Sixteen

12 4 0
                                    

Kamu dan kebahagiaan adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dalam hidupku.

———

         Liev berada dalam kebimbangan, haruskah ia mempercepat proses pendekatannya dengan menceritakan kisah masa kecil mereka?

Ia ingin bersabar dan menunggu, tetapi tiap melihat Dinan melamun dengan mata berkaca-kaca selalu menimbulkan keinginan untuk mengusap dan memeluknya.

Ada perasaan tidak rela ketika gadis yang selama ini ia cari telah memiliki kekasih, tetapi akhirnya peluang datang begitu Liev serius berjuang. Di satu sisi ia tidak tega melihat Dinan dengan kesedihannya, tetapi tidak dapat dipungkiri rasa bahagia memenuhi dadanya setelah mengetahui bahwa hubungan Dinan dan Saka sudah berakhir.

"Inget Nenek Eliza deket rumah lo nggak?"

"Nenek Eliza? Yang rumahnya paling gede itu?" Seingat Dinan, hanya wanita tua itu yang ia panggil Nenek Eliza.

"Iya, itu nenek gue," ucap Liev seketika Dinan menoleh dan menatapnya terkejut tidak percaya.

"Cucunya Nenek Eliza yang dulu pernah tinggal di rumahnya itu ..., lo?" tanyanya terbata.

"Seratus persen buat lo," sahut lelaki itu tanpa mengalihkan fokusnya dari jalan raya.

"Anak cowok yang dulu gue panggil Ander itu lo?" Dinan masih tidak percaya.

"Lo inget gue?" Liev balik bertanya tanpa menjawab.

"Gila! Ingetlah! Tapi lo beda banget, Liev!" seru gadis dengan sepasang manik cokelatnya memperhatikan si pengemudi dari samping. "lo boong kan?" Masih tidak puas karena reaksi yang Liev berikan.

"Gue pernah nangis pas lo demam tinggi sampe akhirnya gue juga ikutan demam, kita pernah ke mal dan main di kids zone dianter Pak Danang supirnya Oma tapi kita malah keluyuran pas dia ke toilet, dan lo nangis kejer pas tau gue dijemput  untuk tinggal di luar negeri."

Tiga bukti yang cukup untuk meyakinkan Dinan bahwa lelaki di sebelahnya memang sosok yang pernah mengisi keindahan di masa kecilnya.

"Kenapa lo nggak pernah bilang?" cicit Dinan, kepalanya menunduk dan isakan kecil keluar dari mulutnya.

"Gue mau lo inget sebagai sosok laki-laki yang berani dan mencintai dengan tulus, bukan anak kecil ingusan yang cuman bisa ngumpet di belakang lo setiap ada yang gangguin." Liev tertawa kecil, mengingat hal-hal itu membuatnya malu.

"Hahaha, sialan! Gue nggak jadi nangis!" Dinan mengusap kasar air matanya, ikut tertawa mengenang masa kanak-kanak mereka.

Empat tahun berharga yang masih melekat dalam pikiran, Liev kecil yang ia panggil Ander diambil dari nama belakang lelaki tersebut, Liev Alexander.

Beberapa bulan setelah kepergian Ander, Dinan mengalami ketakutan untuk berteman. Takut ditinggal, takut sendirian, dan segala ketakutan perihal ditinggalkan mengiringi hari-harinya selama kelas satu sekolah dasar.

Foto-foto mereka tersimpan rapi dalam album di lemari, anak kecil berwajah blasteran dan rambut pirang cokelat belah kanan selalu tersenyum di sebelah Dinan hingga memperlihatkan gigi ompongnya.

"Anak aneh! Warna rambutnya nggak item! Nggak usah temanan sama kita." Ander menangis menjauh anak-anak nakal itu, tetapi mereka terus mengikuti dan mengejeknya.

"Heh! Kalian jangan sok-sok an, kasian Ander! Aku pukul kalian! " Sekonyong-konyong anak perempuan kecil  datang membawa batu, tangannya terangkat siap melempar.

"Huuuu..., dasar cengeng. Huuu..., cemen!!!"

Semuanya lari terbirit-birit begitu Dinan kecil mengejar mereka dengan batu seukuran telapak tangan mungilnya.

"Udah nggak usah nangis, Ander. Kan ada aku," katanya berbangga ria bisa melindungi sang sahabat.

"Makasih, ya, Dinan. Ander sayang kamu." Liev berusia enam tahun memeluk erat pahlawannya meski tubuhnya lebih besar.

"Aku juga sayang Ander!" Suara compreng khasnya merasuki indra pendengaran.

"Gue nggak nyangka bisa ketemu lo lagi," gumam Dinan menyandarkan kepala di jendela. "gue seneng karena akhirnya sahabat yang selalu gue ceritain ke temen-temen SD gue sekarang ada di samping gue, satu kelas dan duduk di belakang gue."

Liev melirik dari sudut mata, tangan kirinya menarik perlahan pundak gadis itu agar bersandar di bahu tegaknya. Tidak ada penolakan, entah mengapa fakta menyenangkan itu menimbulkan kesedihan mendalam di hatinya.

"Gue seneng, Liev. Tapi kenapa hati gue mendadak sedih, ya? Kayak tiba-tiba ada hal yang bikin dada gue sesek," keluh gadis bersurai panjang itu. Sebagian wajah tertutupi rambut lurusnya.

Liev menghidupkan sen kiri, menepikan mobilnya ke pinggir lalu melepaskan jas, dan memakainya pada Dinan. "Gue nggak tau penyebab lo sedih, mungkin lo kecapean. Lo bisa peluk tangan gue dan tidur, nanti gue bangunin kalau udah sampe."

Dinan menurut, memeluk lengan kiri lelaki gentle dan membenarkan posisi jas di kedua pundaknya. Mobil kembali melaju mengikuti arus jalan, kakaknya Olivia menyetir lihai dengan tangan satu.

Tiga puluh menit kemudian kendaraan roda empat itu sampai di rumah lantai dua, gerbang terbuka otomatis dan Erina memakai piyama menyambut kedatangan mereka di depan pintu

Mungkin saking lelahnya, Dinan tidak sadar saat digendong ala bridal style oleh Liev sampai ke lantai dua, Erina membukakan pintu kamar sang putri dan membiarkan remaja lelaki itu masuk.

"Biarin aja, Liev. Nanti Tante yang lepas heels dan hapus make up-nya," ujar wanita awet muda itu ketika melihat Liev hendak melepaskan alas kaki putrinya. "ayo, Tante anter ke depan. Takut kamu pulangnya kemaleman."

Remaja itu mengiakan, berjalan membuntuti Erina ke lantai bawah dan berpamitan langsung pulang pada Elvan yang sedang sibuk mengetik di ruang keluarga yang dilewatinya.

"Terima kasih atas tumpangan dan tenaga kamu untuk putri saya, Liev." Elvan bangun dari duduknya menepuk pundak lelaki berkemeja lengan panjang itu berkali-kali.

Ia menanggapi, "Sama-sama, Om. Kalau gitu saya langsung aja, ya, Om, Tante," pamitnya menyalami mereka berdua.

"Hati-hati, ya, Liev. Sekali lagi terima kasih banyak udah mulangin Dinan dengan selamat." Erina menghantarkan kaum adam berusia 19 tahun itu sampai depan pintu sembari melambaikan tangan.

Aku akan selalu jagain Dinan tanpa diminta, Tante.

"Apa pendapat kamu tentang dia?" Tiba-tiba Elvan berdiri di belakang istrinya.

"Baik, perhatian, penyayang, peka, apalagi ya?" Erina mengarahkan netranya ke langit-langit rumahnya, memikirkan kata yang tepat untuk mendeskripsikan sosok Liev di matanya.

"Pokoknya kalau dia pacaran sama Dinan, Mama setuju satu miliar persen! Kalau menurut Papa?" tanya Erina balik. Penting mendengar opini kepala rumah tangga untuk memastikan tidak ada perbedaan pendapat antara mereka.

"Sama kayak pendapat Mama sebelumnya, dia juga sopan pas tadi izin mau ngajak Dinan ke acara ulang tahun adiknya. Nggak kayak Saka yang langsung nyelonong pergi gitu aja." Kekesalan nampak jelas di wajah pria beranak dua tersebut.

"Udahlah, Pa. Toh, sekarang Dinan udah nggak sama Saka lagi, doain aja yang terbaik buat Dinan. Masuk, yuk."

To be continue
♡´・ᴗ・'♡

Jangan lupa comment, like, and follow yaw. Thank you for reading. ❤


Kala Cinta Memperdaya (Done) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang