Two

58 8 11
                                    

"Dia akan selalu baik di mata gua, apapun pendapat orang lain, gua nggak peduli." - Dinan

———

Dinan telungkup dan pipinya bertemu dengan lantai yang dingin. Pot pecah, tanaman dan tanah berserakan di sebelahnya. Ringisan kecil merasuki indra pendengaran Salma.

Ia berlari menghampiri anaknya Om Elvan, membantu ia berdiri dan memapahnya ke dalam kelas terdekat. "Lu duduk sini dulu, biar gua yang beresin."

Setelah memastikan Dinan duduk dengan aman, ia bergegas mengambil sapu dan membersihkan depan kelas. Cuaca kemarau menyebabkan tanah tanaman mengering, jadi ia tidak perlu mengepel. Tangannya bergerak dengan gesit, hingga tidak perlu waktu lama untuk membereskannya.

"Bisa jalan nggak lu?" tanyanya sembari memperhatikan pipi kanan perempuan dengan mata sembab di depannya.

"Bisa, tapi pincang. Ngerepotin nggak?"

"Aelah, kayak sama siapa aja lu," cibir teman bermulut pedas yang menolongnya.

"Atau nggak, telpon aja si Saka. Minta anterin pulang, kaki lu keseleo gara-gara sepatu jelek yang dia kasih pas lu ulang tahun kemaren," ucap Salma persis seperti memerintah.

Sepatu hitam bergaris pink dengan resleting di sampingnya merupakan kado pemberian Saka di ulang tahunnya yang ke 16 dan menjadi sepatu kesayangan yang sering ia gunakan. Sialnya solnya lepas saat berlari tadi, menyebabkan pipi memerah.

"Kok, bisa sih ampe potnya jatoh?" tanya Salma serius, tapi wajahnya seolah menahan tawa.

"Pas mau jatoh, gua megang pot. Cuman kepikiran pegangan sesuatu, malah potnya juga ikutan jatoh," sungut Dinan dengan bibir manyun.

"Cepet telpon pacar lu, minta anterin."

"Dia masih main basket, pulang sama lu aja yaa," pintanya memohon.

Salma memutar bola mata enggan, lalu berkata, "pengen banget gua tinggalin, tapi tadi pagi Om Elvan nitip lu ke gua." Ia menghembuskan napas berat. "Ayo, gua bantu jalan."

***

Sinar mentari masuk melalui celah-celah ventilasi, anak sulung dari pasangan Elvan dan Erina masih sibuk berkutat di balik pintu kamar mandi. Sesekali bibirnya mendesis ketika kaki kanannya yang bengkak berbenturan dengan benda lain.

"Cepetan, Sayang. Baju dan sarapannya udah siap," ujar sang mama dengan sedikit meninggikan volume suaranya.

"Iya, Ma," sahut Dinan sembari mengelap badannya lalu memakai pakaian dalam. Dengan langkah pincang, ia mendekati kasur dan memakai seragam yang sudah mamanya siapkan.

Sepuluh menit berlalu, Dinan sudah berada di ruang makan, menyantap roti lapis isi sayur dan telur serta segelas susu vanilla kesukaannya. Papa dan mamanya duduk bersebelahan di bangku seberangnya.

"Mau papa anter?" tanya Elvan setelah selesai menghabiskan sarapan.

Dinan terdiam, setelah menjalani hukuman kemarin, ia dan Saka belum bertukar kabar. Mungkin Saka kecapean abis main basket.

"Emang nggak dijemput Saka?" Erina menyahuti sambil membersihkan meja makan setelah keluarganya makan pagi.

"Kayaknya enggak, Ma. Dia nggak ada ngechat aku," jawab Dinan lesu.

"Tumben."

"Ya udah, papa anter aja. Sekalian berangkat ke kantor," putus ayah beranak dua tersebut.

Kala Cinta Memperdaya (Done) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang