15 - Pengakuan mengejutkan Dava.

28 5 0
                                    

  Dava menatap jam di pergelangan tangan kirinya, lalu menatap pintu yang tak kunjung mau terbuka. Untuk kesekian kalinya Dava mengeluh. "Kenapa Dimas belum datang juga sih?"

  Dava meraih ponselnya, kembali menghubungi Dimas. Dava terus bersumpah serapah ketika Dimas tak kunjung mengangkat panggilannya. "Lo di mana?" tanyanya begitu panggilannya sudah Dimas angkat.

  "Di hadapan lo." Dimas menjawab ketus pertanyaan Dava.

  Dava sontak menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka, lalu masuklah orang yang kedatangannya sudah ia tunggu-tunggu. "Kenapa lama banget sih?"

  Dimas memutar jengah kedua matanya. "Lo jangan pura-pura bego ya, kan lo tahu sendiri gimana lalu lintas kota Jakarta, di mana-mana macet," jawabnya penuh emosi. "Pake nanya lagi kenapa gue datangnya lama," lanjutnya sambil mendudukkan dirinya di sofa, berhadapan langsung dengan Dava.

  "Iya, iya, maaf." Dava tahu ia salah, jadi dengan tulus segera meminta maaf.

  "Maaf lo gue terima," balas Dimas sambil tersenyum. "Nah, lo kan tahu kalau gue sibuk, jadi gue harap, memang ada hal penting yang mau lo bahas sama gue. Awas aja kalau bukan perkara penting, gue suntik mati juga lo!"

  "Iya gue tahu kok kalau lo dokter paling sibuk."

  "Bagus deh kalau lo tahu. Jadi ada apa? Kenapa lo minta gue buat datang ke kantor lo?" Sepanjang perjalanan menuju kantor Dava, Dimas terus bertanya-tanya, kira-kira kenapa Dava memintanya untuk datang?

  "Ayo, ikut gue." Dava berdiri, lalu melangkah menuju kamarnya. Dava menghentikan langkahnya, lalu menoleh ketika sadar kalau Dimas tidak mengikutinya. "Kenapa lo malah diam?"

  "Dav, gue masih normal ya." Dimas langsung berpikir negatif ketika tahu kalau Dava mengajaknya pergi ke kamar.

  "Astagfirullah, tolong sabarkan hamba ya Allah." Dava beristighfar sambil mengusap-usap dadanya, tak lupa memberi Dimas tatapan tajam.

  Dimas berdiri, dan langsung mendekati Dava. "Jangan marah, gue cuma bercanda kok," ucapnya sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih.

  "Gue tonjok baru tahu rasa lo."

  Dimas hanya terkekeh sambil menahan tangan Dava yang berniat untuk menyikut perutnya.

  Langkah Dava berlanjut, diikuti Dimas yang berjalan tepat di belakangnya.

  "Anjir, itu siapa?" Dimas melotot, raut wajahnya pun berubah shock saat melihat seorang wanita berbaring di atas tempat tidur Dava.

  "Itu Nala, tadi dia pingsan di ruang meeting, makanya gue minta lo buat datang ke sini, untuk memeriksa kondisinya."

  Dimas segera memeriksa kondisi Nala, sedangkan Dava kini duduk di sofa. Dava terus memperhatikan Dimas yang saat ini sedang memeriksa kondisi Nala. Tanpa sadar, dalam hati Dava terus berdoa, semoga saja Nala dalam keadaan baik-baik saja. "Bagaimana, Dim?" tanyanya begitu tahu kalau Dimas sudah selesai memeriksa kondisi Nala. "Kita bicara di luar aja," lanjutnya sambil melangkah keluar dari kamar bersama dengan Dimas.

  Dimas mulai memberikan penjelasan tentang kondisi Nala, dan  meminta Dava untuk memulangkan Nala supaya Nala bisa beristirahat.

  "Apa Nala masih single?"

  Pertanyaan Dimas mengejutkan Dava. Dava menatap sang sahabat dengan raut wajah penuh curiga. "Kenapa lo tiba-tiba menanyakan status Nala?"

  "Ya gue penasaran aja, apa sampai sekarang ini dia masih single, atau justru udah punya pacar, bahkan mungkin udah punya calon suami." Dimas mengenal Nala meskipun tidak mengenalnya secara dekat, hanya sebatas tahu mengingat dulu sebelum ia sesibuk sekarang, ia cukup sering mengunjungi Dava ketika Dava berada di kantornya. Itulah saat pertama kali Dimas bertemu dan mengenal Nala.

Istri kedua sang CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang