BAB 21

44 5 0
                                    

Sore itu Ghisela meminta izin pada ke orangtua angkatnya, awalnya tentu ustazah Siska bertanya-tanya mau kemana dan urusan apa, Ghisela hanya menjawab ingin kerja kelompok.

Yang membuat kesal, ustazah Siska meminta Raka mengantar Ghisela, jadi terpaksa Ghisela harus menuruti.

"Kamu tunggu aja disini kak," kata Ghisela.

"Dih, kenapa jadi lo perintahin gue?"

Ghisela menghela nafasnya kasar, "Aku itu mau ngomongin hal penting sama bu Andin, jadi kamu gak usah ikut-ikutan karena bukan urusan kamu kak."

"Bu Andin TU?" Ghisela mengangguk, "Ngapain lo nyamperin bu Andin?"

"Aku kan udah bilang, ada urusan penting. Kamu kenapa sih cerewet banget, tau gak?" kesal Ghisela.

Udah berani dia marah-marah sama gue, sial.

Ghisela mengentuk pintu, sementara Raka menurut saja menunggu di depan pagar rumah bu Andin.

Tak lama bu Andin keluar, "Shalom bu Andin.." ucap Ghisela.

"Walaikumsalam Ghisela. Kirain kamu gak jadi kesini, soalnya cuaca lagi mendung."

"Jadi kok bu,"

"Kamu di antar siapa itu? Kaya Raka?"

"Iya bu, sama kak Raka."

"Hm kalau bisa Raka jangan sampai dengar ya?"

Ghisela melirik pada Raka dari kejauhan, pria itu ada di dalam mobilnya.

"Dia nunggu disana kok bu," bu Andin segera mempersilahkan Ghisela untuk masuk.

Rumah sederhana, namun cukup nyaman karena bersih dan harum. Ghisela kemudian duduk di soffa bersama dengan bu Andin yang juga duduk di hadapannya setelah memberikan air teh hangat untuk Ghisela.

"Jadi, mau mulai darimana dulu Ghisel?"

"Bu Andin tau semua tentang Calista?"

"Tidak semua, tapi saya hanya sekedar tau dengan apa yang saya lihat sendiri."

"Hm, C-Calista sebenarnya arwah atau manusia bu?"

"Tadinya manusia, tetapi dia meninggal dunia setelah jasadnya di temukan di dalam toilet sekolah. Kejadiannya sudah satu bulan lalu, jadi yang kamu ceritakan kemarin-kemarin mungkin memang arwah-nya. Saya sudah mendengar dari beberapa murid yang mengeluh, ada pula yang di ganggu sampai dia harus pindah sekolah. Sepertinya Calista belum tenang,"

"J-jadi yang kemarin-kemarin arwahnya Calista? Tapi- i-itu gak mungkin bu," Ghisela nampak semakin gemeteran.

"Kenapa gak mungkin?"

"D-dia sering bawa mie rebus buatan ibunya katanya ke sekolah, dan saya juga suka makan mie itu karena dia tawari."

Bu Andin mengernyit bingung. Masa iya ada hantu bisa masak indomie? Memangnya dapat sponsor darimana?

"Hm, saya kurang tau soal itu. Tapi disini yang membuat saya tertarik untuk bercerita sama kamu adalah, sepertinya kamu punya kemampuan khusus Ghisel. Apa kamu gak coba bertanya sama keluargamu?"

"S-saya gak punya keluarga bu. Saya tinggal bersama orangtua Raka, karena dulu kakak saya menitipkannya sebelum kakak saya meninggal dunia. Ibu saya masuk rumahsakit jiwa tetapi sekarang sudah meninggal dunia karena depresi yang berlebihan dan selalu meminta obat penenang yang lebih juga. Keluarga saya kacau, itu sebab sekarang saya seperti tidak tahu arah-nya mau kemana."

"Maaf saya gak tau. Ghisela, sebaiknya kamu udah gak perlu lagi penasaran soal Calista. Sepertinya dia menganggu, dan aura-nya buruk. Saya pernah mendengar kepala sekolah menelfon seseorang, setelah itu ia meminta semua guru menyembunyikan kasus Calista. Itu sebab kenapa saat kamu bertanya, saya menjawab Calista pindah sekolah, karena sudah menjadi perintah dari atasan kami."

"Terus kenapa bu Andin sekarang mau bilang sama aku?"

"Karena saya melihat kamu berbeda, kamu punya kemampuan khusus sampai bisa berkomunikasi dengan arwah Calista. Ghisela, saya mencurigai bahwa ini adalah ulah dari atasan kami sendiri, saya pribadi tidak percaya kalau Calista tergelincir lalu tewas, kasusnya di tutupi, demi kepentingan seseorang yang saya gak tau."

Seumur hidup, baru kali ini Ghisela penasaran tentang hal-hal gaib, apalagi saat bu Andin mengatakan bahwa ia memiliki kemampuan khusus. Yang biasanya Ghisela hanya menonton di film-film horor, sekarang ia mengalami sendiri bagaimana rasanya jadi peran utama sebagai seorang Indigo.

Apa benar aku ini seseorang berkemampuan khusus, seperti seorang indigo?

Kalau aku bisa melihat orang yang sudah meninggal dunia, apa ada kemungkinan aku juga bisa lihat kak Dara?

>

Untung saha Ghisela sudah masuk kembali ke dalam mobil, karena tiba-tiba hujan deras.

"Lama amat sih, lo ngobrolin apaan emang?" tanya Raka sewot.

"Hm gak ada apa-apa."

"Gue mau ngomong serius sama lo,"

Ghisela menatap Raka, kemudian ia memalingkan lagi wajahnya. "Ngomong apa?"

"Gue minta maaf soal waktu itu, gue tau gue kelewatan." Ghisela fikir pria keras kepala seperti Raka tidak akan mengenal kata maaf, namun rupanya didikan dari orangtuanya meresap pada otak sang anak, meskipun urakan Raka tetap memiliki adab. Bagaimanapun pria itu terlahir dari orangtua yang baik Agama-nya.

"Hm, iya gapapa kak."

"Jadi lo jangan ngejauh lagi dari gue." Ghisela mengangguk. "Besok berangkat sama pulangnya sama gue ya?" Lagi Ghisela mengangguk.

Seutas senyum terbit di bibir Ghisela. Hatinya menghangat setelah mendengar kata maaf dari Raka.

Jujur, Raka sendiri selalu saja terbayang-bayang atas kesalahannya. Mama dan ayah-nya selalu mengajarkan bahwa kata maaf itu penting setelah melakukan kesalahan, dan lebih bagus lagi jikapun tidak bersalah tetapi mau meminta maaf.

Kemacetan di jalan membuat Ghisela dan Raka harus ada di dalam mobil berlama-lama. Sebenarnya Ghisela ingin makan, perutnya keroncongan, tetapi ia gengsi mengatakan itu pada Raka.

"Gue laper, kita cari tempat makan, lo mau?" Akhirnya pria itu-lah yang mengajak lebih dulu.

"Iya mau kak." Dari tadi juga aku laper.

Raka memutuskan berhenti di sebuah kafe tempat makan, lalu keduanya makan berdua di tempat itu.

Saat Ghisela lengah, Raka seringkali mencuri pandang. Melihat Ghisela seperti ia melihat Dara, agak mirip namun postur tubuh Ghisela lebih berisi dari Dara, pipi Ghisela chubby kelihatan lebih imut. Sementara Dara sudah dewasa, dan Ghisela ini seperti versi bocil-nya.

SESAT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang