Four

31 6 16
                                    

"Kadang gue ngerasa selalu dinomorduakan, tapi Saka akan tetap sayang gua kan?"

——

Poster film Milly & Mamet terpampang mentereng mengisi bioskop-bioskop di seluruh Indonesia. Film komedi yang disutradarai oleh Ernest Prakasa itu menarik perhatian netizen karena cerita kocaknya, terlihat dari trailernya.

"Mau nonton ini aja, Sayang?" Saka membantu Dinan berdiri tegak di sebelahnya. Awalnya dia berniat menggendong sang kekasih untuk mempermudah, tetapi Dinan malu karena jadi pusat perhatian, akhirnya meminta untuk jalan berdampingan.

"Boleh, deh. Genre apapun asalkan jangan horor, aku nggak suka." Perempuan cantik bermanik coklat itu selalu terbayang-bayang adegan menyeramkan kalau menonton film horor, ketika pulang membuatnya takut untuk pergi ke kamar mandi ataupun dapur saat rumah sepi dan di malam hari.

Dinan duduk menunggu, Saka mengantri dalam barisan yang hanya terdapat  sepuluh orang. Bioskop tidak terlalu ramai karena ini hari biasa dan waktu masih menunjukkan pukul 15:00 WIB, kebanyakan orang masih berkutat dengan pekerjaan.

Lima menit mengantri, Saka kembali dengan popcorn dan dua minum di tangannya. Mata Dinan berbinar melihat jagung mekar yang kekasihnya berikan, one of my favorite!

"Makasih, Saka." Bibir ranumnya mengukir senyum manis, jemarinya memasukkan butiran popcorn ke dalam mulut. Sensasi manis dan gurih melekat dalam mulutnya, enak.

"Ayo, masuk. Filmnya udah mau mulai," ajak Saka. Lelaki dengan tinggi 1.70 cm itu membantunya jalan, memeluknya posesif dari samping.

Mereka masuk ke auditorium empat, hanya bagian atas dan tengah yang terisi. Berhenti sesaat untuk mencari bangku nomor 12 dan 13, tetapi sudah di tempati orang lain, tanpa pikir panjang mereka pun langsung menempati kursi terdekat yang masih kosong.

Penonton sesekali tergelak di beberapa adegan, lalu kembali menyimak film dan seterusnya seperti itu selama kurang lebih dua jam berada di ruangan bioskop yang dingin.

Saka membantu Dinan turun, mereka berdua adalah yang terakhir meninggalkan kursi. Agar kakinya aman dari senggolan dan dorongan penonton lain.

"Kita mau ke mana lagi, Sayang?" Waktu masih sore, biasanya Dinan akan mengajak main ke Timezone, tetapi kondisinya tidak memungkinkan hal tersebut.

"Kita liat-liat sepatu sport, yuk?" ajak Dinan ragu, Saka termasuk dalam salah satu lelaki yang malas keliling mal hanya untuk melihat-lihat. Ia berkedip dua kali menatap mata Saka, memohon.

"Sebenarnya aku mau beli, tapi liat dulu model-modelnya. Takutnya nggak ada yang sreg."

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Saka menggenggam tangannya lalu menuntun ke toko sepatu olahraga yang jaraknya tidak jauh dari mereka.

Hilir mudik para pengunjunm semakin padat menjelang malam, food court penuh tanpa tersisa satu bangku pun. Aroma masakan kian menusuk hidung, terbayang-bayang kelezatannya hanya dari keharuman.

Seorang pramuniaga menghampiri ketika melihat keduanya datang, dengan berbaik hati memberitahu letak rak sepatu-sepatu yang sedang tren dan disukai anak muda.

Setelahnya ia pergi membiarkan mereka memilih, lalu melayani calon pembeli yang memasuki gerai.

Dinan mengamati jajaran sepatu dengan seksama, tidak ada yang menarik di matanya. Rasanya tidak berminat seperti  saat mengajak Saka tadi.

"Sayang, foto, yuk?" usulnya menghilangkan kebosanan. Saka langsung mengeluarkan ponselnya, mendekatkan jarak mereka.

Manis, batin Saka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Manis, batin Saka.

Ia memperlihatkan hasil fotonya pada sang kekasih, Dinan tersenyum puas. "Kirim ke aku, ya."

Setelah mengirimkan foto tersebut, sebuah panggilan masuk ke ponsel Saka. Tangannya bergerak cepat memencet tombol hijau.

Aluna : Saka, kamu lagi ngapain?"

Saka terdiam sejenak, memandang Dinan yang sedang asyik mengedit-edit foto mereka barusan.

Saka : Lagi nggak ngapa-ngapain. Kenapa, Lun?

Aluna : Aku boleh minta tolong nggak? Jemput aku, daritadi aku nungguin Pak Lukman tapi nggak dateng-dateng, udah aku telponin tapi nggak diangkat. Aku masih di halte deket sekolah.

Saka : Oke. Tunggu aku di sana, jangan ke mana-mana ya. Kalau hujan, cari tempat berteduh dan jangan sampe kena air hujan sedikit pun.

Aluna : Iya, Saka.

Sambungan telpon terputus, Saka terlihat gusar sambil memperhatikan Dinan yang masih sibuk dengan layar pipih di tangannya.

"Aku harus pergi sekarang, Aluna butuh aku." Dinan berusaha manahan Saka, air mata sudah di pelupuk mata.

"Aku juga butuh kamu, Sayang." Dinan memohon, tangannya memegang pergelangan pacarnya dengan erat.

"Aluna sahabat aku dari kecil, dia nggak bisa kena hujan, dia gampang sakit. Dia nunggu di halte deket sekolah satu jam lebih karena supirnya nggak dateng-dateng!" Saka mempertegas, ia melepaskan genggaman dengan lebih kuat.

Perempuan bersurai indah itu terduduk lesu, air matanya tidak tertahankan. Kadang Dinan merasa dicintai, kadang merasa diprioritaskan, tetapi kadang Saka membuatnya merasa dinomorduakan apabila sudah bersangkutan dengan Aluna. Bukan sekali dua kali, tetapi sakitnya tetap sama.

Jika pacarnya saja malah memikirkan Aluna yang gampang sakit kalau kehujanan, bagaimana Dinan yang kakinya masih di gips dan harus pulang sendiri? Mereka sedang bersama, tapi Saka bahkan rela meninggalkannya seorang diri.

Apa artiku bagi Saka? Jika kami berdua dalam bahaya, siapa yang akan Saka selamatkan terlebih dahulu?

"Hai," sapa lelaki bertopi yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.

Dinan menatapnya sejenak, baru ingat bahwa lelaki itu adalah murid baru yang duduk di belakangnya.

"Sendiri aja? Kok, mata lu merah?" Dua pertanyaan dalam satu kalimat membuat Dinan menatapnya bingung, perasaan mereka nggak sedekat itu untuk berbicara hal-hal di luar pelajaran.

"Kebetulan pas gua masuk tadi liat tas lu dari belakang. Tumben sendirian?" Liev masih lanjut berceloteh, entah mengapa selalu mengajaknya berbicara padahal Dinan hampir tidak pernah menanggapi.

"Ka, jadi beliin sepatunya nggak?" Perempuan berambut pendek berwarna hitam biru datang menghampiri mereka.

"Lo pilih-pilih aja dulu, gua lagi ngobrol sama temen," jawab Liev sambil membuat gerakan mata agar adiknya pergi.

Beberapa menit duduk bersampingan, Dinan tak bersuara untuk sekedar menyapa atau menyahuti pertanyaannya, ia pun berkata, "Kayaknya gua ganggu, ya? Sorry, gua bakal lanjut belanja dan nggak ganggu."

Saat hendak pergi, Dinan menarik tangannya. Membuat langkahnya terhenti, perempuan itu mendongak menatap ragu.

"Boleh minta tolong anterin gue nggak? Gue males diinterogasi karena pulang telat, tapi sendirian." Ia menunduk, perasaan tidak enak hinggap di hati. "Tapi, kalau lu nggak mau nganter, nggak apa-apa," imbuhnya, berharap lelaki rupawan itu tidak terpaksa membantunya.

Mereka tidak terlalu dekat, jadi tidak enak meminta tolong. Bahkan Dinan kerap kali mengabaikan keberadaannya, tetapi di detik ini dengan tidak tau malunya malah minta diantar.

"Mau, kok. Ayo, gue anter," ujar Liev menjulurkan tangan. "Mau gua bantu jalan atau jalan sendiri?"

Belum sempat menyambut uluran, seseorang menepis jarak di antara mereka.

"Jangan deket-deket pacar gue!"

To be continue
♡´・ᴗ・'♡

Terima kasih untuk yang sudah baca, komen ataupun menyukai cerita ini. Semoga hidup kita berkah dan banyak bahagianya.

Kala Cinta Memperdaya (Done) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang