04 - Vino dan Nala.

41 3 0
                                    

  Dava dan keluarganya akhirnya bisa bernafas lega setelah dokter memberi tahu mereka kalau Elena berhasil melewati masa kritisnya. Mereka semua lega karena hal-hal negatif yang sempat mereka pikirkan akhirnya tidak terjadi.

  "Dav, ayo makan dulu." Ayu duduk di samping Dava, lalu meletakkan makanan yang ia bawa di atas meja. "Ibu bawain makanan kesukaan kamu, nasi Padang," lanjutnya sambil tersenyum tipis.

  "Dava masih kenyang, Bu." Dengan halus, Dava memberi penolakan.

  "Kenyang makan apa? Kan dari tadi sore kamu belum makan apa-apa."

  "Dava nggak nafsu makan, Bu."

  "Ibu tahu, karena Ibu juga merasakan hal yang sama. Tapi kamu harus tetap makan supaya kamu enggak sakit, Dava. Kamu harus tetap sehat, kalau kamu juga ikutan sakit, kasihan kan Reigan."

  "Reigan," gumam Dava tanpa sadar. Sejak tadi Dava terus memikirkan Elena sampai tidak sadar kalau ia melupakan sang buah hati.

  Ayu tersenyum sambil terus mengusap punggung Dava. "Reigan baik-baik aja, Dav."

  "Apa Reigan tahu kalau Elena pingsan, Bu?"

  "Reigan enggak tahu, Dav. Kebetulan pas Elena pingsan, Reigan lagi pergi sama Mba Susi, belanja buah-buahan." Ayu sudah memberi tahu para pelayan untuk tidak memberi tahu Reigan tentang apa yang sudah terjadi pada Elena. Ayu juga sudah memberi tahu mereka semua, alasan apa yang harus mereka berikan jika Reigan bertanya tentang Elena dan Dava.

  Dava menghela nafas lega. "Syukurlah kalau Reigan enggak tahu, Bu."

  Dava sudah bisa membayangkan bagaimana reaksi Reigan jika tahu tentang kondisi Elena. Reigan pasti akan terus menangis, dan mau selalu ingin bersama Elena.

  "Sekarang kamu makan ya."

  "Iya, Bu." Dava akhirnya memutuskan untuk makan.

  "Malam ini, Ibu sama Tante Mayang mau pulang, Bapak yang akan menemani kamu di rumah sakit. Besok pagi setelah Reigan berangkat sekolah, Ibu sama Tante Mayang ke sini lagi."

  Dava yang sedang menikmati makan malamnya hanya mengangguk.

                              ***

  Nala baru saja akan duduk di depan meja rias ketika dikejutkan oleh suara dering ponselnya.

  "Siapa ya yang pagi-pagi gini telepon?" Nala melangkah mendekati meja. Nala meraih ponselnya, kedua matanya melotot,  terkejut ketika melihat nama Davalah yang tertera di layar ponselnya. Nala langsung menggeser ikon merah pada layar ponselnya, lalu menempelkan ponselnya telinga kanan. "Assalamualaikum, Pak," sapanya canggung.

  "Wa'alaikumussalam, Nala. Sebelumnya saya minta maaf karena menghubungi kamu di pagi-pagi buta seperti ini."

  "Enggak apa-apa kok, Pak." Nala mencoba tetap tenang meskipun sebenarnya sangat gugup.

  "Saya hanya ingin tahu, apa hari ini saya memiliki agenda penting yang harus saya hadiri?"

  "Sebentar Pak, biar saya cek dulu ya." 

  "Silakan."

  Nala langsung memeriksa jadwal Dava. "Hari ini tidak ada agenda penting yang harus Bapak hadiri."

  "Syukurlah kalau begitu." Dava lega, karena itu artinya ia bisa tidak pergi ke kantor.

  Dava lantas memberi tahu Nala kalau hari ini dirinya tidak akan pergi ke kantor. Dava juga tak lupa untuk memberi tahu Nala, apa alasan dirinya tidak bisa ke kantor.

Istri kedua sang CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang