan yang selalu cantik dan rapi, kini terlihat kacau balau.

Ia tidak menggubris kedatangan Salma, mata bengkaknya hanya tertuju pada foto yang ada di depan kakinya.

"Nan," panggil gadis berwajah bulat itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nan," panggil gadis berwajah bulat itu. Ia meletakkan buah tangan di nakas, lalu memposisikan diri di sebelah sang sahabat.

"Maafin gue, ya." Salma memeluk dari samping, tanpa sadar tangisnya pecah begitu sadar sesakit apa Dinan selama tiga hari sendirian berusaha menerima semuanya.

Tiba-tiba Dinan memeluknya balik dan berkata, "Harusnya dari awal gue sadar kalau gue bukan saingan buat Aluna, dari awal gue udah kalah. Posisi Aluna selalu di atas gue dan akan terus begitu. Tapi gue bego karena milih untuk bertahan karena mikir mereka nggak satu sekolah dan Saka akan terus sama gue."

Suaranya terdengar parau, setiap kalimat bagai silet yang terus mengikis pertahanannya.

"Sakit, Sal." Dinan menekan-nekan dadanya seolah menjelaskan sesak yang dirasa.

Tidak ada yang bisa Salma lakukan selain mengusap punggung berharap memberikan sedikit ketenangan kepada kakaknya Dani.

"Apa yang gue kasih selama ini kurang, ya, Sal?" Dinan bertanya seperti anak kecil yang menatapnya polos.

"Lo udah terlalu banyak ngasih ini itu, Nan. Cowok itu terlalu bajingan untuk cinta tulus yang lo kasih," desis perempuan berambut putih. "masih ada cowok baik lainnya di luaran sana, jangan jadi kayak gini cuman gara-gara dia, Nan," bisik Salma.

Ia mempererat pelukan mereka, mencium puncak kepala sahabat yang selama ini mengisi kisah masa SMA nya. Dinan adalah kenalan terbaik dan tertulus yang pernah Salma kenal, gadis itu selalu mendahulukan kepentingan dan kebahagiaan orang lain meskipun ia terluka.

Tidak sekali dua kali Salma memperingati Dinan tentang sifat buruk Saka, tetapi orang yang sedang jatuh cinta tidak akan pernah mendengar pendapat buruk orang lain tentang pasangannya.

Di satu sisi Salma bersyukur karena insiden ini terjadi, tetapi di satu sisi hatinya sakit melihat Dinan tidak berdaya dan ceria seperti biasanya.

"Sayang, di depan ada Saka," ucap Erina dari balik pintu.

"Biarin aja, Tante. Nggak usah dibukain pintunya, biar tau rasa!" sungut adiknya Nuha.

"Dia udah daritadi nunggu, nggak pergi-pergi loh," imbuh istrinya Elvan.

"Sebenarnya ada apa, sih? Kok, beberapa kali Saka ke sini Dinan nggak mau nemuin dia."

Salma mulai mengerti jika ibu dari sahabatnya itu sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya, ia pun turun dari ranjang dan menghampiri wanita cantik tersebut sambil menutup pintu.

Mereka menuruni anak tangga hati-hati sembari Salma menceritakan hal apa yang terjadi pada hubungan asmara putri sulung wanita di sebelahnya.

"Tante nggak nyangka kalau Saka se-keterlaluan itu, selama ini Tante selalu nganggep dia seperti anak sendiri," tutur Erina pilu. Ia lunglai terduduk di sofa, kesedihan memenuhi batin, rasa bersalah menghiasi bayangan beberapa hari ini putrinya seorang diri memikirkan pengkhianatan Saka tanpa ada siapapun di sisinya.

Maafin Mama, Dinan. Mama nganggep kamu sudah dewasa dan bisa menghadapi masalahmu sendirian. Mama adalah Mama terbodoh yang nggak pantes jadi orang tua kamu.

Setelah beberapa saat menenangkan emosinya, Erina membukakan pintu dan menatap remaja lelaki yang masih berdiri di depan rumahnya.

"Mending kamu pulang aja, Saka. Anak saya sedang tidak ingin diganggu," ucap Erina dingin tidak ada sambutan hangat yang biasa ia berikan setiap melihat Saka. "jangan dateng lagi ke sini, urusi saja urusan yang perlu kamu selesaikan."

"Tante aku harus ngomong sama Din ...,"

Wanita itu berbalik tanpa mau mendengarkan penjelasan apapun dan rasanya kurang pantas kalau ia ikut campur  hubungan sang putri dengan menampar ataupun memukul remaja berseragam sekolah di depannya.

"Saya tidak terima dengan hal yang kamu lakukan kepada Dinan, tetapi saya tidak punya kuasa untuk menghukum kamu. Dia akan bicara setelah keadaannya membaik." Kalimat terakhir Erina sebelum benar-benar menutup pintu.

Saka bertekuk lutut pasrah, enggan melepaskan perempuan yang selama ini selalu setia dan mencintainya dengan tulus. Membayangkan kehidupannya tanpa seorang Dinan membuatnya frustrasi. Kalau gue nggak bisa pertahanin Dinan, maka nggak ada seorang pun yang gue izinin jadi pacarnya.

Kedua telapaknya terkepal kencang di atas lutut, menatap tajam ke arah salah satu ruangan di lantai dua yang ia hapal merupakan kamar kekasihnya.

Tunggu aja, gue akan berusaha bikin lo jatuh cinta lagi bahkan lebih dalam dari sebelumnya. Nggak boleh ada yang lain selain gue. Cuman gue.

To be continue
♡´・ᴗ・'♡

Terima kasih untuk yang sudah baca, komen ataupun menyukai cerita ini. Semoga hidup kita berkah dan banyak bahagianya.





Kala Cinta Memperdaya (Done) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang